Mohon tunggu...
Aisyah
Aisyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aisyah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kalau Kata-kata Anak Milenial mah Toxic Masculinity

19 Januari 2022   07:21 Diperbarui: 19 Januari 2022   09:45 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa itu  Toxic Masculinity

Maskulinitas beracun adalah  tekanan budaya pada laki-laki untuk bertindak dan bertindak dengan cara tertentu. Pada dasarnya, maskulinitas adalah kualitas yang baik. Tetapi jika seorang pria perlu tampil dengan maskulinitas untuk menghindari stigma "pria lemah", ini bisa menjadi racun atau salah. 

Toksisitas dapat didefinisikan sebagai perilaku yang berkaitan erat dengan peran gender dan karakteristik laki-laki. Dalam kasus maskulinitas beracun, definisi sempit maskulinitas  sebagai fitur maskulin sama dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi.

Apakah Anda pernah mendengar? "Anak laki-laki tidak boleh lemah, dia tidak boleh menangis, seorang pria harus kuat.

Pernyataan seperti itu sangat umum sehingga alih-alih mendorong, mereka berdampak buruk pada kesehatan mental pria.

"Pria harus bisa melakukan segalanya sendiri."

Biasanya, ucapan seperti itu sering kali terlihat seperti laki-laki bisa melakukan apa saja, tapi ada banyak  hal yang tidak bisa kita lakukan sendiri: Setiap orang dianggap lemah, bahkan jika mereka harus memiliki kelemahan dan tidak selalu bisa  melakukan semuanya sendiri.

Banyak kata yang memilukan. “masa gitu aja ga bisa?”

Dan tidak apa-apa untuk meminta bantuan  orang lain.

"Seseorang harus kokoh dan berani"

Bentuk penegasan diri dan keberanian ini sering disalahartikan.

Misalnya, cepat, keras kepala, dan kasar kepada orang lain.

"Pria selalu kuat dan tidak pernah lemah"

Pria perlu menghindari emosi negatif seperti kesedihan, ketakutan dan ketakutan.

Seringkali, semua emosi ini ditumpuk atau dibawa ke dalam apa yang diyakini bersifat maskulin, sehingga berubah menjadi kemarahan.

"Laki-laki harus melakukan pekerjaan yang sangat kekanak-kanakan"

Biasanya, pekerjaan tertentu di gereja sering disebut pria atau wanita.

Ketika seseorang dari jenis kelamin tertentu terlibat dalam suatu kegiatan / sikap yang cenderung ditentang, mereka sering dihakimi dan asumsi ini  menjadi stereotip tentang gender di lingkungan.

Misalnya, pria cenderung menyimpan semua masalah dan emosi negatif pada diri mereka sendiri, sehingga  menumpuk dan tidak terselesaikan.

pria yang diyakini tidak memenuhi kriteria maskulinitas mungkin cenderung menutup diri dan tidak menutup diri. Dalam banyak kasus, dibutuhkan banyak waktu untuk mencapai yang ideal. Tampaknya tidak realistis dan bisa menjadi lebih buruk. 

Sayangnya, stigma jenis ini sudah sangat sering diinokulasi sejak masa kanak-kanak dan  tumbuh dengan standar maskulin (atau feminin dalam kasus perempuan), tetapi dalam prakteknya harus digeneralisasi untuk setiap individu, tidak bisa, dan akhirnya menjadi racun.

Jika Anda memiliki anak atau saudara kandung yang masih kecil atau dewasa, ada beberapa hal penting yang perlu diingat. Berikut beberapa hal yang perlu diketahui dan diajarkan pria kepada anak laki-laki:

"Keselamatan" bukan berarti tangguh atau tidak malas. Cowok juga perlu paham perasaan mereka dan mengungkapkannya..

Kindly being yourself doesn`t make you less than a man. Tidak ada tindakan yang 100% laki/ gak laki ( peran gender itu spektum), dan laki – laki juga boleh mencari bantuan untuk kesehatan mentalnnya.

Memahami perasaan dan mengungkapkan secara sehat, menjadi diri sendiri, mencari pertolonganitu wajar,terlepas dari gender seseorang.

Studi ini mengartikan toxic masculinity sebagai kumpulan sifat maskulin dalam konstruksi sosial yang difungsikan untuk mendorong dominasi, kekerasan, homofobia, dan perendahan terhadap perempuan.

Dari definisi di atas, istilah maskulinitas toksik mengikuti arti harfiahnya: maskulinitas toksik. Artinya, mereka yang menunjukkan perilaku ini cenderung melebih-lebihkan kriteria maskulin pria.

Sampaikan bahwa tidak ada salahnya bagi anak lakilaki untuk menunjukkan rasa sedih dan menangis, serta mengungkapkan segala keluh kesah yang dirasakan.

Kenali konsep konsensual sejak dini dengan menyesuaikan umur anak lakilaki Anda. Misalnya, beritahu bahwa setiap orang butuh kesepakatan dan persetujuan dari lain pihak jika hendak melakukan sesuatu yang melibatkan pihak lain.

Toxic masculinity membuat beberapa pria terjebak dalam standar dan definisi tentang menjadi lakilaki yang berlebihan. Perilaku ini bisa berbahaya bagi sang pria dan wanita atau orang di sekitarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun