Mohon tunggu...
Aisah Latif Mawarni
Aisah Latif Mawarni Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Akuntansi Universitas Negeri Yogyakarta

Saya Aisah Latif Mawarni, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Selamat Membaca Email : aisahlatifma.aksigk21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Era Disrupsi? Akankah Startup Mampu Bertahan?

5 Juni 2022   20:00 Diperbarui: 13 Juli 2022   10:58 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://id.techinasia.com/

Dalam beberapa hari terakhir, ramai diperbincangkan mengenai fenomena “Bubble Burst” yang terjadi pada usaha rintisan atau startup. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya eskalasi cepat pada nilai pasar, terutama pada harga aset. Inflasi yang terjadi begitu cepat diikuti dengan penurunan nilai yang cepat atau kontraksi, yang disebut sebagai ledakan gelembung atau “Bubble Burst”

Fenomena ini memicu adanya kemunduran pada startup, menjadi penyebab terjadi nya PHK massal hingga krisis keuangan dan penurunan kinerja di sejumlah startup di Indonesia. Bahkan minimnya talent di industri ini, dan maraknya pembajakan personil menjadi tantangan terbesar startup.

 Sebagaimana diketahui, startup muncul membawa semangat baru dengan terobosan pasar layanan bagi konsumen. Lagi-lagi, soal digitalisasi dengan bisnis perputaran nilai uang juga investasi yang menggiurkan.

Namun seringkali berujung pada terjadinya disrupsi (gangguan) terhadap tata bangunan industri yang sudah mapan. Eforia membangun bisnis memang sedang merambah pada alam pikir generasi muda, remaja milenial yang tertarik untuk berkecimpung di dunia bisnis, bekerja di startup atau bahkan membuka terobosan perusahaan startup dengan ide yang mereka punya ketimbang menjadi CPNS atau bekerja di BUMN sekalipun.

Bagaimana tidak? bekerja di startup kini menjadi idaman para fresh graduate atau kaum muda milenial, Mulai dari budaya kerja nya yang terbilang “fun atau “anak muda banget” ditambah jam kerja yang cukup fleksibel, fasilitas yang memadai, pakaian ngantor yang fashionable, juga bisa kerja secara remote,belum lagi dengan gaji yang diatas rata rata telah sukses menjadi daya tarik tersendiri, yang amat relatable dengan generasi muda.

Jadi apa lagi? tinggal kita pintar-pintar mencari suntikan dana, menggaet investor dan tak lupa sering-sering tampil di awak media, ikut pameran dan kompetisi atau jadi pembicara seminar bisnis ternama. 

Mengiurkan bukan? Sampai sampai, CPNS yang banyak dibilang sebagai profesi “Idaman mertua” tak terdengar lagi gaungnya. Jaminan kesejahteraan masyarakat serta gaji pokok yang diberikan, tak dapat lagi jadi iming-iming, akibat terjadinya remunerasi upah dalam dunia pekerjaan. 

Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya ribuan PNS yang mengundurkan diri secara berjamaah, karena gaji dan tunjangan nya yang dianggap tak sesuai dengan harapan, belum lagi gaji yang diatas rata-rata pada startup pun perlu disadari telah menanamkan pikiran “demanding" pada diri para pencari kerja. 

Alih-alih saking demandingnya, yang awal nya BUMN menjadi angin segar idaman untuk para fresh graduate dengan reputasi gaji nya yang mumpuni. kini, bukan hal baru lagi jika fresh graduate berani menolak tawaran gaji perusahaan pelat merah, melihat perbandingan gaji di perusahaan startup yang cukup signifikan.

STARTUP.. Dilihat dari namanya saja, terdengar penuh kemodernisasian, namun tak semudah yang kita tau, kestabilan keuangan usaha rintisan ini dirasa belumlah cukup kuat, menciptakannya pun tak terdengar mudah. Meskipun punya banyak ide menarik, tapi tidak ada suntikan dana? ya, tentu sulit untuk bertahan bukan?

Terlebih lagi, dalam situasi masih serba tidak pasti seperti sekarang, mungkin untuk pecinta tantangan, bekerja di startup merupakan hal yang menantang mental pengusahanya, namun kebanyakan orang jelas akan memilih hal yang sudah pasti, seperti gaji tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tabungan darurat, Mungkin inilah yang membuat usaha rintisan perlu dipertimbangkan, belum lagi kembang kempis nya yang masih sering terjadi, meski dengan melimpahnya suntikan dana dari investor sekalipun.

Bagaimana dengan budaya kerja dan jam kerja yang fleksibel? tentunya ini tak di temui di pekerja kantoran, lebih-lebih kantor resmi seperti BUMN atau bahkan PNS yang bekerja untuk negara. Kesenangan dan kefleksibilitasan ini sepertinya hanyalah permainan saja, tekanan dan kinerja lembur seringkali dilakukan hanya untuk mengikuti arus dengan biaya sendiri, juga dengan mengabaikan aturan-aturan ketenagakerjaan. Alih-alih dengan alasan “demi membangun image positif perusahaan”.

Ironisnya, disaat perusahaan lain tengah menjaga kestabilan keuangan dengan membatasi jam lembur dan bekerja secara efektif, perusahaan rintisan ini justru lembur hampir tiap hari tanpa ada upah lembur. Dengan kerja lembur seperti itu, tidak layak untuk dikategorikan keefektifan dalam bekerja, malah jadi bumerang kesehatan jangka panjang para pekerja. 

Bahkan terkadang karyawan harus merelakan jam istirahat jika masih ada pekerjaan yang belum selesai, budaya hustle culture ini memang menumbuhkan semangat positif generasi muda untuk mendapatkan apa yang ingin dicapai, namun disisi lain, kelelahan hingga berakhir pada depresi dan penyakit perenggut nyawa bisa saja menyerang kapan saja karna lebih mementingkan pekerjaanya hingga lupa dengan pentingnya memperhtikan kesehatannya.           

Belum lagi, ketika suntikan dana dari investor digunakan untuk hal-hal yang kurang produktif, yang malah membuat para pegawai nya jadi konsumtif. 

Apa boleh buat, dalam kondisi normal, mungkin semua akan baik-baik saja, namun ketika suntikannya macet, gelembung valuasi akan kembali meledak. Lagipula, suntikan investor bukanlah kasih ibu yang “ memberi tak harap kembali” kurang lebih sebenarnya itu adalah hutang perusahaan dengan bunga yang harus dibayar. 

Di masa Pandemi seperti ini, krisis memang lumrah terjadi, apalagi di perusahaan yang siklus keuangannya tidak stabil.         

Sampai-sampai pemilik perusahaan besar terpaksa melakukan berbagai efesiensi, anggaran mereka blanding, bahkan rela tidak meneria gaji untuk sementara meski di masa krisis, disrupsi ekonomi seperti saat ini, tidak sedikit penumbalan terjadi, demi menjaga kelanjutan nasib para pekerja di level bawah, dengan pemecatan karyawan besar-besaran guna menggurangi beban gaji yang ada. Goncangan keuangan yang tak lagi mempu menopang aksi bakar uang yang bombastis, hingga kondisi makro lainnya seperti suku bunga investasi yang sedang tidak bersahabat.

Terlebih lagi, saat perusahaan besar menjadikan PHK sebagai opsi terakhir, perusahaan rintihan justru menjadikannya sebagai opsi pertama. 

Nyatannya, suntikan dana hanyalah sebagai pengembung isi perusahaan, bahkan hanya untuk mengayomi budaya konsumtif para pekerjanya. Dengan mudahnnya, usaha yang dibangun mulai ambruk tak karuan, akibat tak lagi ada sumber dana yang bisa diandalkan. kurangnnya pertimbangan dan strategi yang tepat dalam menyeimbangkan keuangan.

Disisi lain, dapat dilihat pula, para pemilik startup tengah berusaha mempertahankan bisnis dengan berbagai strategi yang mereka punya, diantaranya adalah penghematan, penghematan yang kembali merencanakan apa yang tersisa, entah dana, karyawan, kepercayaan, hingga investor yang ada.

Belakangan ini biasa digunakan adalah penghematan dana melalui pengurangan upah kerja atau menyesuaikan upah yang ada dengan jumlah karyawan yang tersisa. 

Sistem kerja nya pun, yang terbilang fleksibel, hanyalah kamuflase semata, sampai sampai harus memberikan tugas rangkap pada karyawan walaupun dengan gaji yang seperti biasanya. 

Bahkan dengan tugas rangkap seringkali masih juga terjadi tumpang tindih, yang mau tidak mau perlu karyawan tambahan. Rekrutmen tenaga magang kini jadi solusi nya.

Namannya juga tenaga magang, tentu upahnya pun standar dengan pekerja magang, namun tak jarang dijumpai kasus perusahaan yang membebankan pekerjaan layaknnya pekerja tetap pada tenaga magang. Contohnnya beberapa waktu lalu, sempat ada usaha rintisan di Indonesia yang mempekerjakan tenaga magang dengan sistem seperti ini.

Benar saja, atas nama berhemat, tapi ironisnya langkah ekstrim penuh kemunduran pikir ini bisa-bisanya diambil, menerapkan sistem “kerja rodi” pada era seperti saat ini, ditambah adanya krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19. 

Konsep dan cara kerjannya mungkin bergandengan dengan kemoderenisasian, tapi mentalnya justru mengadopsi mentalitas era VOC yang sudah bubar sejak tahun 1799, akibat korupsi dan salah urus.

Situasi disrupsi akibat pandemi seperti saat ini, memang menjadi fenomena bahkan pukulan berat untuk para pelaku usaha dan para karyawan yang terdampak, rasa prihatin jelas ada, namun faktanya masih banyak pelaku usaha yang berlaku tragis dan menerapkan konsep-konsep yang membawa pada kemunduran pikir dan lunturnya karakter sosial. 

Perlu disadari oleh para pelaku usaha bahwa pentingnya aturan ketenagakerjaan juga strategi perputaran uang untuk menunjang peningkatan profit dalam berjalannya bisnis, bukan untuk sekedar pencitraan saja, atau untuk bermain-main dengan suntikan dana yang akhirnya tak ada simpanan dana darurat, yang kalau sudah krisis, mau tidak mau harus memulainya dari bawah lagi.

 Apabila ini disadari dan dilakukan secara benar oleh para perintis usaha dengan segala persiapan yang matang dan konsep yang konsisten dan bertanggung jawab, bukan hal yang mustahil usaha rintisan akan terus bertahan meskipun di era disrupsi seperti saat ini.

Referensi : 

Yose Revela. 2022. Start Up, Produk Disrupsi yang Terdisrupsi dalam https://www.kompasiana.com/yoserevela/6295a7c0bb4486070621fc02/start-up-produk-disrupsi-yang-terdisrupsi/ diunduh pada jumat, 05 Juni 2022

https://www.jurnal.id/id/blog/9-strategi-efektif-yang-membuat-bisnis-startup-bertahan/

https://glints.com/id/lowongan/plus-minus-bekerja-di-startup/indihome

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun