Mohon tunggu...
Aissyah Nabila Anjani
Aissyah Nabila Anjani Mohon Tunggu... Lainnya - College Student

Hello! Thank you for reading :)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Biaya Pembangunan Infrastruktur "Mentok", Lalu Bagaimana?

17 Mei 2020   00:23 Diperbarui: 18 Mei 2020   02:06 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterbatasan APBN dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur menyebabkan proyek yang dilakukan oleh pemerintah dapat “tersendat”. Salah satu cara yang dapat digunakan sebagai alternatif pendanaan lain yaitu kerjasama pembangunan yang melibatkan pihak swasta atau Public Private Partnership (PPP) dimana di Indonesia lebih sering dikenal sebagai Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). KPBU merupakan perjanjian antara sektor publik (Pemerintah) dengan sektor privat (Swasta) untuk mengadakan sarana layanan publik yang diikat dengan perjanjian, terbagi menjadi beberapa bentuk tergantung kontrak dan pembagian resiko.

Dalam pelaksanaannya, KPBU menganut beberapa prinsip yaitu adil, terbuka, transparan, dan bersaing. Kerjasama pemerintah dengan swasta ini memiliki beberapa manfaat, seperti meningkatkan penerimaan publik pada proyek yang sedang dikerjakan; mendorong lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan tanpa jaminan yang berdaulat; meminimalisir kegagalan proyek; menarik para penawar dengan kemampuan yang tinggi dan profesional; dan membantu mencegah aparat pemerintah untuk melakukan korupsi.

Sedangkan tujuan dari KPBU sendiri yaitu membantu proses alih teknologi; membantu pemerintah untuk mendapatkan modal swasta dalam pembangunan infrastruktur; memperluas jangkauan layanan bagi masyarakat; meningkatkan efisiensi pada pembangunan; dan meningkatkan kualitas infrastruktur publik. Terdapat beberapa jenis KPBU antara lain Kontrak Pelayanan, Operasi, dan Perawatan; Build Operate Transfer (BOT); Konsesi; Joint Venture; dan Community Based Provision (CBP). Jenis-jenis KPBU tersebut dibedakan berdasarkan peran dan tanggung jawab pemerintah dan badan usaha, sumber pembiayaan, dan jangka waktu investasi.

Skema atau alur proses KPBU beserta tahapan yang diperlukan dan hubungan antar pelaku diatur dalam peraturan dan dapat dilihat pada pemaparan Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur. Skema tersebut dapat dilihat pada bagan yang ada dibagian pembuka tulisan ini.

Pada skema tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaku utama dari pembiayaan pembangunan jenis KBPU adalah Kementrian Keuangan, Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), Kementrian Teknis, Badan Usaha, Kontraktor, Lembaha Keuangan dan Sponsor, serta Pengguna Jasa. Melalui alur tersebut dapat dilihat bahwa terjadi timbal balik yang menguntungkan, sekalipun untuk pengguna jasa, yang diuntungkan dengan penyediaan infrastruktur tersebut. Sedangkan Badan Usaha mendapatkan tarif dari pengguna tersebut. Aktor yang berhubungan langsung dengan PJPK diantaranya adalah Kementrian Keuangan, Kementrian Teknis, dan Badan Usaha. Sementara untuk teknis konstruksi dan pengerjaan adalah kerjasama antara Badan Usaha, Kontraktor, Lembaga Keuangan, dan Sponsor.

Jika suatu proyek dilakukan dengan kerjasama yang dimana antar pihak atau aktor saling berkaitan dan berhubungan baik dalam tahap rencana, kontrak, maupun pengerjaan dan pengembangannya, dapat meminimalisir terjadinya penyalahgunaan alokasi dana, sehingga dapat menghindari kemungkinan buruk yang dapat menimbulkan kegagalan proyek. Lembaga yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan dana dapat melakukan kontrol langsung pada pihak yang berkewajiban untuk mengelola dana tersebut.

Salah satu pembangunan infrastruktur yang sering mendapatkan masalah pembiayaan adalah pembangunan jalan tol. Rencana pembangunan jalan tol pada periode 2020-2024 adalah sepanjang 1500 kilometer. Anggaran pembangunan jalan tol adalah sebesar Rp. 2.000 triliun. Sedangkan APBN hanya memenuhi dana sebesar Rp. 623 triliun, dimana anggaran tersebut juga harus dibagi dengan peruntukan lain pula seperti jembatan dan permukiman. Sumber pendanaan lain untuk memenuhi kekurangan pembiayaan tersebut adalah sumber pembiayaan non konvensional yaitu KPBU.

Jenis KPBU yang sering digunakan sebagai sumber pembiayaan jalan tol non konvensional adalah Build, Operate, and Transfer.  Dalam KPBU jenis ini, pemerintah bertugas untuk menyusun standar perfomance dan menyediakan lahan, serta berperan sebagai pengguna sekaligus regulator. Sedangkan pihak swasta bertugas untuk membiayai sebagian besar modal pembangunan dan biaya perawatan infrastruktur dan berhak untuk mengoperasikan infrastruktur. Periode kerjasama jenis ini biasanya sekitar 10 hingga 20 tahun sampai pihak swasta mendapatkan balik modal dan keuntungan, yang kemudian jalan tol tersebut dikembalikan kepada pemerintah setelah jangka waktu tersebut.

Pemerintah juga memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan melalui skema KPBU, yaitu seperti dukungan Viability Gap Funding (VGF) berupa dukungan pendanaan APBN untuk pembangunan sebagian konstruksi jalan tol sehingga meningkatkan kelayakan finansial suatu ruas tol. VGF merupakan instrumen dukungan fiskal berupa hibah untuk membiayai sebagian biaya konstruksi proyek KPBU yang nilai totalnya setidaknya Rp. 100 miliar. Dengan biaya konstruksi yang direduksi, tarif menjadi terjangkau (tidak melebihi kesediaan/kemampuan membayar calon pengguna) dan/atau meningkatkan internal rate of return (IRR) proyek sehingga sama atau lebih tinggi dari minimum attractive rate of return.

Lalu bagaimana jika pemodal swasta masih sedikit dan belum menutupi kebutuhan tambahan biaya pembangunan tol?

Pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur Indonesia, termasuk jalan tol. Mahalnya biaya yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membangun infrastruktur tersebut menyebabkan pemerintah menggunakan dana hutang. Untuk menutupi hutang tersebut, mau tidak mau pemerintah harus menjual atau menginvestasikan tol yang sudah terbangun tersebut kepada swasta. Hal itu dilakukan karena bisnis tol merupakan usaha jangka panjang yang keuntungannya dapat kembali dalam kurun waktu sekitar 5 tahun.

Sistem “bangun-jual” merupakan salah satu cara BUMN untuk mencari sumber pendanaan dan meminimlaisir penggunaan APBN. Sistem ini juga sudah biasa diterapkan di Cina, dimana mereka dapat membangun jalan tol sepanjang 131.000 km. Melepas aset perseroan atas jalan tol juga dapat mengurangi rasio pinjaman terhadap modal. Sehingga kedepannya, keuangan persahaan bisa tetap sehat dalam menjalankan proyek-proyek lain yang dijalankan.

Jadi kesimpulannya, ketika pemerintah membutuhkan bantuan daya pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha. Pemerintah terus mendorong partisipasi badan usaha khususnya BUMS dalam penyelenggaraan infrastruktur melalui skema KPBU. Selain itu pemerintah juga memberikan instrumen dukungan seperti Viability Gap Funding (VGF). Hal tersebut dilakukan untuk memaksimalkan strategi pembiayaan pembangunan agar dalam mencapai visi dan misi dapat lebih mudah, efektif, dan efisien. Namun, ketika investasi badan usaha yang ada belum menutupi kebutuhan pendanaan infrastruktur jalan tol, pemerintah dapat menggunakan sistem “bangun-jual” untuk menutupi hutang pendanaan tol. Pemerintah membangun jalan tol dengan menggunakan dana hutang, lalu ketika jalan tol tersebut telah terbangun, pemerintah menjualnya pada swasta untuk membayar hutang yang digunakan sebagai modal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun