Mohon tunggu...
Aisyah Tarishah Putri
Aisyah Tarishah Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Kejepangan Universitas Airlangga

Seorang pembelajar bahasa asing yang menyukai ketenangan dan kolam renang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Danjyo Kankei: Domestikasi Perempuan, Pernikahan, dan Pengasuhan Anak di Jepang

15 Oktober 2022   08:10 Diperbarui: 15 Oktober 2022   08:18 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: instagram kimono_mom

  • Ide domestikasi perempuan diawali dengan pengaruh ajaran konfusianisme pada masa Edo yang memiliki gagasan "pria di luar dan wanita di dalam". Gagasan ini berpengaruh besar pada cara berpikir orang dan semakin melekat kuat hingga tahap memercayai bahwa gagasan tersebut benar adanya. Pada masa Meiji - tanda dimulai era modern di Jepang -  terdapat wacana kesetaraan pada sistem pendidikan formal untuk laki-laki dan perempuan dengan menyerap ide dari barat diberlakukan. Namun, pendidikan di lapangan jauh dari setara, sebagian karena sekolah untuk perempuan menciptakan ryosaikenbo, yang secara harfiah berarti "istri yang baik dan ibu yang bijaksana".

  • Gagasan "pria di luar dan wanita di dalam" berpengaruh pada ranah misalnya di bidang politik, kursi pemerintahan sulit diberikan untuk perempuan dan dilarang mengikuti aktivitas politik (Police Security Regulation,1900). Selain itu, terdapat aksi "me too" yang merupakan aksi pembelaan terhadap pelecehan seksual yang dialami perempuan. 

  • Hakim yang kebanyakan pria, akan memandang masalah ini dari sudut patriarki sehingga yang disalahkan tetap korban atau tidak menganggap sebagai masalah serius. Tidak adanya perempuan sebagai pembuat kebijakan menciptakan adanya fenomena Glass Ceiling. Ada batasan kaca yang tidak bisa ditembus perempuan. Posisi teratas akan selalu dipegang oleh laki-laki.

  • Namun di satu sisi, dengan adanya pembagian pekerjaan berdasarkan jenis kelamin atau sex division labor, yakni laki-laki berperan sebagai salaryman , dan perempuan berperan sebagai ryosaikenboyang bekerja di ranah domestik serta penyokong keluarga, maka mereka masing-masing bisa fokus dan ekonomi tinggi terwujud. Salaryman dianggap sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi-sosial di Jepang pasca perang dunia. Karakteristik salaryman yang bekerja mati-matian dan pengabdiannya yang luar biasa kepada sebuah perusahan, dianggap menjadi salah satu faktor majunya perekonomian Jepang saat itu (Vogel, 1971).

  • Beban yang ditanggung seorang perempuan menjadi ryosaikenbo salah satunya adalah masalah pendidikan anak. Pemahaman bahwa pengasuhan anak berpusat pada ibu mulai disebarkan sejak zaman Taisho (Nakamura Masanao, 1832-1891). Pada tahun 1800-an terdapat kesadaran akan perempuan satu-satunya yang bisa mengandung dan melahirkan generasi penerus. Fungsi reproduksi penting untuk menjalankan modernisasi, sehingga pemerintah meiji memberi perhatian pada pendidikan perempuan. Karena dianggap penting, ditetapkanlah kurikulum ryosaikenbo oleh Departemen Pendidikan pada tahun 1899. 

  • Dalam kurikulum ini, perempuan diajarkan untuk mendukung penuh keluarga serta keterampilan mengasuh dan mendidik anak. Jadi penilaian orang terhadap suami, anak, dan keluarga adalah penilaian terhadap istri atau ibu. Perempuan tidak lagi menjadi matahari, melainkan menjadi bulan, memantulkan sinar suami dan anak.

  • Pada Taisho akhir, terjadi krisis ekonomi sehingga tidak bisa membayar pendidikan anak. Terjadilah fenomena boshi shinjuu () atau ibu yang bunuh diri bersama dengan  anaknya. Hal ini disebabkan karena perasaan bersalah tidak dapat memberi yang terbaik untuk anak, merasa dialah yang bertanggung jawab dan tidak mempercayakan perawatan serta pendidikan anak kepada orang lain. Fenomena ini juga sesuai ajaran bushido  bahwa bunuh diri sama dengan mati dengan terhormat. Jadi, dapat disimpulkan sisi negatif dari ryosaikenbo adalah tekanan pada perempuan Jepang jika tidak mampu memenuhi standar idealitas konstruksi sosial, mereka akan merasa stres bahkan memicu bunuh diri. Sedangkan dari segi sisi positif yaitu terjadi modernisasi Jepang dan industri yang rapi karena ada pembagian pekerjaan. 

  • Baru-baru ini di Jepang kesetaraan gender yang semakin didukung, serta berbagai pemikiran feminis yang muncul dari dalam diri wanita Jepang yang turut memberikan pengaruh terhadap perubahan pola pikir yang terjadi, sehingga hal tersebut memberikan dampak yang cukup besar ke dalam kehidupan masyarakat Jepang. Kini banyak wanita yang menunda pernikahan (bankonka) bahkan memutuskan untuk tidak menikah (hikonka), sehingga memicu munculnya masalah penurunan angka kelahiran (shoushika). Penyebab munculnya bankonka/hikonka adalah ketidakseimbangan jumlah penduduk, peningkatan jumlah hiburan dan kepraktisan yang mendukung hidup sendiri, peningkatan pendidikan dan kenaikan persentase tenaga kerja perempuan, dan lain-lain (Mizutani,1995:166).
  • Kesetaraan gender dalam bentuk pendidikan dan pekerjaan merupakan suatu kemajuan yang terjadi di Jepang. Namun keinginan menjadi wanita karir dan kebebasan tidak terikat urusan rumah tangga juga semakin besar. Hal ini menimbulkan dampak berupa penurunan angka kelahiran di Jepang karena banyak wanita yang tidak menikah dan tidak mau terbebani terkait pengasuhan anak (Sasaki, 2008: 58-61). 

  • Jika permasalahannya karena urusan rumah tangga dan pengasuhan anak merepotkan dengan keinginan menjalankan karir, menurut saya pola pikir ini bisa diatasi jika perempuan mau berperan ganda yaitu kerja domestik dan kerja upahan. Tentunya harus ada kesepakatan dari pihak laki-laki agar mau bekerjasama dalam berperan ganda pula, sehingga rasa terbebani pada perempuan berkurang dan mereka mau menjalani pernikahan. 

  • Peran ayah untuk bekerjasama dan bergantian dalam mengurus anak juga diperlukan agar "kebebasan" atau "me time" untuk kesehatan mental dan fisik perempuan tetap terjaga, serta kedekatan anak dengan masing-masing orang tua terbangun dengan baik. Sehingga dapat disimpulkan beban ganda yang ditanggung ibu dapat berkurang jika ayah juga mau berperan ganda, serta kebutuhan sosok figur ayah terpenuhi bagi anak (Miyamoto & Fujisaki, 2008: 58).

  • Undang-undang tentang kehidupan rumah tangga juga sudah diatur sedemikian rupa agar adil dalam pembagian harta maupun hak antara suami dan istri. Selain itu pilihan untuk tidak memiliki terlalu banyak anak memang memengaruhi rendahnya angka kelahiran, namun jika memikirkan kesejahteraan anak kedepannya itu merupakan keputusan paling tepat yang bisa diambil masing-masing pasangan. Saya rasa tidak akan menjadi masalah jumlah anak yang dimiliki, asalkan mereka masih menginginkan sebuah pernikahan dan bereproduksi agar setidaknya ras "asli" Jepang tetap ada.

  • Permasalahan selanjutnya adalah jika perempuan berperan ganda, itu artinya mereka butuh hukum yang mengatur cuti kehamilan dan mengasuh anak. Dengan alasan "kemanusiaan", para petinggi atau pembuat kebijakan perusahaan harus menyadari dan memaklumi tubuh perempuan yang notabenenya lebih lemah dari laki-laki serta ikut merasakan simpati sulitnya melahirkan dan mengurus anak. Ini harus ditanamkan agar tidak memunculkan pikiran bahwa para perempuan akan menurunkan tingkat produksi dan terjadi diskriminasi dalam perekrutan pegawai. 

  • Lingkungan kerja yang mendukung dan hukum yang kuat dapat menyeimbangkan kehidupan perempuan dan mengatasi masalah kesetaraan gender. Bagaimanapun peran dalam pengasuhan anak dapat berkaitan dengan kualitas anak dan kemajuan bangsa. Hal ini juga berlaku untuk pekerja laki-laki agar tidak bekerja berlebihan. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan work-life-balance charter untuk mengatasi permasalahan keseimbangan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga (Yamada, 2010).

  • Peningkatan jumlah fasilitas penitipan anak/daycare di Jepang juga penting dilakukan agar orangtua tidak khawatir keadaan anak dan bisa fokus bekerja. Hal ini dikarenakan penggunaan baby sitter atau asisten rumah tangga tidak umum di Jepang dan pola pikir rumah adalah tempat privasi semakin mengharuskan para orang tua menitipkan anak di luar. Jam kerja baik kepada perempuan dan laki-laki perlu dievaluasi agar mereka bisa menerapkan peran ganda dengan baik serta demi kesejahteraan pegawai karena jam kerja yang berlebihan bisa membuat stres dan frustasi. Kesetaraan gender bukan berarti mendapat perlakuan sama persis, namun menyesuaikan kebutuhan dari masing-masing pihak. Pilihan antara pekerjaan atau melahirkan yang selama ini menjadi pusat kebimbangan wanita Jepang akan terselesaikan dengan baik jika bisa menerapkan konsep kesetaraan gender dengan bijak.  

            

            Daftar Pustaka

            Davies, R. & Ikeno, O. (1949). The Japanese Mind: Understanding 

                   Contemporary Culture. Tuttle Publishing

            Miyamoto, Tomoko & Haruyo Fujisaki. (2008). Trends in Research on 

                   Fathers with Infant Children in Japan. Annual Bulletin of Institute of  

                   Psychological Studies. Showa Womens University. Vol.11, 57-66

            Sasaki, Masahito. (2008). Families and Their Children in Japan: 

                  Demographical Changes, Marital Instability, and Child Rearing    

                  Stress

            Vogel, Ezra. (1971). Japan's New Middle Class. University of California

                   Press: Berkeley and Los Angeles

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun