Setiap orang harus dan wajib berikhtiyar. Bila ada yang melakukan penyeleksian, sayembara dan kompetisi mencari jodohnya. Maka aku dengan caraku, maka aku dengan ikhtiyarku sendiri. Bila diamku ini dianggap ikhtiyar pasif, maka ia tak tau, bahwa aku sedang menilai. Berusaha membaca pribadi mereka yang muncul disekelilingku.
"Neng, cowok itu menang milih, cewek itu menang nolak." Kata Nadia suatu ketika.
"Tapi Nad, bukankah Khodijah menang milih ya?" Tanyaku nggak puas.
"Iya, tapi dia telah menilai Muhammad sebelumnya."
"Aku masih nggak puas Nad," protesku.
"Itu hanya kebenaran umum Az. Fakta yang ada dewasa ini."
"Berarti dalam konteks pembahasan kita ini, cewek atau cowok juga memiliki porsi dan posisi yang seimbang donk?"
"Bisa jadi. Adat menjadikan tabu atau kurang baik kalau perempuan yang maju duluan. Emansipasi ya emansipasi, tapi ada nilai-nilai yang tak bisa kita langkahi gitu aja. Dan pastinya keluarga memegang peran penting dalam keputusan final. Kamu bilang iya, dia bilang iya, kalau keluarga bilang nggak, tetep aja nggak bisa jalan. Batal."
Perlahan kutulis sebuah judul dengan diikuti beberapa susunan kata yang membentuk beberapa baris kalimat dalam buku harianku.
Dia bernama RINDU
Bait kalimat terukir...
sebuah rasa hinggap dan memberi warna...
menoleh kesamping, hanya ada bayang dan kesendirian..
sejenak damai, kini terasa sepi...
Setiap buku punya kisahnya masing-masing...
tiap kehidupan dibekali takdirnya sendiri...
yang kuingin kamu tau,
akulah yang menangggung kisahku,
tak ada hakmu untuk mencela atau menghina,
karna tak kau rasa duka deritaku...
I don't wanna walk alone...
rintih hatiku, lelah untuk menghadapi semuanya sendiri,
tetap tegak meski rapuh....
kutanya diri dan hatiku,
pada siapa harap itu bermuara....
pada siapa rindu itu tertuju...
entahlah.
Banyak yang harus kulakukan. Terfokus pada topik seputar JODOH dan NIKAH hanya akan membuat langkahku terhenti dan tak jelas. Bukankah kedua topik itu seperti topik HIDUP dan MATI? Dan semua itu adalah rahasia Ilahi. Aku hanya perlu memperbaiki diri. Aku hanya perlu melakukan semua yang harus kulakukan dengan baik, dengan memberikan yang terbaik. Sisanya biar Tuhan yang mengatur.
Beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan seseorang. Namanya Fauzan. Semua berawal dari sebuah pertemanan. Beberapa lamaran tertuju padaku. Jujur ini membuatku merasa pusing. Dan Fauzan juga mengajukan lamaran. Sekali lagi, aku mengenalnya dalam sebuah ikatan pertemanan. Aku tak pernah melihat sikapnya yang memaksaku untuk menerima lamarannya. Ia menghargai aku, dengan mengijinkan aku mengutarakan pendapat dan keputusanku. Sejauh aku mengenalnya, menurutku ia adalah orang yang baik. Sholeh dan amanah InsyaAllah. 'Benarkah dia Robb??'
Keluargaku bertanya padaku apakah aku menerima Fauzan. Ayah, ibu dan para kerabat menyuarakan penilaian mereka. Tak ada ketidaksetujuan disana. Dan aku mengenalnya sebagai seorang yang baik. Istikhoroh sudah dilakukan. Dan inikah jawabanMu? Aku mengangguk. Iya, aku menerima lamaran itu. Subhanallah, semudah itu?
Tuhan adalah sutradara terbaik dan penulis skenario terhebat. Andai kuminta jodoh itu datang padaku beberapa bulan yang lalu, maka belum tentu semua akan seindah ini. Dan mungkin ini adalah waktu yang tepat untuknya datang kepadaku. Terima kasih Tuhan atas rahmad yang Engkau limpahkan padaku. Alhamdulillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H