Mohon tunggu...
Aisyah Farahtilah
Aisyah Farahtilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S2 Psikologi Universitas Brawijaya

Memiliki ketertarikan dan minat dalam membahas isu sosial masyarakat dari kacamata psikologi dan kesehatan mental, yang berfokus pada perubahan behaviour masyarakat akibat arus modernisasi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Polemik Childfree di Indonesia, Apakah Perempuan Berhak untuk Memilih?

9 November 2024   22:22 Diperbarui: 10 November 2024   10:10 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Apabila ditelusuri lebih lanjut, fenomena childfree tidak terlepas dari perubahan cara pandang masyarakat terhadap perkawinan, yang awalnya bersifat institusional kini bertransformasi menjadi lebih individual. Perubahan paradigma ini mempengaruhi pandangan masyarakat tentang pentingnya memiliki anak. Dalam konteks perkawinan institusional, kehadiran anak dipandang penting karena adanya harapan dan tuntutan sosial. Namun, dalam perkawinan yang bersifat individual, kehadiran anak bukanlah tujuan utama; pasangan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan afeksi dan pengembangan diri. 

Teori Perubahan Sosial (Social Change Theory) yang dikemukakan oleh Karl Marx dan Herbert Blumer menjelaskan bahwa perubahan nilai-nilai sosial dan budaya dapat mempengaruhi perilaku individu. Dalam konteks childfree, pergeseran nilai terkait pernikahan, karier, dan otonomi individu mencerminkan mengapa semakin banyak orang memilih untuk tidak memiliki anak, menciptakan perdebatan yang terus berlanjut di masyarakat.

Fenomena childfree menunjukkan bahwa pilihan untuk tidak memiliki anak merupakan refleksi dari perubahan nilai dan pandangan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Dalam konteks Indonesia, perempuan memiliki hak untuk memilih childfree, sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya otonomi individu, kesejahteraan mental, dan pengembangan diri. Namun, hak ini masih menghadapi tantangan signifikan dari norma budaya dan agama yang konservatif, di mana banyak orang percaya bahwa memiliki anak adalah kewajiban dalam pernikahan. 

Memaksakan perempuan untuk memiliki anak dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti gangguan kesehatan mental dan fisik, terhambatnya pendidikan dan karier, serta tekanan ekonomi. Selain itu, memaksa kehadiran anak tanpa kesiapan dapat merusak hubungan sosial dan menciptakan ketegangan dalam keluarga.

Kesadaran akan hak-hak ini, bersama dengan pemahaman tentang dampak negatif dari memaksa memiliki anak, dapat mendorong dialog yang lebih terbuka dan inklusif. Dengan demikian, pilihan childfree bukan hanya masalah individu, tetapi juga bagian dari gerakan yang lebih besar untuk memperjuangkan hak dan kebebasan perempuan dalam menentukan arah hidup mereka, serta melindungi kesejahteraan mereka dan keluarga di tengah tantangan sosial yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun