Indonesia, katanya, adalah negara demokrasi. Tapi, kita sering kali dihadapkan pada kenyataan pahit soal nepotisme dan korupsi, dua masalah yang seolah sulit diberantas di negeri ini. Sejak dulu, istilah "KKN" (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) menjadi momok yang selalu menghantui, tak peduli siapa pun yang duduk di kursi pemerintahan. Termasuk di era Presiden Joko Widodo, dua masalah ini terus muncul, meskipun beliau sering kali berjanji akan memberantasnya.
Lalu, apa yang membuat korupsi dan kolusi begitu sulit diberantas? mengapa keduanya tetap marak di era pemerintahan Jokowi, bahkan ketika banyak reformasi yang telah dilakukan? apa yang sebenarnya membuat korupsi dan kolusi ini begitu sulit diberantas?
Apa itu kolusi dan korupsi?
Sebelum kita bahas beberapa alasan yang membuat korupsi dan kolusi sulit diberantas, mari pahami dulu apa itu kolusi dan korupsi. Gampangnya korupsi itu adalah ketika seseorang menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya untuk keuntungan pribadi. Contohnya, seorang pejabat negara yang menerima suap untuk memenangkan tender proyek tertentu. Dengan kata lain, korupsi itu mencuri uang negara untuk kepentingan pribadi.
Nah, sedangkan kolusi adalah kerjasama antara dua orang atau lebih untuk merugikan orang lain. Dalam pemerintahan, kolusi biasanya terjadi antara pejabat negara dengan pihak swasta untuk memenangkan tender proyek secara tidak adil, seperti mengatur harga atau memenangkan tender tertentu. Jadi, kolusi itu bekerja sama untuk menipu orang lain.
Dalam artikel ini, saya akan mencoba membahas beberapa alasan mengapa masalah ini masih sulit diatasi, meski Jokowi telah memimpin selama dua periode.
Pertama, lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu faktor utama. Meskipun terdapat lembaga seperti KPK, banyak kasus korupsi yang tidak ditangani dengan serius, dan penegakan hukum sering kali terhambat oleh campur tangan orang-orang berkuasa dan kurangnya dukungan dari pemerintah. Jadi, tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberantas korupsi seringkali hanya menjadi pajangan, dan tidak ada tindakan yang nyata.
Kedua, kondisi politik yang dipengaruhi oleh orang-orang kaya dan berkuasa juga berkontribusi pada masalah ini. Banyak politisi yang terikat pada kepentingan kelompok tertentu dan juga banyak politisi yang takut untuk melawan mereka karena takut kehilangan dukungan. Jadi, walaupunada yang ingin memberantas korupsi, seringkali terhalang dengan kepentingan kelompok-kelompok ini.
Ketiga, praktik korupsi yang sudah biasa dan telah mengakar di masyarakat dan pemerintahan membuat perubahan menjadi tantangan besar. Banyak individu yang melihat korupsi sebagai hal yang biasa dan bahkan wajar dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Untuk mengubah pandangan ini, diperlukan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif korupsi. Karena hal ino sangat merugikan banyak orang.
Keempat, kurangnya keseriusan dari pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan antikorupsi secara konsisten juga menjadi penghalang. Janji-janji politik yang disampaikan selama kampanye sering kali dilupakan setelah menjabat, mereka lebih sibuk memikirkan kepentingan sendiri daripada menjalankan janji-janji mereka. Jadi, sulit untuk memberantas korupsi jika pemimpin yang terpilih saja tidak serius dengan janji-janjinya.
Kelima, besarnya anggaran proyek pemerintah maka besarnya peluang korupsi, Di era pemerintahan Jokowi, banyak proyek infrastruktur berskala besar digarap, seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Proyek-proyek ini memang sangat penting untuk pembangunan negara, namun besarnya anggaran yang dialokasikan juga membuka peluang besar untuk terjadinya korupsi. Sebagai contoh adanya proyek jalan tol dan bandara baru, otomatis uang yang dibutuhkan juga  juga banyak. Nah, dengan itu banyak orang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk mengambil keuntungan pribadi. Mereka bisa saja memalsukan data, atau membuat harga barang menjadi lebih mahal dari harga sebenarnya. Jadi, proyek besar itu seperti kue yang besar, dan banyak orang yang ingin mendapatkan bagian yang lebih besar.