Mohon tunggu...
Aisha Apta
Aisha Apta Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

saya memiliki hobi membaca dan bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tradisi Selapanan Bayi

22 September 2024   19:45 Diperbarui: 22 September 2024   19:48 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tradisi di Indonesia, memiliki ciri khasnya masing-masing dalam menyambut kelahiran bayi. Hal ini sudah turun temurun dalam masyarakat, apalagi Indonesia memang kaya akan budaya dan adat-istiadat.

Adanya selamatan atau upacara kelahiran ini, biasanya dilakukan sebagai rasa syukur. Karena setelah 9 bulan mengandung dan melewati perjuangan saat melahirkan, kini bisa melihat sang bayi dengan sehat dan selamat. Beberapa acara selamatan pun ditujukan untuk menghormati leluhur. Maka, tiap upacara ini mempunyai tata cara pelaksanaannya masing-masing. Setiap daerah pun pasti memiliki keunikannya tersendiri.

Biarpun sudah dilakukan sejak zaman dulu, ternyata masih banyak yang belum memahami seutuhnya mengenai tradisi selapanan.

Tradisi Selapanan merupakan suatu upacara atau selamatan yang diadakan ketika bayi berusia 35 hari. Jadi, acara ini diadakan usai 35 hari kelahiran bayi.

Angka 35 ini merupakan hasil dari perkalian dari 5 hari kalender Jawa (Kliwon, Pahing, Wage, Pon, Legi) serta 7 hari Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu). Nah, pada hari ke 35 ini akan didapatkan pertemuan angka kelipatan tujuh dan lima. Di hari ini pula, weton bayi akan berulang.

Tujuan dari tradisi Selapanan ini adalah sebagai pengingat bahwa bayi akan semakin bertambah lagi usianya. Di mana kehidupan si bayi akan terus berjalan. Dia pun akan mengalami banyak perubahan, baik dari segi fisik, mental, maupun spiritual. Upacara Selapanan ini pula sebenarnya sebagai bentuk ungkapan rasa syukur orang tua atas kelahiran si buah hati, karena bayi telah lahir sehat, sempurna, tanpa kurang suatu apa pun.

Pada momen ini, orang tua, saudara dan kerabat terdekat akan mendoakan segala sesuatu yang baik untuk kehidupan si kecil kelak.

Umumnya, upacara Selapanan terdiri dari berbagai rangkaian acara, mulai dari aqiqah (jika ada seseorang yang mempunyai harta cukup atau lebih maka ia dianjurkan untuk melakukan aqiqah bagi anaknya saat anak tersebut masih bayi), mencukur rambut bayi, hingga memotong kukunya. Tujuan dari pemotongan rambut dan kuku ini supaya rambut dan kuku bayi jadi benar-benar bersih. Karena, sebagian masyarakat Jawa masih percaya kalau rambut bayi baru lahir merupakan bawaan dari air ketuban. Maka dari itu, dulu kita sering mendengar anjuran agar orang tua mencukur habis rambut anaknya.

Sebelum acara Selapanan dilakukan, biasanya pada sore hari warga bersama-sama bergotong royong membuat bancakan untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kerabat dan anak-anak kecil yang ada di lingkungan rumah. Bancaan ini dibuat dengan harapan agar bayi nantinya bisa berguna, bermanfaat, dan membahagiakan masyarakat sekitar. Dalam bancaan ada menu makanan wajib yang harus ada yaitu nasi putih dan urap. Nantinya nasi putih dan urap ini akan ditempatkan dalam wadah yang disebut pincuk yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk seperti mangkok.

Lalu pada saat malam hari, saat acara Selapanan diadakan, para kerabat dan tetangga sekitar akan berdoa untuk si bayi. Setelah itu, si bayi akan digendong untuk dicukur rambutnya oleh para tetua dan kerabat yang ada disana dan dilanjutkan dengan acara selamatan.

Tradisi Selapanan merupakan cerminan bahwa manusia hendaknya memiliki hubungan erat yang harmonis dengan lingkungan masyarakat dan alam sekitar. Melalui peringatan Selapanan, orang tua dapat memperkenalkan bayinya kepada para tetangga, dan para tetangga menerima si bayi sebagai bagian dari masyarakatnya.

Oleh karena itu, kita harus terus melestarikan budaya dan adat-istiadat yang ada, jika kita tidak menjaga bahkan tidak melaksanakan tradisi ini, masyarakat Jawa akan kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudi luhur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun