Â
Kupandangi rumah kecil yang telah aku tempati beberapa bulan ini, letaknya berada di kebun belakang tempat tinggal adikku. Kebun lumayan luas dengan bermacam tumbuhan. Ada manggis, mangga, rambutan, nangka, singkong, dan beberapa tanaman lainnya. Rumah khusus yang dibangun karena keberadaanku, sangat mendadak karena tidak ada lagi yang mau mengurusku.Â
Takada lagi istri atau mantan istri yang dulu menemani. Anak-anakku pun tak ada yang mau melihatku. Bahkan ada yang tidak mengenali karena aku tinggalkan mereka semenjak bayi. Sekarang, hanya sendiri ditemani sepi. Pada akhirnya, adik-adikku yang dengan berat hati mau memberi tempat.
Masa laluku yang kelam, banyak menyakiti orang dan membuat banyak kaum hawa menitikkan air mata karena ulahku. Banyak jiwa tersakiti karena aku, begitu pun dengan orang tuaku. Segala permintaan harus terwujudkan. Egois, itulah aku. Mungkin, ini adalah perjalanan yang harus aku terima dan jalani setelah melalui masa muda dengan menebarkan banyak luka.
Orang-orang yang dahulu mengenalku, kini seolah tak peduli atau bahkan mungkin takut. Bisa jadi malah jijik. Badanku yang jarang mandi dan berbau tidak enak membuat siapa pun enggan mendekat. Namun, aku mengabaikan tatapan-tatapan menusuk itu. Buat apa? Biarkan saja mereka membenciku. Inilah aku dengan kondisiku.
* * *
Siang itu, aku menatap masakan sayur lodeh rebung yang dihidangkan bersama lauk ikan pindang dan tempe. Adik bungsuku yang selalu memasakkan setiap hari buatku. Aku meraih pindang, menikmatinya dengan sedikit nasi.Â
Aku memuntahkan kembali makanan yang menurutku tidak enak. Lidahku merasakan hambar. Kucecerkan sayur lodeh ke lantai rumah.Â
Aku tidak suka sayur lodeh ini, tidak enak, umpatku dalam hati. Memang tidak ada lodeh lain selain rebung?
Adik perempuanku yang baru saja masuk ke rumah, matanya memerah penuh amarah, sorot tajam menatap. Bibirnya mulai menguarkan nyanyian rock, menurut telingaku.
"Tolong, ya, Mas! Aku memasak semua ini tidak gratis! Jerih payah suamiku bekerja! Enak saja kamu membuangnya seolah sampah! Aku dan anak-anakku pun makan ini! Apa maksudmu? Kalau Mas tidak terima dengan yang kami berikan, silakan mencari orang yang mau memberi Mas makan gratis," cecar Adikku emosi.
Aku hanya membisu mendengarkan kemarahannya dan memandang kejengkelan adik perempuanku. Seringkali aku membuat marah orang-orang di sekitar, terutama keluarga. Sampai kapan aku terus begini. Adikku memandang jengah kebisuanku, dia segera berbalik keluar dari rumah. Membiarkan aku menatap lantai rumah yang kotor.Â
Lodeh rebung yang tidak pernah kusuka semenjak muda. Bagaimana bisa aku makan sayur yang kalau sudah tua akan berubah menjadi dinding rumah alias gedek. Apa-an?
Tidak kupedulikan kemarahannya. Silakan saja kamu marah, sudah tahu dari dulu aku tidak suka rebung, masih saja dimasakkan itu. Kutatap adik bungsuku yang mungkin telah terpaksa menampung kakak lelakinya ini. Bibirku menyeringai, tidak peduli dengan kejengkelannya.Â
Aku membawa kakiku melangkah keluar rumah. Saat melewati rumah adik bungsuku, terdengar isakan diselingi racauan.
"Keterlaluan dia, Mas. Aku sudah repot-repot memasak, tapi dia membuangnya di lantai. Tidak menghargai jerih payahmu sama sekali. Itu uang belanja 'kan hasil keringatmu. Kamu sudah bekerja keras untuk keluarga kita dan kakakku," keluh adikku terisak.
"Sudahlah, aku tidak apa. Aku ikhlas," ucap suami adikku dengan sabar.
"Tapi, Mas ...." Adikku ingin melanjutkan lagi.
"Sudahlah ...," hibur suaminya. Di akhir pembicaraan mereka, adikku masih terisak.
Kenapa juga aku mesti dengarkan mereka? Aku pun segera beralih, membawa kakiku yang berjalan agak pincang. Lidahku rasanya asam, ingin merasakan benda yang bisa mengeluarkan kepulan asap kalau dibakar. Sudah berapa hari aku tidak memanjakan bibirku dengan benda bernama rokok.
Mendingan aku ke rumah Slamet saja.
"Met! Slamet! Kamu di rumah?" teriakku saat di depan rumah kecil sederhana.
"Ada apa kamu teriak-teriak? Suamiku nggak di rumah!" Suara dan wajah istri Slamet seirama dalam satu kata 'sewot' saat tahu yang mencari suaminya adalah aku. Pandanganku menatap istri temanku yang sedang mencabut rumput di halaman. Tidak pernah sekalipun istri Slamet ini memperlihatkan raut muka ceria saat aku muncul. Sebenarnya, aku juga muak dan jengkel.
"Heh, Waginem! Wajahmu kalau sewot mirip sama rumput yang kamu cabuti," selorohku, langsung pergi tanpa melihat lagi bagaimana perubahan wajah Waginem. Namun, jika kulirik dari sudut mataku, raut mukanya malah makin memburuk.
Sekarang, aku mengalihkan tujuan ke rumah Boirin, temanku lainnya. Rumahnya nggak jauh dari Slamet. Hanya sekitar setengah kilo jaraknya. Kalau Boirin belum beristri, tapi biasanya si Emak judesnya minta ampun. Rumah sederhana yang ditempati Boirin terbuat dari bambu. Letaknya di tengah perkebunan yang selalu berganti tanaman. Kalau malam, sangat sunyi. Siang pun sepi.
"Rin! Boirin!"Â
Halaman rumahnya hanya tampak ayam-ayam berkeliaran. Ada juga seekor kucing hitam peliharaan Boirin. Kucing itu sedang menikmati tidur siang di ranjang bambu yang biasanya dipakai Boirin dan aku berbincang. Aku mencoba memanggilnya lagi saat tidak ada tanda-tanda keberadaan temanku.
"Boirin! Kamu di mana!" Suaraku makin aku kencangkan. Kucing yang sedang dibuai mimpi pun terbangun olehku. Matanya dibuka dengan malas dan memandangku. Disaat aku masih saling menatap dengan kucing, tiba-tiba hidungku tersentuh oleh aroma khas makanan.
"Bukankah ini bau mi terkenal itu? Baunya seperti dari dalam rumah," gumamku.
Bau khas ini membawa rasa penasaranku untuk melangkah masuk ke rumah Boiri, tapi lewat samping rumah. Aku berjalan menelusuri jalan setapak kecil pinggir rumah, yang membatasi rumah Boirin dengan kebun jagungnya. Kakiku melangkah pelan, jangan sampai menginjak daun kering atau apa pun yang menimbulkan bunyi.
Saat mencapai dapur, aku mendengar suara.
"Rin, kamu jangan keseringan bergaul dengan lelaki itu. Badannya kotor, bau, tidak bekerja. Bisanya cuma meminta dan merepotkan orang. Kasihan Asih, dia sudah repot memasak untuk si kakak, tapi tanpa perasaan malah membuang makanan. Terkadang tidak dimakan. Padahal, kamu tahu sendiri suami Asih bekerja pagi sampai sore di sawah. Untuk menambah kebutuhan keluarga, suaminya terkadang ikut kerja di sawah orang lain," tutur Emak Boirin panjang lebar.
"Benarkah, Mak?" Boirin bertanya dalam nada tidak percaya.
"Tetangganya Asih pada cerita. Mereka mendengar dan melihat sendiri."Â
"Mmm ... kalau begitu, biar nanti Boirin yang ngomong ke Waji, Mak."
Kudengarkan mereka bercerita banyak tentangku. Sementara reaksiku hanya diam dan menyeringai.
"Memang kamu siapa, Rin? Mau ngatur aku? Berani-beraninya kamu mau kasih aku nasihat," gumamku sinis.
Aku pun beranjak pergi. Meninggalkan orang-orang yang tidak mau menerima kehadiranku.Â
"Sudah cukup banyak aku menerima nasihat. Banyak pula garam yang sudah aku telan. Muak aku mendengarnya. Buat apa menasihati aku, nasihati saja diri kalian sendiri." Aku menggerutu sangat kesal. Kutendang kerikil tak bersalah yang membuat kakiku terpeleset.
"Mengapa kalian sukanya mengusik hidupku! Apakah kalian cukup nganggur?" geramku sambil mengusap pantat yang sedikit sakit karena membentur jalan berkerikil.
"Lagian ini jalan apa, sih, kok banyak kerikilnya? Apa yang kalian lihat, hah?" Aku berteriak di tengah racauanku pada anak sekolah yang melihatku terjatuh.
"Anak sekarang, lihat orang jatuh bukannya ditolong, malah dijadikan tontonan," omelku.
"Ka-ka-kami ingin menolong Bapak, tapi keduluan Bapak yang ngomel nggak jelas," ucap salah seorang bocah perempuan. Wajahnya terlihat gugup dan ketakutan. Dia segera menarik tangan temannya dan pergi meninggalkanku yang termangu dengan ucapan bocah tadi.
"Rupanya, masih ada yang berniat baik padaku," gumamku sambil memandang dua bocah yang telah menghilang. Ada rasa penyesalan dalam hati, mengapa aku harus berteriak pada anak kecil.
"Ah, sudahlah. Kenapa juga aku harus mikir mereka?"
Aku mengelak dari rasa bersalah. Kemudian, kembali menyusuri jalan, menikmati angin yang selalu menjadi sahabatku. Embusan angin mampu membawa pergi bermacam perasaan yang sering menggangguku. Jalanan yang kulewati telah ramai, kendaraan berseliweran. Langkahku berhenti saat aku mendengar suara yang sangat kukenal.
"Kang Waji!"
Di seberang jalan, aku melihat seorang gadis cantik. Sepertinya, aku pernah mengenalnya.
Siapa dia? Wajahnya kok mirip Murni, istri pertamaku yang sudah meninggal? batinku bertanya.
Untuk mengurangi rasa penasaran, aku pun menyeberang jalan. Terdengar sebuah teriakan peringatan, tapi aku taklagi mendengar.
* * *
"Kang Waji, maafkan Asih, ya," ucap seorang wanita yang menatapku dalam deraian air mata.
Aku mencoba membuka sedikit netra yang terasa berat. Terlihat seorang wanita menangis, tanpa sanggup mengingat siapa dia.
"Kamu siapa?" gumamku.
Buliran air semakin deras terurai dari mata lebar wanita itu. Tangan kiriku meraba kepalaku yang berbalut kain. Badanku terasa sakit semua. Pandanganku menatap ke atas, terlihat ada cairan menetes, selang, dan jarum yang disuntikkan di tangan.
Terakhir dalam ingatanku adalah seorang gadis cantik berbaju putih memanggilku. Lalu aku menyeberang jalan ingin menghampiri, tapi aku merasakan tubuhku dihantam suatu benda yang sangat keras dan sekarang aku berakhir di sini.Â
Di sini, aku melihat wanita menangis beserta tubuhku berbaring di sebuah ruangan berwarna putih. Aku ingin memejamkan mata yang terasa berat. Saat mataku terpejam, terdengar sebuah alat berbunyi dan teriakan histeris wanita yang tadi mengaku bernama Asih. Kini, hanya kesunyian, kehampaan yang berteman denganku. Tidak ada lagi Slamet ataupun Boirin.
* * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H