Salah satu rangkaian dari proses perkawinan di Minangkabau yaitu "Malam Baretong". Malam baretong biasanya dilakukan diakhir resepsi dimana kegiatan ini diikutsertakan oleh para niniak mamak, keluarga kedua mempelai, keluarga sipangka, niniak mamak, kapalo mudo, serta wali nagari dan masyarakat sekitar ikut andil saat malam baretong ini.
Kegiatan gotong royong atau bisa disebut sumbang menyumbang dalam pesta perkawinan ini bertujuan agar tidak terjadi pertikaian baik itu sebelum maupun sesduah acara berlangsung.
Asal mula malam baretong tidak lepas dari istilah "uang japuik (jemputan) atau uang hilang", istilah ini diberikan calon mempelai wanita kepada mempelai pria dikarenakan pada zaman dahulu sekitar awal tahun 1950-an di salah satu wilayah Pariaman ada seorang anak gadis yang beranjak dewasa menuju perawan tua.
Kekhawatiran keluarga perempuan membuatnya mengambil jalan tengah dengan menyebar berita dari mulut ke mulut akan memberikan bonus yang disebut "uang hilang".
Tahapan acara malam baretong dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu:
1. Semua elemen masyarakat, niniak mamak, kenagarian daerah anak daro atau marampulai dihidangkan dengan makan bajamba(makan secara bersama-sama).
2. Mahimbau(memanggil), tukang janang akan memanggil niniak mamak, urang sumando, wali nagari, kapalo mudo, pemuda, dan perwakilan keluarga sipangka untuk duduk secara bersama-sama di tikar yang telah disiapkan.
3. Tahapan yang terakhir baretong (menghitung)
Tukang janang yang bertugas menghimbau seluruh elemen masyarakat akan memulai dengan kata-kata:
“aa baa nyo niniak mamak, urang sumando, wali nagari, ketua pemuda, keluarga sipangka dan masyrakat kito, kok bajamba lah sudah moh, baa dek kini kok lai ado yang kabaretong malam ko” (bagaimana ninik mamak, orang semenda, wali nagari, ketua pemuda, keluarga tuan rumah, dan masyarakat kita, jika makan sudah selesai, apakah kita akan malakukan penghitungan malam ini?)
Setelah direspon oleh para tamu maka dilanjutkan kembali oleh tukang janang tadi:
“aaa si man geneang dari kampuang tangah, duo ratuih ibu mungko balakang” (Si Man Geneang dari Kampung Tengah, dua ratus ribu suami istri)
Maksud disebutkannya mungko balakang yaitu suami istri.
Begitulah kira-kira rangkaian acara dari tradisi malam baretong di Pariaman. Baik itu di keluarga marampulai atau anak daro keduanya tetap melaksanakan malam baretong, yang menjadi pembedanya di pihak marampulai uang dari kotak resepti tidak dihitung secara bersama-sama di tikar. Tradisi malam baretong ini sudah sejak lama menjadi tradisi dan budaya bagi masyarakat di Pariaman.