Mohon tunggu...
Aisyah Afina Hazna
Aisyah Afina Hazna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UPN Veteran Yogyakarta

Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Presiden Jokowi

5 Oktober 2022   20:26 Diperbarui: 7 Oktober 2022   08:39 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Copyright: AP/Alexander Zemlianichenko

Pergantian presiden dari Susilo Bambang Yudoyono (SBY) ke Joko Widodo telah merubah cara negara mempraktikan diplomasinya terhadap negara lain. Jokowi merupakan model baru kemajuan politik di Indonesia. Berbeda dengan enam pendahulunya, Jokowi tidak naik ke kursi kepresidenan melalui sistem militer atau partai politik. Kebangkitan Jokowi dimulai pada tahun 2005, ketika pengusaha sukses itu direkrut oleh rekan-rekan bisnisnya untuk mencalonkan diri sebagai walikota kota kelahirannya Surakarta.

Berbeda dengan pemerintahan SBY, Presiden Jokowi secara bertahap lebih memperhatikan orientasi domestik. Sambil mempertahankan capaian SBY dalam aktivisme internasional diplomasi Indonesia. Pemerintah Jokowi berupaya mencari ruang baru untuk mengisi celah yang selama ini seolah diabaikan oleh pemerintahan sebelumnya, yaitu orientasi domestik.

Jokowi baru mengenal praktik diplomasi. Dia tampaknya tidak datang ke kursi kepresidenan dengan pandangan kuat tentang tempat Indonesia di dunia, atau hasrat khusus untuk subjek tersebut. Jokowi melihat dirinya terutama sebagai reformis domestik, bukan negarawan internasional. Dan memang, reformasi dalam negeri yang dia anjurkan di bidang infrastuktur dan perang melawan korupsi, jika dijalankan, akan memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan Indonesia memainkan peran yang jauh lebih besar dalam urusan dunia.

Dengan orientasi domestik, Presiden Jokowi telah menggunakan posisi internasionalnya untuk meningkatkan kepentingan ekonomi nasional dan kedaulatan politik.

Namun, fokusnya terhadap masalah domestik, dikombinasikan dengan oposisi yang kuat dari koalisi oposisi di legislatif Indonesia, telah memberinya sedikit waktu untuk kebijakan luar negeri. Sebaliknya, ia mengandalkan beberapa pemikir terkuat Indonesia dalam urusan luar negeri untuk memberinya visi siap pakai tentang tempat Indonesia di kawasan hubungan internasional.

Presiden Jokowi telah mengangkat Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dalam melakukannya, Indonesia telah menggunakan posisi internasionalnya untuk meningkatkan kepentingan ekonomi nasional dan kedaulatan politiknya. Dengan menganalisis pentingnya hubungan antara politik dalam negeri yang demokratis dan kebijakan luar negeri, kasus penenggelaman kapal dan hukuman mati telah mencerminkan orientasi politik luar negeri Indonesia berkontribusi signifikan terhadap reorientasi politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi.

Jokowi menegaaskan bahwa politik luar negeri harus diplomasi membumi, artinya dalam demokrasi yang sedang tumbuh, warga negara memiliki lebih banyak suara dalam membentuk hubungan Indonesia dengan negara lain dibandingkan masa lalu. Dengan demikian, kebijakan luar negeri Indonesia yang asertif telah memperhitungkan apa yang diinginkan publik. Sebagian besar kebijakan Jokowi seperti penenggelaman kapal asing yang melakukan illegal fishing dan eksekusi gembong narkoba, mendapat dukungan luas dari masyarakat Indonesia.

Indonesia dapat memainkan peran yang jauh lebih penting di kawasan sekitarnya. Tetapi agar hal itu terjadi, presiden dan para pembantunya harus menyusun strategi jangka panjang yang koheren dan persuasif. Mengambil hubungan luar negeri bangsa dengan serius akan menjadi awal yang baik. 

Tindakan Jokowi kontras dengan motto SBY dari "sejuta teman dan nol musuh" di mana Indonesia tetap low profile meskipun ekonomi terbesar Asia Tenggara dan negara terpadat keempat di dunia. Sementara Presiden Jokowi mungkin ingin Indonesia terlihat, kebijakan luar negeri yang pro aktif juga dapat mengalihkan perhatiannya dari agenda yang ambisius.

Sebagian besar perdebatan dalam kebijakan luar negeri Indonesia beralih pada interpretasi peserta tentang diktum Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia, bahwa kebijakan luar negeri Indonesia harus "bebas dan aktif". Diktum itu begitu mudah dibentuk sehingga bisa digunakan baik oleh presiden pertama yang revisionis maupun anti-imperialis.

Namun, ada ketegangan antara dua bagiannya untuk kekuatan menengah seperti Indonesia. Peran yang lebih aktif dalam urusan global seringkali membutuhkan keselarasan yang erat dengan kekuatan besar. Biasanya para pemimpin nasionalis telah memilih kemerdekaan, atau non-blok, dengan mengorbankan diplomasi yang lebih efektif, sementara para pemimpin pragmatis telah memilih untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam hal ini juga terlihat di antara para penasihat Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun