Â
Minangkabau adalah salah satu suku yang memiliki keragaman budaya adat istiadat yang masih tetap terjaga sampai sekarang. Salah satunya Kota Pariaman yang masih tetap kental akan adat istiadatnya. Selain upacara tabuik, Pariaman memiliki adat pernikahan yang sangat unik bernama adat Bajampuik. Adat bajampuik ini dilakukan oleh keluarga pihak perempuan untuk menjemput pihak lelaki dengan uang japuik sebelum melangsungkan pernikahan.
Hasan Basri KR salah satu sesepuh Desa Sungai Pasak, Kota Pariaman menuturkan bahwa pernikahan dimulai dengan silahturahmi melakukan perkenalan kedua belah pihak. Perkenalan dilakukan dengan keluarga  mempelai perempuan menyampaikan tujuan mereka datang, bak pepatah minang mengatakan :
Tujuan baiak ka di tampuah, jalan ancak ka dijalankan,
kok dapek nan rancak ko ka dipacapek,
beko takuik tajadi nan buruak.
 Hal tersebut memiliki makna jika sudah ada kecocokan antara kedua mempelai maka dapat dilaksanakan timbang tando (pertunangan).
Timbang tando (tukar cincin) atau pertunangan dapat diartikan bahwa mamak dengan mamak sudah menikah menurut perjanjian. Sebelum melaksanakan timbang tando, keluarga kedua mempelai berkabar ke mamak murai, yaitu menentukan tanggal, hari dan bulan pernikahan, tak lupa mengabari mamak nagari perihal pernikahan ini dengan mengantarkan sirih sekapur. Guna sirih sekapur ini untuk ke mamak nagari.
Setelah mengabari mamak nagari, lalu ada undangan kepada masyarakat sekitar. Undangan ini bernama kampir yang terdiri atas lima elemen, yaitu sirih, kapur, sento, pinang dan gambir yang dibungkus dalam satu tas. Makna lima perlengkapan dalam undangan ini adalah sholat lima waktu yang harus dikerjakan.
Sebelum menyebarluaskan undangan pernikahan  ke masyarakat, keluarga harus melihat Anak Kemenakan terlebih dahulu, agar bisa menentukan siapa saja yang akan diundang dalam pernikahan tersebut. Tak lupa dengan membawa sirih yang lengkap (kampir). Sirih dilambangkan sebagai adat yang harus dipatuhi. Bak pepatah Minangkabau mengatakan:
Siriah ka dicabiak,pinang ka digatok,
sadah ka dibali, seto ka dijujuak,
gambia ka dipipia.
Pepatah diatas memiliki makna, kelima elemen tersebut merupakan lima bersaudara, yang terdiri atas Kapalo Koto, Niniak Mamak, dan lain sebagainya.
Tradisi menggunakan kampir sebagai undangan kota Pariaman dilatar belakangi dari pertemuan dari beberapa niniak mamak, kedudukan niniak mamak sangatlah tinggi di Minangkabau, yaitu sebagai pemimpin suatu desa, pertemuan dihadiri tujuh suku, yaitu suku caniago, suku tanjuang, suku  piliang, suku sikumbang, suku jambak dan lain sebagainya, ditambah dengan kehadiran kapalo koto. Bak pepatah Minangkabau mengatakan :
Lain ladang, lain balalang, lain lubuak lain ikannyo.
Pepatah diatas memiliki makna setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda, namun, memiliki tujuan yang sama. Pertemuan antar suku dan bermusyawarah mengenai adat, diterapkanlah beberapa adat yang harus dipatuhi dan diterapkan sampai sekarang. Salah satunya undangan memakai kampir ini, sebagai masyarakat Minangkabau yang memeluk  agama islam yang kuat, masyarakat Minangkabau dilarang untuk menikah dengan beda agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H