Mohon tunggu...
Galeri Cerita Ani Wijaya
Galeri Cerita Ani Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - The taste of arts and write

Kisah cinta umpama sebuah buku. Kau tetap akan membaca selembar demi selembar meskipun telah tahu akhir ceritanya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Moros

17 Februari 2016   13:13 Diperbarui: 18 Februari 2016   07:34 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Letusan tembakan diarahkan ke langit. Memecah kesunyian. Para petugas polisi berpakaian preman, mengatur  posisi masing-masing. Sang komandan berteriak lantang, memberi perintah untuk angkat tangan dan menyerah.

“Mereka sudah mengepung tempat ini, Fe” suara lelaki itu bergetar, penuh amarah, “tapi kali ini aku tak akan tertangkap.”
Perempuan dengan nama Fenita, mendengarkan di seberang telepon. “Aku pikir kau akan menyampaikan kabar gembira. Atau mungkin bercerita, kemana saja selama empat bulan ini. Semua orang mencarimu, semua...” seraya menghela napas perlahan, menahan emosi yang sejak tadi meletup-letup.

“Maafkan aku...” suara lelaki itu berubah lirih. Menyesal? Entahlah.

“Semua kecuali aku,” tegasnya, “Karena kupikir, setelah melarikan diri dari penjara, kau akan pulang. Pulang ke tempat di mana kami menunggu. Namun ternyata salah besar. Selalu salah besar.”

Sebenarnya banyak yang ingin dikatakan. Kekecewaan, amarah, kebencian. Serta sebuah pertanyaan besar, adakah seseorang dilahirkan untuk jadi penjahat? Sehingga pelajaran apapun tak mampu dan tidak akan pernah membuat jera. Apalagi bertobat.

“Mereka semakin dekat, jangan khawatir Fe. Aku akan melawan. Agar tak harus mati konyol di tangan para aparat itu. Tunggu kedatanganku, sayang...” desah napasnya memburu, diikuti sumpah serapah yang kemudian terucap.

Sedangkan Fe hanya mampu tersenyum kecut, sambil menelan ludah yang terasa amat pahit, “Aku yakin kau bisa lolos, Dre. Kau adalah bajingan paling licik yang pernah ada. Sukar untuk ditaklukkan, selicin ular cobra berbisa,” kata-kata itu meluncur begitu saja, batinnya bersorak setuju. “Berlarilah sekencang kau bisa, datanglah kemari. Akan kulindungi kau dalam dekapanku. Sehingga tak akan ada seorang pun yang dapat mengusikmu lagi.” Sebuah janji terucap, kemudian ditorehkan jauh dalam relung sanubari. Satu hal. Untuk membuat pria itu tak beranjak lagi dari sisinya sedikit pun.

Suara di seberang ponsel terdengar semakin gaduh. Teriakan bersahutan, tendangan dengan kekuatan penuh diarahkan pada pintu yang terkunci dari dalam. Kemudian mereka masuk, menyebar ke beberapa ruangan. Nihil. Kini terdengar suara hantaman tinju menggebrak meja. Tak mau membuang waktu, para petugas segera mengambil langkah selanjutnya. Tentu saja , mereka tak ingin kehilangan lagi seorang pesakitan yang telah melarikan diri saat akan diadili.

Fe sedikitpun tak menarik dan hembuskan napas. Demi mendengarkan baku tembak yang terjadi. Sesaat hatinya mencelos, seraya berharap-harap cemas. Beberapa letusan senjata api mengakhiri pembicaraan mereka di telepon.
Senyap.

Entah apa yang terjadi di sana. Siapa menembak siapa, ratusan dugaan berkecamuk dalam otak perempuan bertubuh kurus ini.

***

Lelakiku. Sejak bola mata kita saling beradu untuk pertama kali. Aku langsung jatuh cinta. Dengan rela menyerahkan seluruh hidup untuk kau bawa. Bukankah kekuatan cinta, akan membuat derita menjadi bahagia. Dan merubah kesengsaraan menjadi kenikmatan.

Namun. Kejam dan bengis kehidupan ibukota menodai keindahan mimpi. Tentang masa depan yang berkilau, juga kebahagiaan berlimpah materi. Kemudian siapa yang harus dipersalahkan? Nasib atau kita, karena terlalu berani mengejar angan nan terlampau tinggi. Meninggalkan hijaunya hamparan padang rumput di kampung halaman. Bermodalkan nekat dan janji palsu. Mendatangi belantara tempat gedung-gedung menjulang tinggi berdiri kokoh. Penuh keangkuhan.

Diriku selalu belajar untuk tak pernah mencetuskan keluhan. Demi memenuhi ajakanmu, berjuang dari nol. Bersedia berteman dengan lapar, berdamai dengan serba kekurangan. Kala hujan deras mengguyur, harus siaga, pontang panting menampung air. Panci, ember, tak banyak yang kita punya. Kuyup, kedinginan.

Berebutan menghela udara yang menyesakkan dalam ruangan pengap. Karena tak satu pun jendela menghiasi rumah ini. Rumah. Jika kata ini cukup mewakili definisi dari tempat berteduh. Tak apa, banyak keluarga lain yang juga tinggal di sekitar sini. Meski dengan resiko berpindah-pindah tempat, bermain petak umpet dengan para petugas penertiban kota.

Ternyata harus kita telan pil pahit dari kenyataan. Namun tak sudi untuk pulang kandang, sebagai orang kalah. Keegoisan dan kearoganan terlanjur menguasai diri. Sehingga akhirnya, perut dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Menempuh jalan mudah untuk meraih kekayaan. Buta mata dan hati dengan gemerlap yang siap direngkuh.

Oh, kekasihku. Kalau hanya untuk mengenyangkan lambung, kenapa harus jalan sekelam ini yang kau pilih. Akhirnya semua limpahan rupiah haram itu kau gunakan hanya untuk bersenang-senang. Mengembangbiakkan dosa dan nista. Aku tak hendak ikut di dalamnya. Biarlah, hidup terkungkung dalam kemiskinan. Asalkan tidak dihantui rasa bersalah.

Kemudian aku hanya mampu menunggu. Setia dan percaya. Selalu percaya bahwa kau masih punya hati. Suatu saat akan kembali pada jalan lurus yang seharusnya kita tempuh.

Terlalu poloskah aku? Atau bodoh ?

Mungkin.

Namun menggiring mereka agar berhasil menangkapmu untuk pertama kali adalah sesuatu yang tak pernah kusesali. Agar kau tinggal di satu tempat, tak beranjak ke mana pun. Sehingga bisa didatangi kapan pun aku mau. Namun rupanya cara itu tetap tak berhasil. Kau malah memilih melarikan diri dari hukuman. Mendobrak jeruji besi yang kuanggap sebagai malaikat penjaga. Menyogok oknum sipir yang sudah buta dengan keduniawian.

Lihatlah, bahkan semenjak kepergianmu. Tak pernah sekalipun absen membuatkan secangkir teh kesukaanmu. Bagiku, hal itu tak ubahnya seperti meramu harapan. Mengaduk kembali asa yang dahulu pernah terpadu, mengikat kau dan aku. Untuk kemudian disajikan, agar dapat kau rasakan cinta lewat hangat dan manisnya teh yang melewati kerongkongan. Dan bermuara di lambungmu.

Nenek bilang cinta seorang lelaki dapat dimenangkan lewat perutnya. Meskipun kenyataannya hal ini tak dapat membuatmu bertekuk lutut seperti cerita mereka. Mungkin jaman telah merubah hati seorang lelaki menjadi keras. Sehingga masakan seenak apapun tak akan mampu menahan mereka untuk tetap setia.

Sekarang aku lelah Dre. Letih dengan segala permainanmu yang tak pernah usai. Entah apa artinya kata ‘Cinta’ untukmu. Padahal dahulu kerap kali kau ucapkan. Adakah ia dihatimu? Atau hanya sebagai aksesoris untuk melelehkan hatiku.

Cangkir porselen hitam kesayanganmu, kini kembali terisi penuh. Teh tubruk dengan dua potong gula batu. Asapnya mengepul liar, hasil dari air yang mendadak dijerang hingga mendidih. Sambil mengaduk, aku memasang wajah paling cerah, mengingat kini kau tak akan pergi kemana-mana lagi. Tak perlu susah payah mencari tempat persembunyianmu, saat ingin melepas rindu. Atau mengintip ke setiap kamar wanita yang kau cap menjadi kekasihmu. Ketika buah hati kita kerap memanggil namamu dalam tidurnya.

