Ki Hajar Dewantara, lahir sebagai Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, adalah bapak pendidikan nasional Indonesia yang mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922. Filosofi pendidikannya terkenal dengan trilogi pendidikan: Ing Ngarsa Sung Tuladha (Di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (Di belakang memberi dorongan) (Febriyanti, 2021).
Prinsip Ing Ngarsa Sung Tuladha menekankan bahwa guru harus menjadi teladan yang baik bagi murid-muridnya, menunjukkan integritas dan profesionalisme. Ing Madya Mangun Karsa mengajarkan bahwa guru harus berperan aktif di tengah-tengah siswa untuk membangun semangat dan motivasi belajar mereka. Terakhir, Tut Wuri Handayani menekankan peran guru dalam memberikan dukungan dan dorongan dari belakang, membantu siswa untuk mandiri dan percaya diri dalam belajar (Kusumastita, 2020). Trilogi ini mencerminkan pendekatan holistik dan humanis dalam pendidikan, yang tetap relevan dan diterapkan dalam sistem pendidikan masa kini di Indonesia. Berikut ini adalah penjabaran lebih mendalam mengenai implementasi filosofi Ki Hajar Dewantara dalam praktik pendidikan modern di Indonesia:
1. Pendidikan Berbasis Nilai dan Budaya Lokal
Salah satu implementasi utama dari filosofi Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan berbasis nilai dan budaya lokal. Kurikulum saat ini banyak mengintegrasikan muatan lokal, seperti bahasa daerah, kesenian, dan budaya tradisional dalam proses belajar mengajar (Hidayat, 2022). Contoh konkret adalah pengajaran tarian tradisional, musik daerah, dan penggunaan cerita rakyat dalam mata pelajaran. Hal ini tidak hanya melestarikan kebudayaan lokal tetapi juga menumbuhkan rasa bangga dan cinta tanah air pada siswa.
2. Pendidikan Karakter
Konsep Ing Ngarsa Sung Tuladha yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya teladan yang baik dari guru (Suwahyu, 2018). Pendidikan karakter menjadi bagian penting dalam kurikulum modern. Sekolah-sekolah mengimplementasikan program-program yang menanamkan nilai-nilai kejujuran, disiplin, tanggung jawab, dan kerja sama melalui kegiatan sehari-hari di sekolah. Misalnya, upacara bendera, kegiatan pramuka, dan berbagai proyek sosial yang melibatkan siswa secara aktif.
3. Pembelajaran Holistik dan Kontekstual
Prinsip Ing Madya Mangun Karsa menekankan pentingnya membangun semangat di tengah-tengah siswa. Pendekatan pembelajaran holistik dan kontekstual menjadi sangat penting dalam hal ini. Pembelajaran kontekstual mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa, membuatnya lebih relevan dan mudah dipahami (Yulianto, 2024). Misalnya, pelajaran matematika yang dikaitkan dengan aktivitas sehari-hari seperti belanja, pengukuran, dan pengelolaan keuangan sederhana. Metode ini meningkatkan keterlibatan siswa dan membuat pembelajaran menjadi pengalaman yang lebih bermakna.
4. Peran Guru sebagai Fasilitator
Prinsip Tut Wuri Handayani, yang berarti "di belakang memberi dorongan," menekankan peran guru sebagai fasilitator. Dalam praktik modern, guru lebih berperan sebagai pembimbing dan motivator, membantu siswa menemukan dan mengembangkan potensi diri mereka (Elitasari, 2022). Model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning) menjadi semakin umum. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara mandiri, berkolaborasi dengan teman sebaya, dan mengeksplorasi pengetahuan melalui proyek-proyek berbasis inkuiri.