Mohon tunggu...
Aisyah Rayyi
Aisyah Rayyi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Universitas Negeri Semarang

Hobi saya membaca novel dan menonton film

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketimpangan Akses Pendidikan: Ketika Biaya Kuliah yang Tinggi Menghalangi Impian

6 Agustus 2024   14:09 Diperbarui: 6 Agustus 2024   14:12 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semarang --- Aisyah Rayyi Wihandoko, Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Eem Munawaroh. Dosen Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Rossi Galih Kesuma. Dosen Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

Saat ini, biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) semakin melonjak. Apalagi disaat penerimaan mahasiswa baru, banyak kasus-kasus mahasiswa yang mendapat UKT dengan nominal yang sangat besar dan hampir tidak masuk akal. Seperti baru-baru ini, uang pangkal Universitas Indonesia (UI) yang mencapai Rp 161 juta untuk mahasiswa sarjana dan vokasi jalur seleksi mandiri Pendidikan Kedokteran. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang akhirnya berhenti kuliah karena tidak sanggup untuk membayarnya. Hal ini kemudian menjadi banyak perbincangan, apakah hanya orang kaya saja yang boleh berkuliah?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya harga UKT, seperti biaya operasional perguruan tinggi dan kurangnya subsidi pemerintah. Perguruan tinggi memerlukan biaya operasional yang besar untuk mempertahankan kualitas pendidikan, fasilitas, dan sumber daya manusia. 

Meskipun mendapat subsidi dari pemerintah, banyak perguruan tinggi yang masih merasa kurang dan mengkompensasinya dengan menaikkan UKT. Seperti yang kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah. Hal ini dapat terjadi salah satunya karena belum meratanya perekonomian di Indonesia. 

Angka kemiskinan semakin tinggi, dan yang terjadi saat ini adalah biaya pendidikan yang malah semakin mahal. Hal ini dapat membuat kesenjangan sosial semakin buruk. Yang kaya dapat berkuliah dan menjadi orang sukses, sedangkan yang tidak mampu tidak dapat berkuliah dan akan tertinggal dalam kesengsaraan.

Pandangan Teori Kepribadian Behavioristik

Masalah ini jika dipandang dalam teori kepribadian yaitu teori behavioristik, dapat dilihat sebagai faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi perilaku individu, khususnya dalam hal pendidikan dan motivasi belajar. Teori behavioristik berfokus pada bagaimana lingkungan dan pengalaman belajar membentuk perilaku, tanpa terlalu memperhatikan faktor internal atau kognitif. Behaviorisme menekankan pentingnya reinforcement (penguatan) dalam membentuk perilaku. 

Dalam konteks biaya kuliah, mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dapat dilihat sebagai stimulus aversif yang menurunkan motivasi siswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Tingginya biaya kuliah dapat menimbulkan perasaan cemas, stres, dan ketidakberdayaan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan siswa mengalihkan perhatian mereka dari pendidikan ke upaya mencari alternatif lain yang lebih terjangkau. 

Namun sebaliknya, biaya kuliah yang lebih terjangkau dapat berguna sebagai reinforcement (penguatan) positif yang menaikkan minat dan komitmen siswa terhadap pendidikan. Selain itu, reinforcement positif dari lingkungan, seperti beasiswa, bantuan finansial, dan dukungan pemerintah, dapat semakin memperkuat motivasi siswa untuk berprestasi dan melanjutkan pendidikan mereka.

Selain penguatan positif dan negatif, dalam behaviorisme, lingkungan juga memainkan peran kunci dalam membentuk perilaku. Mahalnya UKT membentuk lingkungan yang kurang mendukung bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, untuk mengakses pendidikan tinggi. 

Lingkungan yang penuh tekanan finansial ini dapat menyebabkan penurunan prestasi akademik, karena mahasiswa yang tertekan oleh beban biaya mungkin kurang fokus pada studi mereka dan lebih khawatir tentang cara memenuhi kebutuhan finansial mereka. 

Behaviorisme juga menekankan pembentukan perilaku melalui contoh, yaitu dengan observasi dan imitasi. Jika mahasiswa melihat banyak rekan mereka yang berjuang atau gagal karena tingginya biaya UKT, mereka mungkin akan merasa kurang termotivasi atau pesimis tentang peluang mereka sendiri. Penurunan motivasi ini dapat mengarah pada sikap pesimis dan kurangnya usaha dalam mencapai tujuan akademik mereka.

Sebaliknya, jika mahasiswa melihat contoh sukses dari rekan-rekan mereka yang berhasil mengatasi hambatan finansial melalui bantuan keuangan, beasiswa, atau dukungan lain, mereka mungkin merasa lebih termotivasi dan memiliki harapan yang lebih tinggi untuk mengatasi tantangan yang mereka hadapi. 

Contoh positif ini dapat memberikan dorongan bagi mahasiswa untuk mencari dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia, serta meningkatkan keyakinan mereka bahwa mereka juga bisa mencapai kesuksesan akademik meskipun menghadapi kendala finansial. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung dan menyediakan contoh positif, institusi pendidikan dapat membantu meningkatkan motivasi dan kinerja mahasiswa, serta mengurangi dampak negatif dari biaya pendidikan yang tinggi.

Solusi

Lalu, bagaimana solusi yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ini? Salah satu pendekatan yang efektif adalah memberikan reinforcement positif, yang dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah dan cakupan beasiswa, subsidi, serta insentif lainnya. Dengan menyediakan lebih banyak bantuan finansial, mahasiswa akan lebih terdorong untuk tetap berkuliah dan melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Bantuan ini tidak hanya mengurangi beban finansial, tetapi juga meningkatkan semangat dan motivasi mahasiswa untuk mencapai tujuan akademik mereka.

Selain itu, modeling juga memainkan peran penting dalam memotivasi mahasiswa. Meningkatkan visibilitas contoh-contoh sukses dari mahasiswa yang berhasil mengatasi hambatan finansial dapat memberikan inspirasi dan motivasi tambahan. 

Dengan menunjukkan bahwa kesuksesan akademik dapat dicapai meskipun menghadapi tantangan ekonomi, mahasiswa lain akan merasa lebih percaya diri dan termotivasi untuk mengejar pendidikan mereka. Contoh-contoh ini juga dapat membantu mengubah persepsi bahwa pendidikan tinggi hanya untuk orang-orang dengan kemampuan ekonomi yang baik.

Program-program yang menampilkan cerita sukses dari alumni yang telah mengatasi kesulitan keuangan dan mencapai keberhasilan dapat menginspirasi mahasiswa saat ini. Kampanye kesadaran tentang pentingnya pendidikan dan bagaimana berbagai dukungan finansial dapat membantu mereka mencapai tujuan akademik mereka juga bisa sangat bermanfaat. 

Dengan kombinasi reinforcement positif dan modeling yang efektif, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung, sehingga lebih banyak mahasiswa dapat mengatasi hambatan finansial dan memperoleh pendidikan yang lebih baik tanpa menghiraukan latar belakang ekonomi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun