Mohon tunggu...
Galeri Cerita Ani Wijaya
Galeri Cerita Ani Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - The taste of arts and write

Kisah cinta umpama sebuah buku. Kau tetap akan membaca selembar demi selembar meskipun telah tahu akhir ceritanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Separuh

16 Februari 2016   15:09 Diperbarui: 16 Februari 2016   15:11 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menahan genangan air mataku agar tidak tumpah. Lalu berbalik, keluar dari dalam kamar perawatan. Membiarkan tangisanku tumpah disana, para suster hanya bisa memintaku untuk selalu bersabar.

Tirai jendela kamar rumah sakit setiap malam dibuka, agar ibu dapat memandang Rembulan dari kamar Rumah Sakit. Terlihat dari matanya, betapa Ibu merindukan Ayah. Ibu menerima bulat-bulat alasan yang aku buat. Ayah sedang tak enak badan, sehingga Ibu memilih untuk membiarkan Ayah beristirahat di rumah. Besok Ibu sudah boleh pulang ke rumah, kesehatannya membaik.

Kami bertiga memeluk Ibu, satu persatu menuturkan kejadian yang menimpa Ayah. Tubuh Ibu bergetar, hawa dingin dengan cepat menjalari. Ia memegang kami dengan erat, mencari kekuatan. Dengan terbata-bata Ibu masih mengucapkan,”Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un”. Tatapan mata kosong, tiada amarah atapun kesedihan yang dapat kami cari disana.

Dan sejak hari itu, rembulan adalah satu hal yang paling Ibu benci. Ia selalu menutup rapat-rapat tirai jendela. Ia juga tak pernah mau keluar saat malam tiba. Kebiasaan kami berkumpul di teras untuk melihat bulan punah sudah. Tak peduli cucu-cucunya merengek, atau kami, anak-anaknya yang mencoba berbagai cara untuk mengembalikan senyum Ibu.

Ibu tenggelam dalam kesendirian. Dalam dunia yang membentengi dirinya dari kehidupan. Sayup-sayup kadang terdengar ibu bersenandung dari dalam kamarnya.

Haruskah kupergi, tinggalkan dunia
Agar aku dapat berjumpa denganmu...
Batinku teriris perih, ternyata apa yang dikatakan dengan ‘Hidup bahagia untuk selamanya’. Tak pernah ada, sama sekali.
***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun