Berbagai pihak menuding bahwa strategi dan kebijakan pembangunan nasional adalah penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan, global warming (pemasasan global), dan climate change (perubahan iklim) karena akuisisi dan eksploitasi terhadap sumber daya ekonomi masyarakat dilakukan secara serakah demi diwujudkannya kepentingan pertumbuhan ekonomi negara (daerah) serta laba kooperasi. Fenomena-fenomena dari kerusakan lingkungan, seperti banjir, rob, pencemaran udara, air, dan tanah, serta ekstrimnya perubahan iklim juga telah menjadi momok yang begitu menakutkan bagi kehidupan manusia. Kian masifnya eskalasi kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan perubahan iklim oleh karena strategi dan kebijakan pembangunan nasional tersebut nyatanya mampu memberi pengaruh terhadap hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat, misalnya saja krisis sosial, ekonomi, energi dan sumber daya, serta macam-macam bentuk kekrisisan lainnya yang bersifat genting dan perlu untuk segera ditindaklanjuti. Tanpa disadari, strategi dan kebijakan pembangunan nasional selama ini semakin mendorong munculnya tingkah laku serakah dari para pelaku ekonomi dan bisnis yang begitu memberi dampak bagi masyarakat serta lingkungan. Lantas, yang menjadi pertanyaannya adalah, apa sejatinya penyelesaian dan/atau tindakan yang akurat sebagai bentuk penanganan terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan tersebut?
Apa itu Ekonomi Hijau?
Dalam pidatonya yang berjudul "Moving Towards Sustainability: Together We Must Create The Future We Want" di KTT Rio+20 pada tanggal 20 Juni 2012, Presiden keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono secara tegas mengajak para pemimpin dunia untuk menerapkan salah satu langkah strategis dan operasional yang dianggap tepat guna mampu mengatasi proses deteriorasi (penurunan mutu) lingkungan, yaitu green economy. Green economy atau yang biasa disebut juga dengan ekonomi hijau adalah suatu gagasan ekonomi yang rendah, bahkan tidak menghasilkan emisi karbondioksida terhadap lingkungan, hemat sumber daya alam, dan berkeadilan sosial. Konsep ekonomi hijau pertama kali diciptakan pada akhir tahun 1980-an oleh Pearce dkk. (1989) dalam laporan mereka yang telah dikenal secara luas (Blueprint for a Green Economy). Pada tahun 2008, hampir dua puluh tahun setelah laporan Blueprint for a Green Economy diterbitkan, organisasi-organisasi internasional utama melihat konsep ekonomi hijau sebagai respon atau tanggapan dari kebijakan-kebijakan terhadap krisis keuangan global dan permasalahan lingkungan hidup yang pernah (dan masih) tercakup dalam sistem sosio-ekonomi saat ini. Perbedaan antara ekonomi hijau dengan gagasan-gagasan ekonomi lainnya terletak pada pembangunan ekonominya yang didorong oleh pengembangan dan pemanfaatan sumber daya global secara berkelanjutan. Sehingga, manusia dan alam dapat berada dalam keselarasan yang bersifat produktif, yang sekaligus juga dapat meningkatkan potensi terjadinya pemenuhan berbagai kebutuhan, baik sosial maupun juga ekonomi untuk generasi saat ini dan generasi mendatang.
Bagaimana Ekonomi Hijau Diterapkan?
Low carbon developement (pembangunan rendah karbon) adalah salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan ekonomi hijau juga pengembangan dan pemanfaatan sumber daya global secara berkelanjutan. Dalam rangka mengatasi kian banyaknya emisi karbon yang dihasilkan oleh macam-macam sektor perusahaan, Indonesia memiliki kebijakan makroekonomi berupa pembangunan rendah karbon yang secara garis besar menyangkut soal bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat terus berjalan apabila di saat yang bersamaan, terjadi penekanan dan/atau pengurangan emisi karbon. Sebagai salah satu negara yang berambisi besar dalam mengejar Net Zero Emissions (NZE), Indonesia pada tahun 2022 mulai memberlakukan pajak karbon terbatas terhadap tiap-tiap sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang beroperasi, yaitu sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Pengenaan tarif pajak karbon ini nantinya akan dijadikan sebagai dana untuk penelitian dan pengembangan terkait dengan energi terbarukan dan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) serta akan dialokasikan untuk meminimalisasi efek dari emisi karbon di masa depan.
Mengapa Pembangunan Rendah Karbon Penting bagi Perusahaan?
Perusahaan dengan suka rela mengungkapkan informasi mengenai keikutsertaan mereka dalam mengurangi jejak atau emisi karbon yang dihasilkan untuk kemudian dapat memenuhi permintaan para pemangku kepentingan dan memperoleh legitimasi. Apabila terjadi pergeseran yang menuju pertentangan, dimana keberadaan dari suatu perusahaan terbukti mengganggu atau tidak sesuai dengan eksistensi sistem nilai yang ada dan berlaku dalam masyarakat serta lingkungan, maka legitimasi dari suatu perusahaan tersebut dapat terancam. Dengan diungkapkannya informasi yang dituangkan dalam bentuk sustainability report (laporan keberlanjutan) dan laporan tahunan melalui situs resmi milik perusahaan terkait, masyarakat akan mengetahui bahwa perusahaan memang telah menjalankan norma-norma yang ada sehingga biaya untuk ketidakpatuhannya terhadap keamanan lingkungan, polusi, dan kemungkinan tuntutan hukum dapat berkurang serta legitimasinya pun tidak dapat terancam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H