Mohon tunggu...
Aisyah Putri
Aisyah Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Universitas Airlangga — Jurusan Studi Kejepangan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengaruh Pandemi Covid-19 terhadap Peningkatan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga

16 Juni 2022   14:20 Diperbarui: 17 Juni 2022   22:00 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

          

Wabah infeksi virus corona pada tahun 2019 (Covid19) menginfeksi sedikitnya 298.000.000 orang  dan menewaskan hingga 5,47 juta orang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan wabah COVID-19 sebagai "pandemi". Untuk meminimalisir penularan Covid-19 ke masyarakat, pemerintah selanjutnya mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain social distance (pembatasan sosial) yang membantu mencegah  kontak fisik  di masyarakat. Berbagai media sosial. Dengan menjaga jarak sosial, kegiatan sosial yang memerlukan kontak langsung, seperti bekerja, sekolah, dan beribadah, biasanya dilakukan oleh masyarakat dan  dilakukan di rumah. Ini dianggap sebagai prosedur paling aman dan karena itu ditegakkan. 

Dengan memperkenalkan pembatasan sosial, orang menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Sisi positifnya dalam hal ini adalah Anda lebih banyak menghabiskan waktu  untuk bertemu dan berinteraksi dengan keluarga. Namun, hal ini berdampak negatif tidak hanya pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kesehatan mental manusia. 

Efek psikologis yang dirasakan  masyarakat selama pandemi adalah gangguan stres pasca trauma, kebingungan, kecemasan, frustasi, ketakutan akan kasih sayang, insomnia, dan ketidakberdayaan. Kondisi yang paling serius adalah  kasus pengucilan alien dan  kasus bunuh diri. Hal ini karena seseorang sangat takut untuk terinfeksi dengan apa yang dianggap sebagai virus yang  sangat buruk .

Tentu saja, ini  mempengaruhi perilaku manusia. Ini karena orang mungkin merasa tidak nyaman atau puas dengan situasi yang mereka hadapi, atau merasakan tekanan dalam diri mereka, dan mungkin tidak bebas untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Adanya tekanan yang muncul dalam diri seseorang, dapat menimbulkan dampak negatif lain yang terjadi ketika masyarakat melakukan karantina di rumah yaitu semakin tingginya angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Menurut Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 Tahun 2004, KDRT adalah setiap perilaku akan seseorang, terutama perempuan, yang mengakibatkan munculnya kesengsaraan atau penderitaan secara psikologis, fisik, seksual, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman dalam melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam cakupan rumah tangga (UU No. 23 Tahun 2004, 2004). 

Menurut hasil SPHN Tahun 2016 (Kemen PPPA, 2018) ada 4 faktor pemicu terjadinya kasus KDRT, baik secara fisik dan seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangannya, yaitu  :

  1. Faktor pribadi dalam hal pengesahan perkawinan, perkawinan tidak tercatat, kontrak, dan lain-lain bisa 1,42 kali lebih tinggi daripada yang diwajibkan secara hukum oleh negara. Selain itu, akibat pertengkaran hebat dengan suami, wanita dengan faktor ini berisiko 3,95 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan pasangan yang jarang bertengkar.

  2. Faktor pasangan, perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain 1,34 kali lebih mungkin mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak memiliki istri/pasangan lain. Selain itu, perempuan yang suaminya menganggur, minum alkohol, atau menggunakan obat-obatan berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

  3. Faktor ekonomi, aspek ekonomi merupakan aspek dominan dari kekerasan terhadap perempuan daripada aspek pendidikan. Hal ini setidaknya menunjukkan pekerjaan para pelaku yang sebagian besar adalah pekerja buruh, dimana tingkat upah tenaga kerja Indonesia di bidang tersebut masih relatif rendah, hal ini memberikan dampak pada kesejahteraan rumahtangga.

  4. Faktor sosial budaya, munculnya perasaan khawatir akan adanya tindak kejahatan yang dapat membahayakan keselamatan dapat menjadi pengaruh dalam kasus KDRT. Perempuan yang selalu dibayangi perasaan  khawatir ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang di daerah pedesaan memiliki resiko yang lebih sedikit untuk mengalami kekerasan fisik/seksual dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di daerah perkotaan.

Dari segi psikologis, ketika perekonomian keluarga terganggu, ditambah dengan terbatasnya ruang gerak seseorang dikarenakan adanya kebijakan pembatasan sosial selama pandemi Covid-19, banyak orang yang merasa kondisi mentalnya terganggu. Adanya beban-beban yang ditanggung, seperti beban pendidikan, ekonomi, atau beban lainnya yang menumpuk dapat menjadi pemicu dilakukannya kekerasan. 

Kondisi-kondisi tersebut dapat menjadi pemicu munculnya perasaan tertekan, mudah marah dan merasa emosi, atau bahkan adanya keinginan untuk melakukan kekerasan fisik. Komisioner Bidang Pengaduan Pelayanan dan Advokasi Hukum KPAI Purwakarta, Dandi Prima Kusumah juga menyampaikan hal yang serupa, bahwa di dalam rumah tangga, persoalan ekonomi dan perselingkuhan selama pandemi Covid-19 dapat menjadi permasalahan yang berdampak paling serius di dalam rumah tangga (Asep Supandi, 2020). 

Bagi para korban dari KDRT dampak yang ditinggal tentunya sangat membekas, baik secara fisik maupun mental. Dampak negatif dari KDRT pada umumnya mempengaruhi berbagai aktivitas yang dilakukan di kehidupan sehari-hari. Dalam segi psikis, KDRT dapat menimbulkan perasaan stress, depresi, trauma, hingga menyalahkan diri sendiri karena adanya perasaan traumatis yang membekas pada korban (Sutrisminah, 1970). 

Dari segi fisik, KDRT juga menimbulkan adanya memar, patah tulang, kerusakan pada bagian tubuh, atau bahkan bisa menyebabkan kematian (Jayanthi, 2009). Tentu saja pengaruhnya tidak hanya akan dirasakan oleh sang istri, namun juga anak yang berasal dari keluarga tersebut. Anak yang terbiasa melihat adanya kekerasan dalam lingkungan sekitarnya, akan beranggapan bahwa kekerasan dapat menjadi sebuah cara penyelesaian masalah. 

Dengan demikian, anak-anak akan cenderung meniru hal tersebut ketika akan menyelesaikan suatu masalah. Jelas akan berbahaya jika anak-anak beranggapan seperti itu dan apabila orangtua tidak menyikapi hal tersebut dengan baik, maka fase ini akan terus menerus berulang dan dapat memicu terjadinya masalah KDRT baru.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan KDRT yang terus berulang atau berkelanjutan (Handayani, 2020) yaitu :

  1. Bersikap tegas jika salah satu anggota keluarga melakukan tindakan atau melontarkan perkataan yang kasar. Berlaku terhadap anggota keluarga lain yang sedang melihat, turut menegur dan dengan tegas menyuruh untuk berhenti melakukan hal tersebut dan segera memintanya untuk mengakui dan meminta maaf.

  2. Meminta bantuan pada tenaga profesional dengan melakukan konsultasi kepada psikolog atau konsultan pernikahan guna mencari solusi terbaik jika terjadi konflik dalam keluarga dan masih ada keinginan untuk mempertahankan rumah tangga.

  3. Meminta dukungan pada keluarga atau sahabat dengan menceritakan permasalahan yang dihadapi kepada orang terdekat yang dipercaya. Hal ini berguna agar terhindar dari stress karena keluarga dan sahabat mungkin dapat membantu mencari solusi tersebut, atau bahkan dapat menolong korban dan menjaga korban agar tetap merasa aman.

  4. Melakukan perencanaan tindakan keselamatan apabila kekerasan dalam rumah tangga tetap berlangsung, atau bahkan semakin parah dan dapat membahayakan anggota keluarga. Seperti mencari bantuan pada lembaga atau pihak berwenang untuk melaporkan tindak KDRT, misalnya dengan menghubungi layanan yang diberikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) antara lain :

  • Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.

  • Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dengan nomor telepon (021) 3448510.

Selain itu, korban KDRT pun dapat melakukan pengaduan dan konsultasi kepada lembaga-lembaga perlindungan, seperti LBH APIK, atau melaporkan dan mengungkapkan langsung pada pihak kepolisian. Bisa juga melaporkan pada kepala daerah sekitar, serta meminta bantuan dan dukungan tetangga, atau melaporkan melalui sarana media sosial. 

  1. Untuk berjaga-jaga, korban perlu untuk mengumpulkan semua bukti yang menunjukkan kekerasan seperti hasil visum, catatan tangga peristiwa kekerasan, rekaman video, atau suara karena hal tersebut akan menjadi bukti konkrit terjadinya KDRT dan dapat menjadi bukti yang penting apabila akan dilanjutkan ke ranah hukum.

Dari sekian banyak unsur yang bisa menimbulkan terjadinya KDRT, kita mesti paham tentang pentingnya konsep kesetaraan dalam keluarga yang menjadi kunci dalam memutus tindak KDRT. Peranan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dengan disertai dengan adanya pandangan hidup serta nilai luhur, terhitung nilai kesetaraan dan keadilan pada setiap gender yang ditanamkan. 

Nilai-nilai tersebut tentunya bisa dijadikan anutan dalam memperkuat relasi pernikahan ataupun kekeluargaan. Serta perlunya untuk membangun komitmen yang kuat untuk membangun komunikasi dua arah antara suami dan istri, sehingga peristiwa KDRT bisa tereliminasi. Baiknya hubungan suami istri bisa dilandasi dengan perasaan saling membutuhkan, saling melindungi, saling melengkapi, dan saling mengasihi satu sama lain untuk sama-sama bertanggung jawab di lingkungan masyarakat dan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa (KPPPA, 2020).  

Melihat adanya peningkatan kasus KDRT di masa pandemi Covid-19, maka sangat dibutuhkan untuk melakukan pemulihan pada para korban, baik secara fisik maupun mental. Dengan hal ini, tentunya peran pemerintah serta masyarakat sekitar sangat dibutuhkan. Pemerintah bisa saja melakukan edukasi terhadap masyarakat melalui berbagai media yang ada mengenai pentingnya menjaga keharmonisan keluarga di masa pandemi ini, dengan harapan bahwa dapat mencegah atau bahkan mengurangi terjadinya kasus KDRT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun