Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Bankir - SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, serta Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Google Didenda 202,5 Miliar, Tantangan Baru untuk Dominasi Teknologi

22 Januari 2025   16:38 Diperbarui: 22 Januari 2025   16:38 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tingkat global, keputusan ini mencerminkan tren yang lebih luas dalam pengawasan terhadap raksasa teknologi. Uni Eropa telah menjadi salah satu pelopor dalam menegakkan regulasi yang ketat terhadap praktik monopoli oleh perusahaan besar, dan langkah Indonesia menunjukkan bahwa negara-negara berkembang juga memiliki keberanian dan kapasitas untuk melakukan hal yang sama. Kasus ini memperkuat narasi bahwa regulasi tidak hanya menjadi domain negara maju, tetapi juga alat penting bagi negara berkembang untuk melindungi kedaulatan digitalnya.

Namun, tantangan utama terletak pada bagaimana menjaga keseimbangan antara regulasi dan daya tarik investasi. Negara-negara berkembang seperti Indonesia sangat bergantung pada investasi asing untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital mereka. Regulasi yang terlalu agresif dapat membuat perusahaan global enggan beroperasi, sementara regulasi yang terlalu longgar dapat membuka pintu bagi eksploitasi.

Selain itu, dinamika geopolitik juga memengaruhi bagaimana regulasi diterapkan. Raksasa teknologi seperti Google sering kali memiliki pengaruh yang besar dalam hubungan diplomatik antara negara asal mereka dan negara-negara lain. Hal ini menambah kompleksitas dalam menerapkan regulasi yang adil tanpa menimbulkan konflik internasional.

Dalam jangka panjang, tantangan lainnya adalah memastikan bahwa regulasi tidak menghambat inovasi. Teknologi berkembang dengan sangat cepat, dan regulasi yang kaku dapat menjadi penghalang bagi inovasi baru yang potensial. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang fleksibel dan adaptif, yang memungkinkan regulasi untuk terus relevan dengan perkembangan teknologi tanpa mengorbankan perlindungan terhadap pelaku usaha kecil.

Dengan semua tantangan ini, kasus Google menjadi ujian besar bagi Indonesia dalam membuktikan bahwa regulasi yang adil dan efektif dapat diterapkan tanpa mengorbankan inovasi dan pertumbuhan ekonomi digital. Keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini tidak hanya akan memberikan manfaat bagi ekosistem digital lokal, tetapi juga akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam ekonomi digital global.

Kasus denda Rp 202,5 miliar kepada Google menjadi bukti nyata bahwa Indonesia tidak hanya mampu menegakkan regulasi di tingkat nasional, tetapi juga berkontribusi pada tren global dalam mengatur dominasi raksasa teknologi. Langkah ini memberikan sinyal kuat bahwa praktik monopoli tidak akan dibiarkan tanpa perlawanan, meskipun dihadapi oleh perusahaan dengan kekuatan finansial dan pengaruh global yang besar.

Keputusan ini menciptakan momentum penting untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih inklusif. Dengan adanya tekanan terhadap perusahaan teknologi untuk bersikap lebih adil, pengembang lokal memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berinovasi. Selain itu, konsumen juga diuntungkan dengan kemungkinan harga yang lebih kompetitif dan akses yang lebih luas terhadap layanan digital.

Namun, tantangan tetap ada. Regulasi harus dirancang untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku usaha kecil dan daya tarik investasi asing. Selain itu, pemerintah harus terus memastikan bahwa regulasi yang diterapkan bersifat adaptif terhadap perubahan teknologi. Inovasi harus tetap didorong, tetapi tanpa mengorbankan keadilan dalam ekosistem digital.

Kasus ini juga menjadi pelajaran penting bagi negara-negara berkembang lainnya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menantang dominasi raksasa teknologi. Dengan kolaborasi antara regulator, pelaku usaha, dan pemerintah, regulasi yang efektif dapat membantu menciptakan masa depan digital yang adil dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, keberhasilan Indonesia dalam menangani kasus ini dapat menjadi model bagi negara lain dalam menyeimbangkan inovasi, investasi, dan regulasi. Langkah ini tidak hanya relevan untuk pasar lokal tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam ekonomi digital global. Masa depan ekosistem digital kini tergantung pada kemampuan semua pihak untuk terus bekerja sama menciptakan ruang yang adil, inklusif, dan inovatif bagi semua pelaku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun