Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Lebaran 2025 Tak Lagi Ramai

4 April 2025   19:30 Diperbarui: 4 April 2025   19:00 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://money.kompas.com/read/2025/04/02/081238126/mal-sepi-benarkah-daya-beli-masyarakat-melemah?page=all

Momentum Refleksi dan Reorientasi Kebijakan Ekonomi

Lebaran bukan sekadar hari raya keagamaan. Ia adalah peristiwa sosial-ekonomi terbesar yang terjadi setiap tahun di Indonesia, sebuah momen ketika tradisi, emosi, dan ekonomi bertemu dalam satu panggung. Mudik Lebaran menjadi simbol keterikatan antara kota dan kampung, antara modernitas dan akar budaya, antara perantauan dan harapan pulang. Dalam satu gelombang besar, jutaan orang bergerak dari pusat-pusat ekonomi kembali ke titik asal mereka, membanjiri jalanan, terminal, bandara, dan pelabuhan. Di balik itu, perputaran uang mencapai triliunan rupiah, memberi napas segar bagi sektor konsumsi, transportasi, dan perdagangan di seluruh pelosok negeri.

Namun, Lebaran 2025 hadir dengan wajah yang berbeda. Suasana yang biasanya riuh dan penuh semangat, kini terasa lebih lengang dan tenang. Jalan tol yang biasanya macet berjam-jam bisa dilalui tanpa hambatan berarti. Tiket pesawat dan kereta api yang biasanya habis jauh hari, kini masih tersedia hingga mendekati hari H. Bahkan pusat perbelanjaan dan pasar tradisional pun mencatat transaksi yang lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Data resmi menunjukkan bahwa jumlah pemudik menurun drastis, sebesar 24,34%, dari 193,6 juta orang pada 2024 menjadi hanya 146,48 juta orang tahun ini.

Apakah ini sekadar perubahan perilaku pascapandemi? Ataukah kita sedang menghadapi kenyataan baru yang lebih kompleks, tentang tekanan ekonomi, daya beli yang menurun, dan ketidakpastian yang membayangi masa depan? Lebaran 2025 memberi kita isyarat bahwa ada yang perlu direnungkan, dan mungkin dibenahi.

Angka yang Bersuara: Penurunan Signifikan dalam Mobilitas dan Konsumsi

Data tak pernah bohong. Ketika emosi dan persepsi bisa bergeser karena narasi, data tetap berbicara dengan jujur. Menurut laporan Kementerian Perhubungan RI, jumlah pemudik tahun ini mengalami penurunan tajam. Dari 193,6 juta orang pada 2024 menjadi hanya 146,48 juta orang pada 2025. Itu berarti ada lebih dari 47 juta orang yang memutuskan untuk tidak pulang kampung tahun ini.

Penurunan ini tidak hanya terjadi pada moda tertentu, tetapi hampir merata di semua jalur darat, laut, udara, dan kereta api. Moda darat yang selama ini menjadi pilihan mayoritas pemudik, khususnya kendaraan pribadi dan bus antarkota, justru mencatat penurunan tertinggi. Tiket yang biasanya habis terjual jauh hari sebelumnya kini bahkan bisa diperoleh H-3 tanpa antrean. Fenomena ini tentu bukan kebetulan, melainkan refleksi dari pergeseran ekonomi masyarakat.

Tak hanya dari sisi mobilitas, perputaran uang selama musim mudik pun mengalami koreksi tajam. Menurut Bank Indonesia, jumlah uang tunai yang beredar dan digunakan masyarakat selama Ramadan dan Idulfitri 2025 hanya mencapai Rp137,975 triliun, lebih rendah dari angka tahun lalu sebesar Rp157,3 triliun. Artinya, masyarakat lebih hemat, bukan karena semakin bijak dalam pengeluaran, melainkan karena kemampuan untuk membelanjakan uang pun menyusut.

Kondisi ini menjadi sinyal awal bahwa ekonomi rumah tangga Indonesia tengah menghadapi tekanan. Mudik yang biasanya menjadi ruang pelarian dan euforia, justru kini menjadi cermin akan daya beli yang menurun dan kecemasan ekonomi yang meningkat.

Sinyal-Sinyal Perlambatan Ekonomi yang Tak Bisa Diabaikan

Fenomena menurunnya jumlah pemudik dan melambatnya perputaran uang selama Lebaran 2025 hanyalah puncak dari gunung es perlambatan ekonomi yang semakin nyata. Di balik suasana mudik yang tidak lagi hiruk-pikuk, ada sinyal-sinyal ekonomi yang tak bisa diabaikan. Data dan fakta terbaru menunjukkan bahwa daya dorong konsumsi masyarakat, terutama dari kelompok menengah dan pelaku UMKM, sedang mengalami tekanan berat.

Kelas Menengah Kian Menciut

Kelas menengah selama ini dikenal sebagai motor utama pertumbuhan konsumsi domestik. Namun data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) dan analisis lintas kementerian menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan dari 57,33 juta orang pada 2019 (21,45% dari total penduduk) menjadi 47,85 juta orang pada 2024 (17,13%). Dengan tren stagnasi pertumbuhan ekonomi kuartal awal 2025, jumlah ini diperkirakan belum mengalami pemulihan berarti. Penurunan sekitar 9,48 juta orang dalam lima tahun adalah indikasi kuat bahwa semakin banyak masyarakat Indonesia yang terdorong turun ke kelompok rentan. Ini bukan sekadar soal statistik, tetapi juga tentang melemahnya konsumsi di sektor-sektor strategis seperti pendidikan, pariwisata, transportasi, hingga ritel.

NPL UMKM Meningkat Tajam

Di sisi lain, pelaku UMKM, yang menyerap lebih dari 97% tenaga kerja Indonesia, sedang menghadapi krisis likuiditas dan kredit. Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) sektor UMKM dilaporkan meningkat dari 3,71% pada 2023 menjadi 3,76% pada akhir 2024, dan melonjak ke 4,02% pada awal 2025. Peningkatan ini menandakan bahwa semakin banyak pelaku usaha kecil yang gagal memenuhi kewajiban pembayaran utang mereka. Situasi ini bukan hanya menekan sektor perbankan, tetapi juga menurunkan kapasitas produksi dan memperlemah penyerapan tenaga kerja di tingkat akar rumput.

Gabungan dari dua indikator ini, penyusutan kelas menengah dan memburuknya kualitas kredit UMKM, menunjukkan bahwa fondasi ekonomi Indonesia tengah rapuh. Maka, penurunan jumlah pemudik Lebaran 2025 harus dibaca bukan sebagai fenomena kultural semata, tetapi juga sebagai ekspresi nyata dari tekanan ekonomi yang dialami jutaan keluarga Indonesia.

Momentum Reorientasi: Dari Krisis ke Arah Kebijakan Baru

Penurunan tajam jumlah pemudik pada Lebaran 2025 dan menyusutnya perputaran uang di tengah masyarakat bukan sekadar anomali statistik tahunan. Ini adalah sinyal keras bahwa mesin utama pendorong ekonomi nasional, yakni konsumsi rumah tangga, sedang kehilangan tenaga. Namun, di balik setiap krisis, selalu ada peluang untuk berbenah. Di tengah stagnasi dan tekanan global, Lebaran 2025 bisa menjadi momentum reflektif untuk reorientasi arah kebijakan ekonomi nasional.

Langkah pertama adalah menyadari bahwa pendekatan ekonomi makro yang terlalu bertumpu pada stabilitas semu tidak lagi cukup. Daya beli masyarakat harus menjadi fokus utama. Saat kelas menengah mulai menciut dan lapisan bawah makin tertekan, maka keberpihakan kebijakan terhadap kelompok rentan menjadi keharusan, bukan pilihan. Program bantuan sosial (bansos) perlu direformulasi agar tidak sekadar bersifat karitatif, tetapi mampu mengungkit produktivitas dan kemandirian. Misalnya, bansos yang dikaitkan dengan insentif usaha kecil atau pelatihan kerja digital.

Langkah kedua adalah mendorong kembali gairah konsumsi domestik secara terukur dan adil. Pemerintah dapat mengeluarkan stimulus fiskal yang bersifat langsung kepada rumah tangga, terutama pada sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan. Insentif fiskal, seperti potongan pajak bagi pelaku UMKM dan relaksasi PPN untuk produk primer, dapat memberikan ruang napas agar ekonomi sektor riil kembali menggeliat. Ini penting agar masyarakat tak hanya berhemat karena keterpaksaan, tetapi karena ada keyakinan akan masa depan.

Reorientasi juga harus menyentuh akar struktural. Pemerataan pembangunan antarwilayah dan akselerasi inklusi keuangan digital wajib menjadi agenda utama dalam RPJMN dan kerangka APBN ke depan. Program semacam digitalisasi desa, satu pesantren satu produk/keuangan, atau kredit ultra mikro berbasis komunitas bukan sekadar jargon, melainkan jawaban konkret atas ketimpangan yang makin lebar. Inklusi digital dan keuangan tak hanya menghubungkan masyarakat dengan pasar dan perbankan, tapi juga membangun optimisme bahwa ekonomi masa depan bisa lebih terjangkau dan memberdayakan.

Lebaran 2025 telah menampilkan wajah baru: wajah kehati-hatian, bahkan kekhawatiran. Tapi justru dari situ, negara diberi kesempatan untuk menyusun ulang prioritasnya. Ini adalah momen untuk bergerak dari business as usual ke arah ekonomi yang lebih berpihak, inklusif, dan berdaya tahan.

Dari Mudik ke Mufakat

Mudik, dalam narasi budaya Indonesia, bukan sekadar aktivitas tahunan. Ia adalah manifestasi ikatan sosial, ekonomi, dan spiritual masyarakat. Setiap Lebaran, jutaan orang bergerak melintasi pulau dan kota, membawa serta semangat pulang, berbagi, dan menyambung silaturahmi. Namun Lebaran 2025 menghadirkan potret yang tak biasa, jalan tol yang tak lagi sesak, stasiun yang tak lagi penuh, dan terminal yang kehilangan riuhnya. Bukan karena budaya mudik memudar, tetapi karena daya dorong ekonomi masyarakat sedang melemah.

Fenomena ini adalah lebih dari sekadar statistik. Ia adalah refleksi paling jujur tentang kondisi ekonomi rakyat. Ketika mudik, sebuah tradisi yang selama ini dijaga bahkan dalam kondisi sulit, mulai ditinggalkan, maka itu menandakan bahwa beban ekonomi sudah mencapai titik kritis. Bagi sebagian besar masyarakat, mudik bukan sekadar perjalanan, melainkan bentuk aktualisasi sosial dan eksistensial. Maka, ketika mereka memilih bertahan di kota dan menunda pulang, itu bukan soal pilihan, tetapi keterpaksaan.

Dari sinilah mufakat kebijakan harus dimulai. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus membaca sinyal ini dengan jernih. Ini bukan sekadar tantangan temporer yang akan selesai pasca-Lebaran, tetapi indikator struktural bahwa ekonomi nasional perlu disusun ulang. Mufakat bukan hanya tentang konsensus politik, tetapi juga arah baru kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak, mufakat antara negara dan warganya bahwa ekonomi harus dibangun dengan fondasi keberdayaan, bukan sekadar angka pertumbuhan.

Lebaran 2025 semestinya menjadi momen untuk menghentikan sejenak rutinitas politik, dan mendengar suara dari bawah. Dari warung kecil yang tak seramai biasanya, dari pemilik toko oleh-oleh yang mengeluh dagangan menumpuk, dari pengemudi ojek daring yang mengaku lebih sering menunggu daripada mengantar. Semua ini adalah data hidup yang harus didengar dan direspons bukan hanya dengan narasi optimisme, tetapi dengan tindakan nyata.

Kita membutuhkan mufakat baru: bahwa pembangunan ekonomi ke depan harus lebih manusiawi, lebih menyentuh sisi kerakyatan, dan lebih adaptif terhadap perubahan zaman. Ini bukan sekadar tentang menaikkan angka, tetapi membangkitkan kembali harapan. Karena bila mudik adalah simbol pulang ke akar, maka mufakat adalah simbol kembali ke niat awal: membangun negeri ini untuk semua, bukan segelintir.

Dengan demikian, Lebaran 2025 tidak hanya menjadi cerita tentang sepinya terminal, tetapi juga momentum historis ketika bangsa ini mengambil jeda, merefleksi, dan menyusun ulang langkah menuju masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun