Tiga judul buku dipajang dengan elok di sudut kantor Syamsi Dhuha Foundation (SDF), di daerah Dago, Bandung. "Miracle of Love", "Sunrise Serenade", dan "Belajar Bahagia" adalah karya-karya yang menandai pemaknaan hidup Dian Syarief terhadap apa yang telah dilaluinya.Â
Perempuan kelahiran  1965 itu telah lama dikenal sebagai penyintas Lupus (Odapus) dan Low Vision. Dian yang pernah menjadi corporate communication manager di sebuah bank swasta, sejak tahun 2004 mengabdikan hidupnya untuk membantu sesama Odapus dan penyandang Low Vision melalui SDF. Ada banyak kepingan mozaik dalam hidup Dian yang memperjalankannya sampai ke titik itu.
Dalam sebuah bab buku "Belajar Bahagia" -- yang merupakan karya kolaborasi Dian dengan suaminya, Eko P. Pratomo -- Dian menyebutkan sebuah buku berjudul "Tati Tak Kan Putus Asa" karya Luwarsih Pringgoadisurjo. Cerita dalam buku itu sendiri adalah tentang seorang anak yang berjuang untuk memperbaiki nilai rapornya agar dapat naik kelas.Â
Pada bab berjudul "Inspirasi Masa Kecil" itu Dian menuliskan, "Siapa nyana inspirasi masa kecilku itu merasuk ke dalam jiwa saat harus hadapi ujian kehidupan. Sikap yang terbentuk pun tak mudah patah, tak mudah menyerah. Aku pun terobsesi untuk bisa naik kelas, menjadi aku yang lebih baik dari kemarin."
Di sebuah wawancara Dian bercerita lebih jauh tentang masa kecilnya. Dian mengaku memiliki masa kecil yang bahagia. Kedua orangtuanya, alm Prof. Dr. dr. Rudy Syarief dan dr. Oemmy R. Syarief, memiliki konsep pengasuhan sendiri. Dian dididik untuk menjadi pribadi yang mandiri dan mempunyai bekal agama yang kuat.Â
Bapak Dian yang berprofesi sebagai dokter juga gigih membekali anak-anaknya dengan literasi. Dian mengisahkan bapaknya pernah mengajaknya dan kedua saudaranya ikut ke tempat praktik. Demi membujuk anak-anaknya, bapaknya berjanji membelikan buku sesuai dengan keinginan mereka sepulang dari tempat praktik.
Bapak Dian juga membuatkan perpustakaan di dalam rumah. Dalam perpustakaannya itu beliau mengisi dengan buku-buku dengan sentuhan spiritual. Diantaranya adalah seri buku karya Ajip Rosidi dan buku-buku terbitan Pustaka Jaya lainnya. Sampai saat ini buku-buku itu tetap hidup di benak Dian. Bahkan segmen dalam beberapa novel yang berkesan masih dapat Dian imajinasikan.
Di dalam novel "Sunrise Serenade" detik-detik saat Dian mulai kehilangan penglihatan dikisahkan dengan mengharukan. Penglihatan Dian mulai kabur saat dirinya bertugas membacakan saritilawah pada akad nikah adiknya. Dian bersyukur bahwa tulisan terakhir yang dapat dibacanya adalah ayat suci Al-Qur'an.Â
Meskipun sudah tak bisa membaca kitab suci, Dian tetap menghidupkan Al-Qur'an dalam dirinya. Seperti ketika Dian akan menghadapi operasi, Dian menguatkan batinnya dengan berzikir atau menyebut arti dari surat Al-Fatihah.
Literasi yang dimiliki Dian menjelma menjadi pelita dalam batin Dian. Meskipun sisa penglihatan Dian hanya tinggal sepuluh persen dan tak mungkin bisa membaca, namun apa yang telah dipelajarinya dan dibacanya menjadi bekal untuk mengarungi kehidupan.
Kecintaannya terhadap dunia literasi diteruskan Dian dengan menulis buku. Padahal saat dulu Dian masih bisa menyalurkan hobi membacanya, Dian tak tergerak untuk menulis. Ketika Dian sakit dan tidak bisa melihat, menulis justru menjadi satu jalan agar dirinya dapat tetap aktif dan bermanfaat. Tulisan-tulisan pertama Dian dibuat saat diirinya masih dalam masa perawatan. Perawat pendamping Dian yang membantunya menuliskan semua isi pikiran yang dia ucapkan.
Tulisan-tulisan Dian banyak dimuat di berbagai media massa. Melalui tulisan-tulisan tersebut Dian menjadi mulut bagi para Odapus untuk memperkenalkan penyakit ini kepada masyarakat. Dian juga memberi masukan kepada para pemangku kepentingan untuk dapat mendukung para Odapus dalam hal pengobatan.
Buku berjudul "Miracle of Love" menjadi karya pertama Dian dan Eko yang merangkum buku harian mereka selama menghadapi Lupus. Buku tersebut menginspirasi para pembaca untuk tidak putus asa dan mengenal cinta sejati. Dalam sebuah bab Eko melampirkan puisi-puisi cinta yang dituliskan untuk Dian selama masa pernikahan.
Fisik boleh berubah, namun pikiran Dian masih tetap tajam. Perempuan lulusan Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan '83 itu tak sekadar menulis, dia juga membuat konsep sampul bukunya sendiri. Menurut Dian segala sesuatu yang dibacanya mengendap dan menjadi bahan baku untuk berpikir. Pernah bisa melihat menjadi anugerah untuknya. Dengan bekalnya itu Dian masih dapat mengimajinasikan visual.Â
"Aku suka berimajinasi tentang buku yang kuinginkan. Seperti buku 'sunrise serenade' itu aku yang membuat judulnya. Aku juga minta sampulnya warna pastel karena aku suka warna-warna pastel", ujar Dian. Dian memiliki aset berupa visual memory. Yaitu objek yang terekam dalam benaknya karena pernah melihat, merasakan, atau meraba.
Kreativitas Dian juga disalurkan dalam buku "Luppy Sahabatku yang Nakal". Dian menggagas buku ini karena bertemu dengan seorang Odapus cilik yang orangtuanya kebingungan menjelaskan tentang penyakit Lupus. Dian lalu membayangkan untuk membuat sebuah buku.
Dian sadar bahwa anak-anak membutuhkan penjelasan yang lebih sederhana dan menyenangkan. Buku cerita dengan warna dan ilustrasi yang menarik dibutuhkan para Odapus Cilik. Dinilai sebagai alat komunikasi yang inovatif, Â buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam enam bahasa asing.
Gagasan Dian dianggap luar biasa untuk menguatkan mental para Odapus. "How to make friend with your enemy, how to make friend with Lupus" menjadi judul abstrak yang dipresentasikannya dalam The 9th International Congress on Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di Vancouver, Kanada, pada 2010.
Abstrak ini ditulis Dian berdasarkan pengalamannya sendiri saat menghadapi Lupus. Inti dari abstrak itu adalah 'acceptance' atau 'penerimaan' dalam dunia psikologi. Kata itu disimpulkan Dian sebagai 'berserah diri' dalam bahasa spiritual. Dalam kesempatan itu Dian juga menerima International Lifetime Achievement Award.
Literasi telah menjadi pelita dalam dunia Dian. Kemudian Dian pun menjelma menjadi pelita bagi saudara-saudara Odapus dan penyandang Low Vision. Bagi Dian sendiri buku-buku yang ditulisnya bukan sekadar catatan perjalanan, tapi adalah sebuah pemaknaan.Â
"Kalau kita gak bisa dapat pemaknaan, gak dapatkan hikmahnya, catatan itu jadi gak bermakna, gak berarti. Tapi catatan itu harus menjadi pembelajaran diri sendiri dan orang lain. Sehingga kita paham pesan dari Allah. Sehingga apa yang kualami selama ini gak menjadi percuma", jelas Dian. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H