Seiring dengan zaman yang berubah, beberapa suku di Indonesia masih berusaha menjaga keaslian tatanan sosialnya yang telah turun temurun. Salah satunya, Suku Baduy. Suku Baduy yang dikenal juga dengan sebutan Urang Kanekes, berada di bawah kaki Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.Â
Suku Baduy terdiri dari dua bagian, yaitu: Baduy Luar  dan Baduy Dalam. Secara sederhana, perbedaan keduanya berdasarkan pada bagian "kelonggaran/kebebasan" dalam menjalani keseharian. Baduy Dalam melarang adanya penggunaan elektronik, alas kaki (seperti; sandal, sepatu), transportasi, zat-zat kimia (seperti; sabun, odol, detergen) dan pakaian selain pakaian adat bagi masyarakatnya.Â
Sedangkan Baduy Luar, memiliki sedikit kelonggaran untuk menjalankan aturan adat dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam keduanya masih sangat menjaga setiap tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Salah satu tradisi yang masih dilaksanaan hingga saat ini adalah Tradisi Kawalu.
Tradisi Kawalu disebut juga sebagai bulan suci bagi suku Baduy layaknya Ramadhan bagi umat muslim. Tradisi ini dilakukan selama tiga bulan "kawalu" setiap tahunnya (pada bulan Kasa, Karo, dan Katiga), puncak ritual Tradisi Kawalu berupa buka puasa bersama seluruh masyarakat Suku Baduy di Baduy Dalam dengan makanan pembuka yang sifatnya wajib berupa sereh ( daun sirih yang telah diberi doa dan dikunyah) dan saji ( padi "huma serang" yang ditanam di tanah khusus yang kepemilikannya berada di tangan seluruh masyarakat Baduy).Â
Kawalu diisi dengan doa-doa untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi alam dan manusia. Dalam pelaksanaannya, masyarakat suku Baduy berpuasa selama satu hari di setiap tiga bulan Kawalu.Â
Selama Kawalu berlangsung, baik turis lokal maupun turis mancanegara, pejabat daerah, dan pejabat Negara tidak diperbolehkan memasuki wilayah Baduy Dalam; Â terdiri dari Desa Cibeo, Desa Cikertawana, dan Desa Cikeusik.
Tradisi Kawalu juga dimaksudkan sebagai  upacara untuk berdoa meminta kepada Gusti Numaha Suci agar negara Indonesia diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Berangkat dari sinilah,  kami melihat adanya nilai nasionalisme di dalam Tradisi Kawalu yang dapat diangkat sebagai pendukung dari integrasi nasional.Â
Hal ini dikarenakan suku Baduy Dalam terkesan "jauh", "pedalaman", "primitif" seakan bukan bagian dari Indonesia. Namun, bukan berarti tidak dapat terintegrasi, sebaliknya, justru dalam tradisinya terdapat kecintaan dan kesetiaan pada negeri---yang juga menjadi pendukung dari integrasi di lingkup nasional.
Pada tulisan Heddy Shri Ahimsa-Putra yang berjudul "Integrasi Nasional dan Ancaman yang dihadapi"---dalam Kuliah Umum Koentjaraningrat Memorial Lecture VX/2018---secara singkat, menelaah pandangan Koentjaraningrat mengenai hadirnya integrasi nasional dalam proses yang terus berlangsung melalui  transformasi kebudayaan yang memperkuat kesatuan bangsa dengan tetap mempertahankan eksistensi kebudayaan-kebudayaan suku bangsa.Â
Atas dasar inilah, kami berusaha menelisik lebih dalam eksistensi Tradisi Kawalu di Suku Baduy yang dapat berperan sebagai pendukung integrasi di Indonesia.
Penelitian kami menggunakan metode observasi partisipan dan wawancara mendalam. Dalam keseharian, kami memilih wawancara mendalam yang dikemas dengan obrolan santai dengan masyarakat Baduy. Â
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka pandangan baru bagi masyarakat umum mengenai keteguhan suku Baduy dalam menjunjung kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H