Selesai. Teh manis terakhir berisi harapan untuk mendapatkanmu kembali. Kali ini tak ada mantera di dalamnya. Atau jampi-jampi yang ku dapat dari buku paririmbon tua. Semua itu ternyata hanya omong kosong, tak dapat sedikitpun mengetuk pintu hatimu. Kalau memang kau masih memiliki ini di tubuhmu.
Sekarang aku tinggal duduk di sofa butut yang ditemukan di pinggiran rel. Kala itu, kita mengucap terima kasih─pada seseorang─ entah siapa. Karena telah rela membuangnya. Sehingga tak perlu lagi, duduk di lantai kasar yang selalu memantulkan panas.

Di sini, menantimu, untuk kemudian memelukmu.

Belaian angin membuat kelopak mataku enggan terbuka. Mereka memilih untuk mengatup perlahan. Sementara berbagai khayal menari gemulai dalam benak, aku mulai memasuki gerbang mimpi. Namun kenyataan samar-samar menggeliat di depan mata. Karena kedua bola mata masih belum tertutup rapat.

“Asik, teh manis...”

Sayup terdengar gemerincing suara gadis kecil. Cinta. Jemari mungilnya meraih cangkir di atas hasfel. Sebuah gulungan kabel bekas yang ditinggalkan begitu saja di area kolong jembatan tol. Rupanya ia berjodoh dengan sofa butut yang kini dihiasi motif tambalan.

Aku terperanjat, melintas hal terburuk dalam pikiranku. Anakku, diri ini membatin. Langsung kusambar tubuh mungilnya, “Muntahkan Sayang, muntahkan,” sambil kumasukkan telunjuk ke mulutnya, “cepat, Cantik. Muntahkan.”

Gadis kecilku meronta sambil terbatuk-batuk, hampir tercekik. Mata Cinta memerah, mengeluarkan buliran kristal yang meleleh melewati kedua pipinya.
“Sakit, Mama. Sakit...” Cinta meronta, menepis tanganku.

Kemudian aku melepaskannya, menjauhkan diri dari tubuh lunglai putri semata wayangku. Wajahnya pucat, seakan hampir kehabisan napas. Oh, tidak. Seberapa banyak yang dia minum. Kalut, neuron di otakku tak mampu berpikir jernih. Kemudian kulihat cangkir di atas hasfel. Masih ada setengah lagi, aku harus menyusul Cinta. Seraya mereguk paksa isinya untuk masuk ke dalam kerongkongan.

Rasa panas seketika menyerbu, bahkan membakar setiap bagian organ dalam tubuh. Satu persatu indera milikku hampir kehilangan fungsinya. Buram. Kelu. Tercekik. Tapi samar-samar pendengaranku masih menangkap teriakan Cinta,

“Papa, Mama kenapa Pah. Mulutnya berbusa, sama kayak si Kitty.”

Suamiku ternyata datang, dia memenuhi janji. Tapi aku sama sekali tak mampu meraihnya. Untuk sekedar berbisik, mengucapkan ‘Aku cinta kamu’.
Derap langkah kaki mereka terdengar menjauh, meninggalkanku. Sebelum cahaya terakhir padam, masih kulihat siluet Andre yang memunggungiku. Menggendong Cinta yang terus menatap iba, tak melepaskan pandangan bola mata bulatnya dariku.

Di sebelahku berbaring makhluk berbulu yang kini terbujur kaku. Lidah merah mudanya terjulur keluar.

***

“Selamat petang, pemirsa. Sekilas liputan kembali menyampaikan info terbaru. Aparat satuan narkoba hari ini menggrebeg tempat persembunyian AS yang selama beberapa bulan ini telah masuk dalam daftar DPO. Sangat disesalkan, AS berhasil lolos saat polisi mencoba menangkapnya.

Para petugas langsung mendatangi kediamannya untuk meminta keterangan dari istri tersangka. Namun polisi menemukan sesosok mayat perempuan di TKP yang ternyata adalah istri dari AS. Fe, tiga puluh tahun ditemukan tewas dengan mulut berbusa dan tubuh membiru. Diduga ia mengakhiri hidupnya sendiri dengan meminum racun. Sementara jejak dari sang suami masih belum dapat ditemukan.

Sekian berita sekilas liputan kali ini. “

###

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun