Dalam komunikasi lintas budaya terdapat komunikasi verbal (bahasa) dan komunikasi non verbal (ekspresi, sikap, gerak tubuh, dll). Faktor yang mempengaruhi dalam komunikasi lintas budaya adalah (1) keunikan individu, (2) stereotipe, dan ( 3) objektivitas. Untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya, kita harus menjadi komunikator yang efektif.
Perbedaan budaya antara dosen dan mahasiswa dalam program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) tidak dapat dihindari dalam proses belajar mengajar. Guru dan siswa BIPA harus menyadari latar belakang budaya masing-masing agar dialog lintas budaya dapat mengalir dengan mudah dan kesalahpahaman dapat dihindari.
Guru idealnya mampu menjadi seseorang yang memahami nilai-nilai verbal, nonverbal, dan nilai-nilai lain yang dianut oleh budaya mahasiswa BIPA. Memahami latar belakang budaya mahasiswa BIPA akan membantu guru memahami mahasiswanya dan mengetahui bagaimana bersikap yang tepat saat berinteraksi dengan mahasiswa BIPA dari latar belakang budaya tertentu.
Seiring dengan perkembangan BIPA di Jerman, terdapat lebih dari sepuluh perguruan tinggi di Jerman yang menyelenggarakan program BIPA di berbagai kota, misalnya di Hamburg (KJRI Hamburg & IKAT Hamburg), Berlin (KBRI Berlin & VHS Berlin), München (VHS München), Bremen (VHS Bremen), Koblenz (VHS Koblenz), Konstanz (HTWG), dll.
Guru BIPA dituntut cepat beradaptasi di lingkungan baru. Mereka harus memiliki kepekaan terhadap situasi budaya dan hal-hal yang terjadi di lingkungan pengajarannya agar proses pembelajaran berjalan dengan baik.
Hal seperti mengalami gegar budaya tidak dapat dihindari, untuk itu yang perlu dilakukan adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang budaya tersebut, agar lebih mudah mengingatnya, dan membandingkannya dengan budaya guru itu sendiri agar perbedaan dan persamaannya dapat dipahami. Hal ini akan membantu guru terbiasa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Komunikasi lintas budaya di Jerman sangat menarik karena setiap negara bagian (Bundesländer) di Jerman memiliki budaya, dialek, sejarah, makanan, dan tradisi masing-masing, tetapi semua negara tersebut memiliki penutur bahasa Jerman. Perbedaan penggunaan dialek dan bahasa dalam komunikasi verbal dan non-verbal, dan juga dalam hal nilai-nilai masyarakat menjadi sangat kompleks karena perbedaan tersebut.
Aspek Komunikasi yang Perlu Dipertimbangkan oleh Pengajar BIPA
1. Komunikasi Verbal di Jerman
Ada beberapa "mehrdeutig" atau frasa ambigu dalam bahasa Jerman. Selanjutnya, kata tersebut sedikit diperpanjang, memberikan konotasi yang luas. Orang Jerman memiliki imajinasi yang sangat kreatif dan memiliki frasa untuk segala hal, seperti "Backpfeifengesicht", yang diterjemahkan sebagai "Seseorang yang pantas mendapatkan tamparan wajah".Terjemahan persisnya adalah "wajah bersiul", dan padanan kiasannya adalah "seseorang yang wajahnya membuat Anda ingin meninjunya".
Kata-kata dalam bahasa Jerman mungkin memiliki arti yang sama tetapi diucapkan berbeda tergantung dari sisi Jerman mana orang tersebut berasal. Misalnya, dalam bahasa Jerman tinggi mereka mengatakan "Auf Wiedersehen!", Tetapi di Bavaria mereka lebih suka mengatakan "Pfiat di Gott". Di Kölsch, mereka mengatakan "Tschüss", dan di Rhineland, mereka menggunakan "Adjus!" lebih sering. Semua kata yang disebutkan di atas memiliki arti yang sama yaitu 'selamat tinggal'.
Perbedaan ini dapat disebabkan karena responden berasal dari daerah yang berbeda, atau berdasarkan referensi pribadi. Dapat kita lihat disini bahwa komunikasi adalah penyampaian pesan dari sumber kepada penerima pesan, pengertian budaya adalah unsur buatan manusia yang subyektif dan obyektif.
Mereka di masa lalu meningkatkan kemungkinan untuk bertahan hidup dan menghasilkan kepuasan para aktor dalam ceruk ekologis, dan dengan demikian menyebar di antara mereka yang dapat berkomunikasi satu sama lain. Mereka memiliki bahasa yang sama dan mereka hidup pada waktu dan tempat yang sama.
Setiap budaya menyajikan anggotanya dengan cara berpikir dan berperilaku. Budaya terdiri dari bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, bagaimana kita berpikir, bagaimana kita berperilaku, dan bagaimana kita memandang dunia.
2. Stereotip
Bavaria adalah tempat yang terkenal dengan stereotip sebagian besar orang Amerika tentang orang Jerman bahwa mereka selalu memakai lederhosen (pakaian tradisional yang dikenakan pria) dan dirndl (pakaian tradisional yang dikenakan wanita), tinggal di rumah setengah kayu (rumah tradisional dengan arsitektur abad pertengahan). Semua orang mengunjungi bar (rumah bir) setiap hari, dan memiliki jam kukuk (jam yang berbunyi & berbentuk burung).
Orang Jerman tidak terlalu menyukai stereotip ini, karena selalu disebut berlebihan. Analoginya seperti mengatakan semua orang Amerika adalah koboi yang memiliki senjata dan menunggang kuda.
3. Komunikasi Non-Verbal
Secara umum, orang Jerman sekarang tidak menyukai kontak kulit dengan sesama jenis. Bahkan, sebanyak 50% responden menyatakan tidak biasa berjabat tangan, dan hanya 25% yang menyatakan terbiasa berjabat tangan. Sebanyak 25% menyatakan bahwa preferensi pribadi adalah bahwa pada awalnya mereka terbiasa, tetapi sejak pandemi Covid-19 berjabat tangan menjadi sedikit kurang umum.
Menurut penelitian Shuter (1977), pria Jerman berinteraksi lebih jauh dan kurang menyentuh dibandingkan di Italia dan Prancis. 'Thumbs up' berarti 'baik', tapi bisa juga berarti 'satu', seperti memesan sebotol/gelas bir. Untuk menunjukkan 'keunggulan', gelar yang lebih dari sekadar bagus, orang Jerman terkadang menggunakan tanda yang sama dengan "oke" di Amerika.
Di Jerman, menatap seseorang di tempat umum adalah hal yang normal. Orang Jerman menunjuk sesuatu dengan jari telunjuknya, biasa digunakan saat menjawab pertanyaan atasan, tetapi tidak sopan menanyakan sesuatu kepada atasan sambil menunjuk benda yang dimaksud.
Selanjutnya, meletakkan jari di bibir sambil mengatakan "ssst" adalah mengatakan 'diam' (gerakan yang sama seperti di Indonesia) dan sama halnya dengan melakukan panggilan telepon “Nanti saya hubungi”, yaitu mengeluarkan jari kelingking dan ibu jari lalu melipat sisanya dan mendekatkan tangan ke telinga
Kemampuan komunikasi ini dapat mempengaruhi keberhasilan penyampaian pesan dalam proses pembelajaran BIPA. Dengan mempertimbangkan keterampilan komunikasi sosial seperti empati, toleransi, kemampuan bahasa individu, peran, pengalaman interaksi antar budaya, dll.
Selain itu, kepekaan terhadap budaya sendiri dan budaya mahasiswa BIPA juga menjadi salah satu penentu keberhasilan komunikasi yang terjadi dalam proses pembelajaran BIPA.
#upnyk2023b, #klb2023b, hiupnyk2023b
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H