[caption id="attachment_340635" align="aligncenter" width="504" caption=""][/caption]
Melihat dua calon presiden Indonesia hari ini, memang ibarat langit dan bumi. Yang sebelah kiri, gantengnya minta ampun. Yang sebelah kanan, aduhai minta ampun juga. Wajah ndeso, planga plongo, seperti abis kesetrum listrik. Dilihat dari kiri, dari kanan, dari depan maupun belakang, tak tampak sedikitpun aura ganteng, aura keren ataupun aura tampan.
Lalu, bermunculan berbagai opini – bahwa si ganteng itu cocok jadi presiden, dan si ndeso tidak. Alasannya: muka ndeso, klemar-klemer, ngga ada wibawa sama sekali tak pantas memimpin 240 juta jiwa di Indonesia.
Nah diatas adalah foto saya, perempuan judes. Dan seperti yang telah sering saya sampaikan, saya lahir dengan hidung yang peseknya minta ampun. Tapi sebagian orang bilang, walau berhidung pesek, saya rada-rada manis gitu...
Alkisah, 20 tahun kemudian saya mencalonkan diri menjadi Presiden Indonesia. Sialnya saya saat itu, sejarah kembali berulang. Banyak yang menolak pencapresan saya. Ramai ramai mereka menyandingkan foto saya dengan foto Marshanda dan menjadikannya headline berhari-hari.
“Aisyah Fadiya ngga pantas jadi Presiden !”
“Kenapa? “
“Karena hidungnya pesek”
"Lha, hidung pesek saya ini pemberian Tuhan. Masa iya, yang beginian dijadikan alasan ngga boleh nyapres. Memangnya ada ketentuan dalam undang-undang bahwa perempuan yang berhidung pesek dilarang nyapres?"
"Tapi nanti Presiden akan berhadapan dengan petinggi dari negara-negara lain. Memalukan kalau ketemu sama delegasi dari Eropa atau Amerika yang hidungnya mancung-mancung !
"Lha tapi hidung pesek saya ini pemberian Tuhan, dan kenapa harus malu? Udah syukur dikasih hidung ...."
"Pokoknya hidung pesek tak layak nyapres !"
Benarkah demikian?
“Pakar hukum tata negara Refly Harun berkata, “Seharusnya kampanye itu tidak boleh sara atau sesuatu yang given (takdir Tuhan –pen). Kalau sesuatu yang given, itu tidak bisa lagi diubah. Sesuatu yang given itu (adalah) apa-apa yang tidak bisa kita protes,”
Dan untuk para pengumpat fisik,
“Lihatlah wajahmu setiap waktu di cermin. Jika wajahmu itu bagus, anggaplah ia buruk karena engkau menambahkannya dengan perbuatan yang buruk, yang dengannya engkau telah memberi noda padanya. Dan jika (engkau dapati bahwa) wajahmu itu buruk, anggaplah ia memang buruk karena engkau telah menggabungkan dua keburukan (buruk rupa dan amal).” (Imam 'Ali as)
Pekanbaru, 5 Juni 2014
Aisyah Fadiya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H