Palestina beserta tulisan-tulisan seperti, “Stop Genocide” atau “Free Palestine”. Demonstrasi tersebut tentunya membuat beberapa akses jalan dan transportasi umum ditutup.
Pada hari minggu tanggal 17 Desember lalu, terlihat sejumlah orang berjalan ke arah pusat kota untuk berdemonstrasi di depan Gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat. Mereka mengenakan baju hitam dan membawa benderaKetidaknyamanan tersebut membuat banyak orang yang hendak beraktivitas pada hari itu sedikit mengeluhkan perjalanan yang menjadi lebih lama karena penutupan akses jalan, termasuk saya sendiri. Akan tetapi, saya kemudian sadar bahwa pada saat itu, saya merupakan seorang perempuan yang dapat bebas bepergian di negara sendiri. Tidak seharusnya saya mengeluhkan tentang sedikit ketidaknyamanan yang ditimbulkan untuk menyuarakan suara masyarakat Palestina, termasuk para perempuan Palestina yang harus berkali-kali lipat merasakan ketidaknyamanan, bahkan penyiksaan di negaranya sendiri.
Apabila kini perempuan-perempuan di Indonesia tengah memperjuangkan kesetaraan gender dan melakukan perlawanan terhadap patriarki yang telah mengakar dalam budaya masyarakat sejak lama, perempuan di Palestina harus menghadapi tekanan yang sama, ditambah dengan kejamnya pendudukan oleh Israel.
Sama halnya seperti banyak perempuan di berbagai negara di dunia, perempuan di Palestina terus-menerus mengalami berbagai bentuk kekerasan yang menjadi dampak dari norma dan kebiasaan sosial diskriminatif yang masih mengakar dalam masyarakat. Pendudukan Israel terhadap Palestina mengakibatkan baik laki-laki maupun perempuan Palestina menjadi orang yang rentan terkena kekerasan.
Akan tetapi, di tengah kejamnya pendudukan Israel dan kondisi yang mengharuskan mereka untuk mengungsi, perempuan Palestina juga harus dihadapi dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, pernikahan dini, serta pembunuhan terhadap perempuan.
Kondisi tersebut diperparah dengan regulasi yang tidak memadai dan tidak responsif bagi para penyintas kekerasan agar dapat memperoleh keadilan. Dengan begitu, pada tulisan ini akan dipaparkan mengenai bagaimana kondisi perempuan di Palestina yang membuat mereka menjadi kelompok paling rentan terkena kekerasan di tengah pendudukan Israel.
Kondisi yang tengah dihadapi para perempuan di Palestina dibahas lebih lanjut dalam teori interseksionalitas. Konsep interseksionalitas pertama kali dikenalkan oleh Kimberlé Williams Crenshaw, seorang akademisi yang bergerak di bidang hukum, khususnya yang terkait dengan feminis. Teori tersebut menyatakan bahwa berbagai identitas yang ada, mulai dari ras, etnisitas, kelas, dan lainnya kemudian membentuk suatu sistem yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Akibatnya, identitas-identitas tersebut akhirnya menciptakan kondisi yang membuat berbagai kombinasi diskriminasi muncul dari adanya identitas yang beragam dan saling terkait tersebut. Dengan kata lain, teori ini memberikan pemahaman bahwa penindasan dan kekerasan yang terjadi pada perempuan bukan hanya dihasilkan melalui satu proses tunggal atau hubungan politik biner, tetapi justru dibentuk dari sebuah sistem yang beragam, menyatu, dan saling memiliki keterkaitan.
Dalam konteks perempuan di Palestina, identitas mereka sebagai perempuan membuat mereka harus dihadapi dengan budaya patriarki dan diskriminasi yang ada di antara masyarakat Palestina sendiri. Berdasarkan survei kekerasan pada tahun 2019 oleh Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), 29% perempuan di Palestina pernah mengalami berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya, mulai dari kekerasan psikologis, fisik, seksual, sosial, dan ekonomi.
Dalam konteks masyarakat Palestina, tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga di Palestina merupakan bagian dari budaya patriarki yang mengakar dalam struktur sosial masyarakat Palestina. Budaya patriarki tersebut menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih dominan sehingga mengakibatkan perempuan seringkali menjadi pihak yang disalahkan atas kekerasan yang menimpa diri mereka sendiri. Budaya patriarki juga merupakan akar dari adanya persepsi masyarakat yang menormalisasikan kekerasan di dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri.
Kekerasan yang terjadi pada perempuan tersebut kemudian ditambah lagi dengan adanya pendudukan dan kekerasan politik yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina sehingga perempuan di Palestina makin menjadi kelompok yang rentan dengan dua identitas yang dimilikinya, yaitu identitas perempuan dan identitasnya sebagai orang Palestina.
Reporter khusus PBB untuk Palestina, Reem Alsalem melaporkan bahwa perempuan di Palestina mengalami kekerasan berbasis gender yang dilakukan oleh Israel, salah satunya adalah kekerasan terhadap hak-hak reproduksi perempuan Palestina dan bayi mereka yang baru lahir. Serangan-serangan yang dilakukan terhadap fasilitas kesehatan di Palestina mengakibatkan ribuan perempuan hamil di Palestina harus melahirkan dalam kondisi yang mengerikan, bahkan seringkali tidak manusiawi dan merendahkan martabat mereka.
Perempuan-perempuan tersebut juga harus dihadapi dengan kemugkinan melahirkan tanpa anestesi, tindakan pencegahan sanitasi, atau intervensi bedah. Selain itu, UNFPA melaporkan bahwa lebih dari 690.000 perempuan dan anak perempuan di Palestina menghadapi kesulitan akses terhadap produk kebersihan dan menstruasi.
Selain itu, para perempuan dan anak perempuan di Palestina sering kali menghadapi kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang terjadi di tempat umum, rumah, bahkan kamp-kamp pengungsian. Kasus kekerasan berbasis gender juga mengalami peningkatan pesat pada masa COVID-19. Hingga kini, hampir 1,9 juta perempuan di Palestina membutuhkan layanan dan intervensi terkait kekerasan berbasis gender.
Dengan mempertimbangkan fakta-fakta tersebut dan sejalan dengan prinsip bangsa Indonesia bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”, sudah seharusnya masyarakat Indonesia mendukung berbagai aksi yang dilakukan untuk mendesak pemimpin-pemimpin dunia untuk menghentikan pendudukan yang dilakukan oleh Israel.
Seorang aktris sekaligus seorang aktivis kemanusiaan, Angelina Jolie pernah berkata, “Saya tidak pernah mengerti mengapa saya bisa menjadi orang yang cukup beruntung untuk dilahirkan dengan kesempatan dan jalan hidup yang baik dan mengapa di suatu tempat lain di dunia ada perempuan yang juga memiliki keinginan dan kemampuan yang sama, atau bahkan lebih baik dari saya. Hanya saja, perempuan tersebut harus duduk di kamp pengungsi dan tidak memiliki suara. Dia harus memikirkan tentang apakah anak-anaknya bisa makan, bagaimana menjaga mereka agar tetap aman, dan apakah mereka dapat kembali ke rumah. Saya tidak tahu mengapa ini adalah hidupku dan itu adalah hidupnya,”. Dengan begitu, sudah seharusnya kita memikirkan kembali mengapa kita menjadi orang yang cukup beruntung untuk dapat hidup sebagai perempuan yang masih dapat merasakan rasa aman yang cukup dan kebebasan untuk bersuara ketika ada ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan, sementara masih banyak perempuan lain di luar sana, khususnya di Palestina yang tidak dapat merasakan privilese tersebut.
Referensi
Banat, B. Y. (2015). Violence Against Palestinian Women. Revista De Paz Y Conflictos, 8(1), 135-149.
Carastathis, A. (2014). The Concept of Intersectionality in Feminist Theory. Philosophy Compass, 9(5), 304-314.
Samuels, G. M., & Ross-Sheriff, F. (2008). Identity, Oppression, and Power: Feminisms and Intersectionality Theory. Affilia, 23(1), 5-9.
Šimonović, D. (2021). Femicide in the Palestinian Society. Women’s Center for Legal Aid and Counselling (WCLAC) .
UN OCHA. (2022, March 8). Specific Risks Facing Women and Girls in Palestine. Retrieved December 18, 2023, from United Nations Office of the Coordination of Humanitarian Affairs: https://www.ochaopt.org/content/specific-risks-facing-women-and-girls-palestine
UN Women. (2022). Ending Violence Against Women in Palestine. Retrieved December 18, 2023, from UN Women: https://palestine.unwomen.org/en/what-we-do/ending-violence-against-women-3
UN Women. (2023, August 16). Giving a Voice to Gender-Based Violence Survivors in Palestine. Retrieved December 18, 2023, from UN Women: https://www.unwomen.org/en/news-stories/feature-story/2023/08/giving-a-voice-to-gender-based-violence-survivors-in-palestine
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H