Mohon tunggu...
Dyah Ayu Satiti
Dyah Ayu Satiti Mohon Tunggu... -

Saat pohon dan kodok terakhir telah hilang..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pekong Laut dan Pulau Tanjung Saleh

4 November 2013   18:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:35 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekong, diartikan sebagai tempat persembahyangan kaum Cina. Paling tidak itulah yang seringkali Saya dengar di bumi khatulistiwa ini. Pekong banyak tersebar di segala penjuru kota. Berbagai ukuran, mulai dari yang tertata di lahan luas dengan bangunan yang nampak megah, hingga yang berukuran cukup kecil seukuran kamar kos Saya. Namun kali ini yang akan Saya bahas cukup berbeda. Pekong laut. Minggu pagi yang lalu, Saya bersama seorang kawan berniat mengunjungi Pekong laut yang infonya baru Saya dapatkan beberapa hari sebelumnya. Menghilangkan kebosanan di kota, dan memenuhi hasrat untuk bertualang, perjalanan pun dimulai dengan semangkuk bubur kuah lobak seperti biasa. Kami berdua sama-sama belum pernah ke sana, jadi hanya berbekal informasi seadanya, tekad dan doa saja perjalanan di mulai. Menuju Pekong laut, Kami harus sampai dulu ke dermaga Sungai Kakap. Dari Pontianak menuju Sungai Kakap Kami tempuh dalam satu jam perjalanan. Sampai di Sungai Kakap, Kami di sambut dengan keramaian pasar yang di antaranya berdiri Pekong yang cukup besar. Namun bukan itu Pekong laut yang dimaksud. Setelah motor bisa Kami pastikan keberadaannya sementara Kami tinggalkan, Kami pun berjalan menuju pinggiran sungai di mana banyak tersedia perahu. Ternyata perahu yang bersandar pun bermacam-macam tujuannya, ada yang menuju Pekong laut, pulau Tanjung Saleh, atau hanya perahu nelayan biasa. [caption id="attachment_276045" align="alignnone" width="300" caption="Perahu menuju Pekong laut"][/caption] Kami pun mendapatkan perahu yang bisa mengantarkan Kami menuju Pekong laut. Melalui proses tawar menawar sebelumnya, Kami mendapati harga yang sekalian bisa membawa Kami jalan-jalan ke pulau Tanjung Saleh. Pelayaran pun dimulai. Sungai semakin melebar dihantarkan oleh deretan mangrove yang sepertinya hanya mengerumpun di depan saja. Di sambut dengan rumpun-rumpun bambu dan pandan yang memang sengaja ditancapkan disana membentuk huruf V yang besar, orang sana menyebutnya jermal atau jerat ikan. Rupanya rumpun-rumpun bambu dan pandan itu dilengkapi dengan jala di bawahnya tempat menampung ikan yang terseret arus saat surut melanda. Jika pasang air masuk menuju daratan sambil membawa ikan-ikan, maka saat surut ikan yang terbawa arus menuju muara akan tersangkut di jermal-jermal tersebut yang rupanya berjumlah cukup banyak di sana. [caption id="attachment_276041" align="alignnone" width="300" caption="Jermal atau Jerat Ikan di perairan muara Sungai Kakap"]

13835609371207635884
13835609371207635884
[/caption] Dibuai ombak muara yang cukup kencang, Kami mengarungi perairan ini. Di samping kanan terdapat Pulau Sing Itik yang tidak berpenghuni. Sementara sebelah kiri adalah daratan Pulau Tanjung Saleh. Perjalanan menuju Pekong laut Kami tempuh selama kurang lebih 30 menit. Dari kejauhan Pekong laut yang nampak seperti titik kecil terlihat mengapung-apung di perairan. Dan, tibalah Kami di Pekong yang berdiri di atas laut [muara sungai] tersebut. [caption id="attachment_276043" align="alignnone" width="300" caption="Pekong laut"]
138356161380510976
138356161380510976
[/caption] Kapal merapat di tepian tiang-tiang penyangga Pekong. Sebuah tangga kayu yang nampak kokoh menjadi media Kami untuk sampai di atas Pekong. Pak Pasono, pemilik perahu yang Kami tumpangi menunggu di perahunya sementara Kami "berwisata" di atas. Begitu naik, Kami mencoba untuk memutari Pekong yang tidak terlalu besar itu dari bagian belakangnya. Namun Kami urungkan karena di bagian belakang Pekong, atau bagian yang menghadap ke laut, di penuhi dengan kali pancing para pemancing yang berjejer rapi. Alhasil Kami berputar arah dan menuju bagian depan Pekong. Di sana juga ramai pengunjung. Jadi bagian belakang dan sisi kanan Pekong diisi oleh pemancing yang menghabiskan semalaman bahkan mungkin beberapa malam di sana untuk memancing. Sementara bagian kiri dan depan menjadi bagian pengunjung yang ingin menikmati Pekong. [caption id="attachment_276046" align="alignnone" width="300" caption="Bagian depan samping Pekong Laut"]
13835619151896500203
13835619151896500203
[/caption] Sayangnya, Pekong tersebut tertutup dan tidak ada seorang pun yang bisa di tanyai mengenai sejarah berdirinya. Informasi mengenai Pekong tersebut justru Kami dapatkan ketika di daratan Sungai Kakap. Menurut penuturan seorang warga, Pekong laut telah berdiri sejak tahun 1954 dan hanya ramai saat perayaan tahun baru Cina (Imlek) dan sembahyang kubur yang berlangsung dua kali setahun. Tidak berapa lama di pekong, Kami beranjak turun dan segera menuju pulau Tanjung Saleh. Namanya saja pulau, berarti merupakan daratan yang terpisah dari daratan utama. Entah di sana ada apa, Kami hanya minta untuk di antarkan ke sana saja, tanpa tujuan yang pasti. Rupanya Pak Pasono adalah orang Tanjung Saleh asli, yang pada akhirnya justru membawa Kami ke rumah beliau. Memasuki kawasan Pulau, Kami seperti digiring menuju alur sungai tersembunyi dan berkelok-kelok. Ya benar saja, untuk masuk pulau memang harus melewati jalan air tersebut di mana samping kiri kanannya tidak ada bangunan apapun. Rumpun semak dan rasau serta pepohonan yang terendam menjadi pemandangan menarik. Masih ada buaya, menurut Pak Pasono. Memanglah di sana layaknya habitat buaya seperti yang pernah Saya temui di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Agak jauh ke dalam, Kami mulai mendapati pemukiman. Kanan kiri sungai yang Kami lewati telah terisi rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu seperti rumah kebanyakan di sini. Uniknya, antar rumah dipisahkan oleh semacam parit namun cukup besar. Seakan-akan menandai bahwa satu petak yang diapit dua parit adalah tanah milik keluarga yang mendiami rumah tersebut. Untuk menyeberang, selain menggunakan perahu, juga telah di bangun jembatan kayu. Jumlah jembatan tersebut cukup banyak di sini. [caption id="attachment_276051" align="alignnone" width="300" caption="Jembatan antar daratan di pulau Tanjung Saleh"]
13835626791393856175
13835626791393856175
[/caption] Sepanjang perjalanan kami mengarungi sungai, nampak orang-orang mandi di tepian layaknya yang biasa dilakukan masyarakat di tepi sungai. Mereka mandi di tangga kecil yang memang disusun dan ditujukan untuk alasan mandi tersebut. Yang menarik lagi adalah adanya semacam garasi di tepian sungai. Garasi yang dimaksud adalah tempat menambatkan perahu yang di beri atap dan pancang dengan rapi, sehingga dapat di analogikan sebagai garasi mobil di rumah kita. Jalanan di pulau, terbuat dari susunan kayu atau geretak, yang dapat di analogikan sebagai trotoar. Anak-anak sekolah berlarian di jalanan bahkan di jembatan kayu tanpa rasa takut akan jatuh atau panas yang menyengat. Pak Pasono, juga memiliki garasi perahu di depan rumahnya. Sang istri membuka warung yang cukup besar, menyediakan sembako dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Kami di sambut hangat oleh Bu Pasono, yang menuturkan bahwa mata utama pencaharian masyarakat sekitar adalah bertani. Bertani pun dilakukan hanya setahun sekali, di ladang-ladang yang menghampar di belakang rumah mereka. Sesekali kepiting di tangkap dan dijual seharga 50.000 rupiah per ekornya. Listrik pun masih seadanya, karena hanya hidup saat malam tiba. Jika siang hari listrik tak menyala dan suasana menjadi sepi. Cocok untuk para pencari kedamaian desa. Hanya suara serangga, ombak sungai, perahu motor yang sesekali lewat atau teriakan anak-anak yang ceria. Menyenangkan.. Bu Pasono menyuguhkan mi rebus siang itu. Sembari memasak, beliau mengajak Kami mengobrol, sementara Kami sendiri disuruh memberi makan ikan-ikan di kolam terpal di belakang rumah. Rupanya pak Pasono tahu betul apa yang diinginkan orang yang sehari-hari berkutat dengan asap kota. Sehingga dengan memberi makan di kebun belakang rumah yang sangat luas saja sudah membuat Kami tersenyum senang. Setelah beristirahat shalat, Kami kembali mengobrol bersama pasangan suami istri ini. Pak Pasono menawarkan untuk ikut bersama beliau jika ingin kembali ke Sungai Kakap nanti. Kami mengiyakan, karena toh beliau juga hendak kembali mengangkut penumpang sekaligus menghantarkan rumput-rumput untuk pakan ternak di kota. Sebelum pulang, Pak Pasono memanjat pohon kelapa dan memetik beberapa buahnya untuk Kami. Sekejap es kelapa muda menjadi dessert yang menyegarkan di hari yang menyengat itu. Keramahan keluarga ini pun belum habis sampai Kami di beri bekal es kelapa muda untuk di perjalanan dan tumpangan gratis sampai ke daratan utama. Pulau Tanjung Saleh, yang mungkin tidak banyak orang yang mengenalnya. Kehidupan masyarakatnya yang biasa saja dan relatif sederhana, justru menawarkan kedamaian yang kini banyak dicari para petarung kota. [caption id="attachment_276063" align="alignnone" width="300" caption="Pulau Tanjung Saleh"]
13835638758137507
13835638758137507
[/caption] [caption id="attachment_276064" align="alignnone" width="300" caption="Perahu mengangkut penumpang dan rumput ternak"]
13835639221531548018
13835639221531548018
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun