Mohon tunggu...
Aisyah Turrodiyah
Aisyah Turrodiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kriminalisasi Jurnaslis, Ancaman Serius terhadap Kebebasan Pers di Tahun 2024

27 Juni 2024   16:00 Diperbarui: 27 Juni 2024   16:00 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pers memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis, bertindak sebagai pihak keempat yang memantau tiga pihak lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan melayani kepentingan publik dengan memberikan informasi dan memastikan transparansi. Namun, dengan posisi pers yang kuat, terdapat pula tanggung jawab yang besar, termasuk kepatuhan terhadap standar hukum dan etika. Pada tahun 2024, muncul perkembangan baru dalam hukum Indonesia mengenai pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran pers, sehingga memerlukan analisis mendalam mengenai implikasinya terhadap kebebasan pers dan perlindungan hak jurnalistik.

Di Indonesia, pers diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang menjamin kebebasan pers sekaligus mengatur kewajiban bagi jurnalis dan organisasi media. Namun, ketegangan antara kebebasan pers dan pertanggungjawaban pidana masih terus terjadi, terutama dengan diberlakukannya amandemen baru Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berpotensi berdampak pada aktivitas jurnalistik. Kebebasan pers di Indonesia terus menghadapi ancaman serius dari berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis. Salah satu kasus terbaru yang mencerminkan permasalahan ini adalah kasus jurnalis Asrul, yang menghadapi tuntutan pidana di bawah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Amandemen baru KUHP telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan jurnalis, organisasi media, dan pendukung kebebasan pers. Ancaman pertanggungjawaban pidana dapat menyebabkan sensor mandiri di kalangan jurnalis, yang mungkin menghindari pemberitaan mengenai isu atau individu tertentu untuk menghindari potensi dampak hukum. Efek mengerikan ini melemahkan peran pers dalam memberikan pengawasan kritis dan memberikan informasi kepada masyarakat

Ketentuan hukum yang luas dan tidak jelas dapat menyebabkan interpretasi dan penerapan yang tidak konsisten oleh penegak hukum dan peradilan. Ketidakpastian hukum ini menyulitkan jurnalis untuk menjalankan tanggung jawab profesionalnya tanpa takut akan tuntutan sewenang-wenang. Ketentuan kejahatan dunia maya yang baru dapat membahayakan kemampuan jurnalis untuk melindungi sumber mereka, khususnya pelapor yang memberikan informasi secara anonim. 

Risiko tuntutan pidana atas distribusi data yang tidak sah dapat menghalangi sumber untuk melapor, sehingga membatasi jurnalisme investigatif. Pembatasan pelaporan mengenai proses hukum yang sedang berlangsung dan meningkatnya undang-undang pencemaran nama baik dapat menghilangkan informasi penting dari masyarakat tentang kegiatan pemerintah dan peradilan. Terkikisnya transparansi ini dapat melemahkan akuntabilitas demokrasi dan kepercayaan publik terhadap institusi.

Amandemen baru KUHP telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan jurnalis, organisasi media, dan pendukung kebebasan pers. Implikasi utamanya yakni dapat menimbulkan Efek yang Mengerikan:. Ancaman pertanggungjawaban pidana dapat menyebabkan sensor mandiri di kalangan jurnalis, yang mungkin menghindari pemberitaan mengenai isu atau individu tertentu untuk menghindari potensi dampak hukum. Efek mengerikan ini melemahkan peran pers dalam memberikan pengawasan kritis dan memberikan informasi kepada masyarakat selain dari pada itu ketidak pastian hukum juga mejadi implikasi utama. Ketentuan hukum yang luas dan tidak jelas dapat menyebabkan interpretasi dan penerapan yang tidak konsisten oleh penegak hukum dan peradilan. Ketidakpastian hukum ini menyulitkan jurnalis untuk menjalankan tanggung jawab profesionalnya tanpa takut akan tuntutan sewenang-wenang

Asrul, seorang jurnalis dari Palopo, Sulawesi Selatan, menghadapi tuntutan pidana terkait karya jurnalistik yang diterbitkannya secara online. Meskipun Dewan Pers seharusnya menjadi pihak yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa pers, jaksa penuntut umum (JPU) malah membawa kasus ini ke pengadilan pidana. Penggunaan UU ITE dalam kasus ini memperlihatkan bagaimana undang-undang yang seharusnya tidak digunakan untuk mengadili jurnalis justru menjadi alat untuk menekan kebebasan pers.

Tingginya angka kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis menimbulkan dampak buruk terhadap kebebasan pers di Indonesia. Jurnalis yang melaporkan isu-isu sensitif seperti korupsi dan lingkungan sering menjadi target utama. Ini terjadi karena laporan mereka sering kali mengungkapkan pelanggaran yang dilakukan oleh individu atau kelompok berpengaruh yang memiliki kekuasaan untuk melakukan pembalasan. Kasus jurnalis Nurhadi dari Tempo menjadi contoh lain bagaimana jurnalis yang menjalankan tugas investigatifnya dapat menjadi korban kekerasan fisik dan intimidasi oleh aparat penegak hukum. Nurhadi diserang saat sedang meliput kasus suap di Direktorat Jenderal Pajak. Kekerasan terhadap jurnalis seperti ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum bagi mereka dan bagaimana kekerasan sering kali menjadi respons terhadap pemberitaan kritis.

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan beberapa undang-undang yang menimbulkan kekhawatiran bagi kebebasan pers. Revisi kedua UU ITE yang ditandatangani pada awal 2024 memperkenalkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk menekan jurnalis melalui tuduhan defamasi, ujaran kebencian, dan penyebaran informasi bohong. Selain itu, Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang akan berlaku pada Oktober 2024 tidak memberikan pengecualian untuk pemrosesan data pribadi demi tujuan jurnalistik. Tanpa pengecualian ini, jurnalis dapat menghadapi pembatasan atau sensor yang menghambat pelaporan mereka tentang pelanggaran hak asasi manusia atau kejahatan lainnya dengan dalih melanggar privasi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia telah memberikan beberapa rekomendasi untuk melindungi jurnalis dan memastikan kebebasan pers di Indonesia. Beberapa rekomendasi tersebut antara lain Pemerintah dan DPR harus mematuhi UU Pers yang memberikan perlindungan hukum bagi jurnalis dan menghapus regulasi yang mengancam kerja-kerja jurnalistik. Mekanisme Nasional Perlindungan Jurnalis dirasa perlu dibentuk untuk menyediakan perlindungan, pencegahan, penuntutan, dan promosi keamanan jurnalis.. Selain dari pada itu Dewan Persharus memastikan independensi jurnalis dan perusahaan media dari intervensi politik, Serta Aparat penegak hukum harus menginvestigasi semua kasus kekerasan terhadap jurnalis secara independen dan imparsial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun