Pada akhir bulan November tahun ini, seluruh masyarakat Indonesia sedang merayakan pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah. Luasnya daerah di Indonesia yang terdiri dari banyak wilayah kepulauan menjadikan pelaksanaan pilkada sangat penuh akan syarat dan makna. Mulai dari pilkada provinsi sampai kabupaten atau kota semarak menghadirkan pasangan kepala daerah yang memiliki karakteristik masing-masing agar dikenal oleh masyarakat. Satu hari merupakan tombak penentu pemimpin masa depan yang akan membawa masing-masing daerah menuju kemajuan.Â
Namun pada saat hari-H pesta demokrasi berlangsung, semua media dan pemberitaan sedang diramaikan dengan adanya berita dijaringnya Calon Gubernur Bengkulu karena akan melakukan suap kepada masyarakat dengan memberikan serangan fajar berbentuk amplop berisi uang. Dikutip dari Tempo.co KPK meringkus salah satu calon kepala daerah Bengkulu Rohidin Mersyah. Pada saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK menemukan amplop bercetak gambar pasangan nomor urut 2 tersebut yang kuat dugaan akan dipakai untuk kegiatan serangan fajar saat hari pemilihan di mulai.
Istilah serangan fajar sendiri baru ramai mencuat didengar saat pesta demokrasi dimulai. Sebenarnya tidak ada yang tau pasti kapan munculnya istilah ini, namun serangan fajar merupakan kata samaran dari adanya praktik politik uang yang dapat mempengaruhi pilihan masyarakat. Dilansir dari Jurnal UMJ karya Azlin Mutholib, dkk, makna dari istilah serangan fajar sendiri merupakan praktik politik uang yang dilakukan oleh tim sukses salah satu paslon dengan metode berkeliling kampung untuk membagikan keuntungan material seperti uang yang dilakukan pada waktu dini hari. Sehingga kata 'fajar' mengarah pada waktu dilakukannya praktik politik uang tersebut. Praktik serangan fajar ini dilakukan oleh pelaku politik dengan harapan akan mengundang banyak suara.
Meskipun kegiatan praktik serangan fajar yang secara logika ini dianggap sebagai sebuah kecurangan dalam sebuah pesta demokrasi. Masyarakat Indonesia masih menormalisasi praktik curang tersebut, dengan alih-alih keuntungan material tersebut berasal dari pemberian seseorang. Hal ini dibuktikan dengan Survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada tahun 2019 yang berisi 40 persen respon mengaku menerima uang tetapi tidak memilih, dan 37 persen lainnya mengaku menerima uang dan mempertimbangkan untuk memilih paslon yang memberi uang serangan fajar.
Dari survei di atas dapat dilihat secara keseluruhan lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia menerima uang dari praktik politik uang. Bukti lain mengenai adanya normalisasi Serangan fajar yakni bertaut pada ucapan Presiden Indonesia yang baru saja dilantik yakni Prabowo Subiyanto pada masa kampanyenya pada bulan Februari lalu di Sumatra Selatan. Dikutip dari Kompas.com saat Prabowo datang berkunjung Ke Kota Makassar memberikan anjuran kepada masyarakat untuk menerima praktik politik uang, "Kalau dikasih uang bagaimana? Terima saja uangnya. Itu uang rakyat juga itu. Terima uangnya, pilih sesuai hati nuranimu." Sekelas Presiden yang seharusnya memberikan contoh yang baik untuk warga Indonesia malah menormalisasi adanya praktik politik uang di dalam negara demokrasi.Â
Adanya sebuah fenomena serangan fajar secara luas dan gencar membangun persepsi masyarakat Indonesia menjadi berfokus sempit kepada keuntungan receh material saja. Padahal sebuah pemilihan kepala daerah merupakan langkah sensitif yang harus diperlukan perhatian penuh dari latar belakang, rekam jejak, dan visi misi Cakadanya. Sehingga nantinya dengan cara mempertimbangkan hal-hal di atas akan terbangun gambaran kepemimpinan sesuai ekspetasi bukan hanya berpatokan pada keuntungan di awal saja.Â
Sepanjang awal tahun 2023 sampai 2024, pertumbuhan jumlah penduduk Di Indonesia mengalami peningkatan. Dikutip dari website We are social, peningkatan jumlah penduduk mencapai 2,3 juta jiwa atau 0,8 persen dari jumlah penduduk ditahun sebelumnya yakni 2023. Adanya peningkatan penduduk Di Indonesia ini tidak mempengaruhi pertambahan presentase kemiskinan Di Indonesia, malah berbanding balik pada penurunan angka kemiskinan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Sebanyak 0,33 persen kemiskinan di Indonesia tahun ini menurun dari tahun sebelumnya. Tetapi dengan adanya penurunan presentasi kemiskinan tidak merubah pola pikir masyarakatnya yang terjerat dalam gelombang normalisasi politik uang.
Terpupuknya pemikiran yang mengutamakan perolehan keuntungan semata merupakan ciri-ciri orang yang mengidap mental miskin. Dilansir dari SOSMANIORA (Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2024), orang yang memiliki mental miskin umumnya ditandai dengan adanya keinginan semua hal berjalan cepat dan takut pada kerugian menimpa dirinya. Sesuai dengan fenomena serangan fajar yang terjadi Di Indonesia dengan sangat cepat pada saat pesta demokrasi, masyarakat yang ikut menerima uang tidak harus bekerja dengan susah payah. Dengan cara menengadahkan tangan dan menjual suaranya mereka dapat dengan mudah mendapatkan pundi-pundi uang.
Sehingga mengapa muncul sebuah opini adanya fenomena serangan fajar merupakan pertanda Indonesia masih didominasi oleh pemikiran rakyat miskin?, karena keuntungan sesaat yang ditimbulkan oleh politik uang dapat merubah pemikiran seseorang menjadi sangat sempit. Jika satu orang saja yang terkena serangan fajar, mungkin itu tidak akan mempengaruhi arah suara yang dipilih. Tetapi naasnya serangan fajar terjadi secara menyeluruh ke berbagai wilayah. Tidak memandang miskin atau tidak, orang yang dalam kategori mampu pun akan terbentuk pola pikir miskin karena adanya proses instan dan mudah untuk mendapat pundi-pundi uang.
Bahaya serangan fajar akan menjadi luas merasuk kedalam kebiasaan masyarakat Indonesia. Dalam sebuah kebiasaan tersebut juga akan terbentuk pola pikir normalisasi ke arah yang salah. Pesta demokrasi seharusnya harus berpedoman pada asas yang luber jurdil sesuai dengan visi misi yang diberikan oleh calon kepala daerah bukan dari keuntungan awal semata. Maka dari itu seharusnya pemerintah memberikan sosialisasi mendalam yang mampu menyadarkan masyarakat, bahwa fenomena serangan fajar ini sebaiknya tidak untuk dinormalisasi, karena akan berpengaruh negatif kepada hasil terpilihnya pemimpin selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H