Mohon tunggu...
Aishah Wulandari
Aishah Wulandari Mohon Tunggu... Freelancer - Writing for legacy

Belajar Belajar Belajar Instagram @aishahwulandari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Tak Lagi Lara

10 November 2021   13:23 Diperbarui: 10 November 2021   13:30 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pribadi -- Image by Canva

           

            Saat jatuh cinta datang menjemputmu, betapa bintang dan bulan terasa begitu dekat ke bumi. Namun ketika cinta menjauhimu, air mata deras menetes dan hatimu terluka laksana tubir curam.

            Hari itu, aku tiba di pantai lebih sore. Aku parkirkan motor Fino hijau di bawah pohon tabebuya. Matahari masih begitu bersemangat menampakkan cahayanya, walau sudah jam lima. Aku melangkahkan kaki menuju pantai, menikmati udara sore hari. Menikmati senja dalam sendiri. Aku selalu menyukai nuansa senja yang sendu seperti galaunya hati. Langit sore yang berpadu dengan warna oranye begitu indah untuk dipandang. Romansa sore menyentuh hari nan galau.

            Pemandangan pantai sore ini  tidak begitu ramai. Anak-anak kecil berlarian, berkejaran dengan gembira. Pantai selalu menjadi tempat yang menyenangkan buat anak-anak bermain. Ada pasir, juga air, untuk berlarian pun luas. Anak dan pantai adalah dua dunia yang tak terpisahkan, memandang bocah-bocah kecil berlepotan pasir penuh kegembiraan selalu menyenangkan.

            Aku mengambil tempat duduk di warung lesehan langganan seorang ibu tua yang berjualan bermacam makanan. Dia menyambutku dengan senyum polosnya. Seperti biasa, lesehan di pojokan  agar bisa melihat senja laut utara yang diam dan tenang. Tanpa ada deburan ombak besar, hanya ketenangan.

            Dari tempat aku duduk, terlihat seorang wanita berjilbab hitam berdiri memandang laut utara. Sering aku melihatnya sendiri menikmati senja. Aku hanya melihat dari jauh. Ibu warung pernah  bercerita bahwa wanita berkerudung hitam itu hampir tiap hari ke pantai, hanya hari tertentu saja dia absen. Pernah aku mencoba berkomunikasi dengan wanita itu, dia hanya menoleh dan berlalu. Semenjak itu, aku tidak pernah menghampirinya.

            Setelah menghangatkan tubuh dengan secangkir wedang jahe, aku menitipkan tas pada ibu warung.  Senja akan menampakkan diri, aku segera melangkah keluar dari warung lesehan. Kujejakkan kaki di hamparan pasir putih, lembutnya menyentuh kakiku yang tak beralas.

            Matahari perlahan beranjak ke peraduan, pendaran cahaya masih menyisakan warna jingga oranye. Indah sekali, aku mengangkat kamera untuk mengabadikan lukisan alam yang selalu membuat mata takjub. Tanpa kusadari, wanita berjilbab hitam berdiri di samping. Dia memperhatikan saat aku mengambil gambar. Aku tersenyum, menganggukkan kepala. Wanita itu masih menatapku, terlihat mata yang sembab. Dia tersenyum, mengulurkan tangan. Aku menjabat tangannya yang terasa dingin.

"Namaku Senja," dia memperkenalkan diri.

"Aku Ichad." Aku kembali mengambil gambar sampai warna langit berganti menjadi gelap. Wanita bernama Senja masih berada di sampingku, mengamati gerak-gerikku.

"Kamu suka sekali menikmati pantai di sore hari?" tanyaku pada Senja. Dia menganggukkan kepalanya, menatap air laut. Pelupuk matanya kembali berkaca-kaca, air mata mengalir deras di pipi mulus. Jemari putih mengusap buliran air. Aku hanya diam melihat, kuberikan tissue yang kebetulan kubawa.

"Maaf, kalau saya cengeng. Ada alasan kenapa saya selalu melihat senja di pantai ini." Dia menarik napas panjang, menghembuskannya agak keras. Kembali menatap laut, dia nikmati pemandangan pekat malam.

"Kamu tidak takut sendirian di sini?" tanyaku. Dia menggelengkan kepala, menghembuskan napas besar. Seolah ingin melepas penat di hati.

"Aku ingin melepas semua penat, sakit, kecewa atau apa pun itu namanya yang berhubungan dengan rasa sakit di hati. Semuanya berawal di sini, tersakiti di sini dan berakhir di sini juga." Senja memiringkan kepalanya padaku.

"Maaf, kalau aku jadinya curhat. Aku baru mengenalmu tapi aku sering melihatmu sejak pertama aku ke sini sendiri." Aku menganggukkan kepala, dalam diam aku menatap wajah tirusnya. Bibir yang selalu tersenyum walau hati sedang pedih. Siapa lelaki yang berani menyakiti gadis semanis ini? Bodoh sekali, pikirku. Aku tersenyum dalam hati, walaupun hatiku sama pedihnya dengan Senja.

"Aku pertama kali ke pantai ini bersama lelaki yang kusuka, dia menyatakan isi hati di sini. Kami berdua sama-sama menyukai senja, karena itulah sering ke pantai. Hari demi hari, berjalannya bulan dan mencapai satu tahun kami lalui dengan bahagia. Tanpa ada pertengkaran. Sampai suatu hari, saat kami menikmati senja ...."

Dia kembali terdiam, menatap bintang di langit. Udara yang dia hembuskan kali ini lebih besar, dia menarik  napasnya kembali. Melanjutkan cerita.

"Lalu ... datanglah seorang wanita cantik berambut panjang, menggendong seorang anak kecil. Dia menangis tersedu-sedu, mengatakan aku mengambil suaminya. Aku hanya diam, tidak bisa berkata-kata. Menurutmu, apakah aku bodoh sekali, Ichad?" 

Aku menggelengkan kepala,"Tidak, kamu tidak bodoh. Lelaki itu yang bodoh. Sudah punya istri cantik, tapi masih ingin mendapatkan kecantikan yang lain."

Pantai indah, malam bergemintang yang tak terlupakan saat itu adalah awal perbincangan indah kami. Semenjak itu, kami selalu bertemu di pantai saat senja. Walaupun tak pernah ada janji, ikatan senja membuat kami menjadi lebih akrab. Alam telah menciptakan romansa buat kami, antara aku dengan gadis bernama Senja.

"Ichad, terima kasih." Senja tersenyum indah kepadaku. Mataku memandangnya penuh tanya.

"Terima kasih telah mengembalikan senyumku. Beberapa bulan ini, aku malas tersenyum. Orang tuaku senang melihat aku tersenyum lagi. Entah mengapa, walau aku tersakiti di tempat ini tapi aku tidak mau beranjak pergi." Senja bergelayut manja di lenganku.

 "Ternyata, Tuhan mempunyai rencana yang indah untukku. Adalah Engkau, Ichad." Senja menyandarkan kepala di bahu. Tanganku membelai gadis yang perlahan telah menyelusup hati, kupasangkan sebuah cincin di jari manis tanpa Senja sadari. Senja merasakan dingin, dia angkat jemari lentiknya. Menoleh padaku, lukisan senyum indah merekah di bibir merah bersama pendaran bintang yang menghuni mata. Begitu indah saat wanita sedang jatuh cinta.

"Alam telah menciptakan romantisme buat kita. Bukan aku yang mengobati luka hatimu, tapi keinginanmu untuk tidak hanyut dalam sakit berkepanjangan yang membuatmu tersenyum lagi. Aku hanyalah perantara Tuhan, senja dan kita." Aku tersenyum pada wanita di samping, tersenyum pada bintang dan pantai indah ini.   

*  *  *

Pantai, senja dan kita adalah romansa. Mengingat masa saat Senja kehilangan cinta, saat aku meratapi kepergian calon istriku untuk selamanya.  Aku menatap langit kamar. Tuhan, terima kasih. Walau wanita di sampingku ini tidak pernah mengerti masa sulitku dalam cinta. Setidaknya sekarang kami bahagia dalam ikatan pernikahan, terima kasih telah mempertemukan kami.

            Matanya terlelap, kusentuh bulu matanya yang panjang. Kubelai rambut legam Senja yang panjang, mendekap erat wanita yang akan menemani perjalanan hidupku. Kupejamkan mataku, berucap dalam hati, terima kasih Tuhan atas segala kepedihan dan kegembiraan  yang kau berikan serta segala kemudahan dalam mengatasinya. Terima kasih Senjaku, Hasianku.


                                                                                                                       Tamat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun