Mohon tunggu...
Panji Arimurti
Panji Arimurti Mohon Tunggu... Lainnya - Britpop's lover

Britpop's lover

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Ada Kisah-kisah Pak Soleh Lainnya

3 Januari 2016   23:36 Diperbarui: 4 Januari 2016   14:13 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pak Soleh Foto: Arsip Dewi Rachmayani, Kompas.com"][/caption] SEPTEMBER 2015 lalu, jagat maya di tanah air ramai membicarakan sosok tukang ojek tua yang biasa menunggu penumpang di daerah Palmerah, Jakarta Barat.

Pak Soleh, nama tukang ojek tersebut, menjadi perbincangan  setelah kisahnya diangkat ke sosial media oleh Dewi Rachmayani, seorang karyawati di Jakarta yang memakai jasanya.  Kisah Pak Soleh yang disebar oleh Dewi ini kemudian menjadi viral karena menggugah hati bagi siapapun.

Jadi diceritakan, kakek 65 tahun tersebut mempunyai cara yang sangat berbeda dalam menentukan tarif jasa ojeknya. Jika kebanyakan tukang ojek memasang tarif yang sangat mahal bagi calon penumpang, Pak Soleh ini justru memasang tarif seikhlasnya kepada penumpang yang memakai jasanya.

Kisah Pak Soleh pun kemudian diliput sejumlah media, baik cetak maupun elektronik. Kepada Kompas TV, dalam sebuah wawancara, Kakek bernama lengkap Sustiarno Soleh ini menceritakan bagaimana awal kisahnya menjadi tukang ojek.

Setelah usaha toko kacanya bangkrut pada tahun 1995, pak Soleh memulai profesinya sebagai tukang ojek. Profesi ini dilakoninya untuk menyambung hidup, karena tuntutan untuk menafkahi keluarga. Dengan bermodalkan sebuah sepeda motor, pak Soleh mengais rezeki dengan mengantar penumpang di jalanan Ibu Kota.

Banyak suka duka yang telah dia alami selama menjalani profesinya tersebut. Mulai dari tidak dibayar, ditipu penumpang, hingga kehilangan sepeda motor yang menjadi modal mata pencahariannya tersebut.

Namun semuanya itu tidak ia keluhkan, dan diterimanya dengan ikhlas. Baginya, mampu menafkahi keluarga hingga anak-anaknya besar sudah lebih dari cukup. Dan inilah yang kemudian membuatnya terus menjadi tukang ojek,  meski usianya sudah tidak muda lagi.

Jarak dari tempat tinggalnya di Sawangan, Depok ke tempat mangkalnya di daerah Palmerah, Jakarta Barat, yang harus dilaluinya setiap pagi, tidak menjadi halangan bagi kakek 9 cucu tersebut.

Meski keempat anaknya sudah bisa membantu, pak Soleh tetap tidak mau memberatkan mereka. Dirinya mengaku tidak mau tergantung. "Selama masih mampu, akan tetap dilakukan," katanya.

Formal dan Informal
Banyak hal yang dapat dipetik dari kisah pak Soleh ini. Selain tentang dahsyatnya kekuatan sosial media yang bisa membuat semua orang tergerak untuk membantu pak Soleh, ada hal lain yang bisa dipetik menjadi pelajaran, yaitu bagaimana pentingnya suatu jaminan di masa tua bagi pekerja-pekerja informal, seperti pak Soleh ini.

Nasib pak Soleh kini memang sedikit terbantu karena setelah kisahnya diangkat oleh media, banyak panggilan telepon dari orang-orang yang ingin memakai jasa ojeknya. Namun, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan pak Soleh akan terus menekuni profesinya tersebut. Sementara kebutuhan hidup akan terus berjalan.

Profesi tukang ojek seperti yang dilakoni pak Soleh ini memang salah satu profesi di sektor informal. Dan bekerja di sektor informal memang harus menyiapkan resiko dalam berbagai hal.

Berbagai resiko tersebut antara lain, tidak adanya aspek perlindungan sosial, seperti upah minimum, upah lembur, jaminan kecelakaan, jaminan kematian, jaminan hari tua, uang pesangon, cuti, dan pensiun. Dan resiko-resiko tersebut menyebabkan para pekerja di sektor informal hidup dalam ketidakpastian.

Resiko-resiko tersebut tentu tidak akan kita temukan kepada orang-orang yang bekerja di sektor formal. Para pekerja di sektor formal sudah pasti akan mendapatkan upah, baik upah bulanan maupun upah lembur, cuti, pensiun, dan sejumlah jaminan sosial lainnya dari perusahaan tempat mereka bekerja. Bahkan, para pekerja di sektor formal masih dapat bernegosiasi soal upah minimum mereka.

Dan di saat para pekerja di sektor formal berdemonstrasi menuntut penaikan upah minimum dan perbaikan nasib, para pekerja di sektor informal hanya bisa menjadi penonton saja, karena mereka tidak mungkin melakukan hal yang sama.

Memang, pekerjaan di sektor informal di Indonesia masih lebih banyak dibanding sektor formal. Hal ini disebabkan karena belum mampunya pemerintah menciptakan kesempatan kerja formal yang memadai.

Berdasarkan data BPS, pada Agustus 2015, ada sekitar 57,76 persen penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal. Artinya, masih banyak Para pekerja di sektor ini umumnya cenderung tidak stabil dan rentan terperangkap dalam pengangguran serta kemiskinan.

Hal ini disebabkan karena masih rendahnya kualitas angkatan kerja di Indonesia. Berdasarkan data BPS, Februari 2015, penduduk bekerja masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD ke bawah, yakni sebesar 45,19 persen. Sementara penduduk bekerja dengan pendidikan Sarjana ke atas hanya sebesar 8,29 persen.

BPJS Ketenagakerjaan Sebagai Solusi
Di saat pemerintah belum mampu menyediakan kesempatan kerja di bidang formal, dan masih rendahnya kualitas angkatan kerja di Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan hadir menjadi sebuah solusi.

Diluncurkan pemerintah pada 1 Juli 2015, BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi dari PT Jamsostek (persero) seperti menjadi jawaban dari permasalahan para pekerja, terutama pekerja di sektor informal.

Resiko-resiko yang selama ini menghantui para pekerja di sektor informal menjadi sangat mungkin bisa dihilangkan dengan hadirnya BPJS ketenagakerjaan.

Hal ini disebabkan karena BPJS Ketenagakerjaan memuat berbagai program jaminan sosial seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JK), serta program Jaminan Pensiun (JP) bagi mereka.

Jika dahulu aspek perlindungan sosial seperti upah minimum, uang pesangon, dan uang pensiun menjadi hal yang mustahil bagi para pekerja di sektor informal, kini dengan hadirnya BPJS Ketenagakerjaan hal tersebut menjadi mungkin dilakukan.

Apalagi, jika mengingat kesejahteraan pekerja di sektor informal sangat tergantung dengan sejauh mana mereka bisa bekerja. Maka resiko-resiko seperti kematian, kecelakaan kerja, usia tua, akan sangat berakibat fatal bagi pekerja di sektor informal. Sebagai contohnya adalah para nelayan. Seperti diketahui, resiko yang harus dihadapi para nelayan selama melaut sangatlah besar. Dan resiko tersebut bisa kapanpun mengintai mereka. 

Atau contoh mudahnya adalah seperti kisah pak Soleh. Di usianya saat ini yaitu 65 tahun, dia masih mampu mengais rezeki sebagai tukang ojek. Tapi akan menjadi pertanyaan, bagaimana kedepannya nanti, di saat usianya terus bertambah dan kondisi fisiknya menurun. Dari mana lagi dia akan mencari nafkah.

Contoh BPJS Ketenagakerjaan sebagai Solusi
Heru, seorang karyawan swasta di bilangan Jakarta Barat, menjadi salah satu pekerja formal yang tekah merasakan manfaat dari BPJS ketenagakerjaan.

Pada 2012, pria 35 tahun ini telah membeli rumah di daerah Bogor dengan cara KPR. Padahal, saat memutuskan membeli rumah waktu itu, dia sama sekali tidak memiliki uang untuk membayar uang muka.

Setelah mendapat informasi tentang program pinjaman uang muka rumah yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan, Heru kemudian mengurusnya dan dia mendapatkan pinjaman sebesar 20 juta rupiah. Dan dengan sejumlah uang tabungan yang dimilikinya, Heru kemudian melakukan akad kredit dengan pihak Bank dan mendapatkan rumah idamannya yang telah 3 tahun ini ditempatinya.

"Kalau tidak ada pinjaman dari Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan), mungkin sampai sekarang saya belum bisa memiliki rumah," demikian tutur Heru.

Cerita Heru ini mungkin tidak akan didapati oleh pekerja-pekerja di bidang informal yang ingin memilik rumah namun tidak mempunyai uang muka.

Tantangan
Hingga Oktober 2015, BPJS Ketenagakerjaan mencatat ada 19,034 juta tenaga kerja baik formal maupun informal yang menjadi peserta. Sementara dari perusahaan aktif, ada 275.888 orang yang menjadi peserta. Padahal menurut catatan BPJS  Ketenagakerjaan, ada 120 juta orang tenaga kerja di Indonesia saat ini. Dan jumlah 23 juta peserta pun menjadi target yang ingin dicapai BPJS Ketenagakerjaan pada 2016.

Memang, banyak tantangan yang harus dihadapi BPJS Ketenagakerjaan untuk memenuhi target tersebut. Dan tantangan yang paling utama ialah mengubah pola pikir, baik dari kalangan masyarakat pekerja maupun pemberi kerja.

Bagi para pemberi kerja, masih enggannya mereka menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, disebabkan  karena mereka beranggapan membayar iuran adalah sebagai beban.

Sementara bagi para pekerja, terutama di sektor informal, kondisi ekonomi yang tidak merata menjadi belum memungkinkan bagi mereka untuk menyisihkan penghasilan secara sukarela demi membayar iuran. Dan jaminan sosial pun dianggap oleh mereka masih belum menjadi suatu kebutuhan.

Padahal jika melihat manfaatnya, jaminan sosial yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan sangatlah penting bagi para pekerja, agar mereka mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupan, bahkan di saat pensiun nanti.

Dan memberi kesadaran kepada mereka mengenai pentingnya jaminan sosial bagi kehidupan, menjadi hal yang utama hal yang harus dilakukan oleh pemerintah.  

Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah adalah memberikan 10.000 kartu BPJS Ketenagakerjaan kepada nelayan-nelayan di berbagai daerah di Indonesia.  Dengan promo gratis iuran untuk 6 bulan pertama, dan cicilan iuran sebesar Rp 16.800 secara mandiri per bulan, pemerintah berharap akan banyak pekerja di sektor informal seperti nelayan yang akan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Dan melalui sosialisasi-sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah, perubahan pola pikir tersebut diyakini akan terwujud.

Negara Hadir
Memberikan rasa aman dan nyaman kepada warga memang sudah menjadi tugas Negara. Dan membuka lapangan pekerjaan merupakan salah satu bukti negara telah memberikan rasa aman kepada warga terutama di sektor ketenagakerjaan.

Memang harus diakui, masih banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam memenuhi rasa aman tersebut. Namun dengan hadirnya BPJS Ketenagakerjaan, setidaknya pemerintah telah menunjukkan kalau negara telah hadir untuk para pekerja.

Dan, dengan hadirnya BPJS Ketenagakerjaan, rasa keadilan mengenai kesejahteraan yang sangat lebar bagi pekerja di sektor informal dan sektor formal diharapkan dapat dihilangkan. Sehingga tidak akan ditemukan lagi kisah-kisah seperti pak Soleh.

[caption caption="Kartu Jamsostek, di mana sejak 2007 saya menjadi pesertanya. Foto: Dok. Pribadi"]

[/caption]

 

[caption caption="Dengan aplikasi BPJS Ketenagakerjaan di Smartphone, saya bisa melihat saldo JHT saya. Foto: Dok.Pribadi"]

[/caption]

Referensi

1. http://industri.bisnis.com/read/20151105/12/489369/jumlah-pekerja-formal-bertambah-sekitar-19-juta-orang
2. http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/04/2141021/Berharap.agar.Tukang.Ojek.seperti.Pak.Soleh.Tidak.Kalah.Bersaing
3. http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/04/16290891/Pak.Soleh.Pengojek.Tua.yang.Mau.Diberi.Upah.Seikhlasnya
4. http://www.bps.go.id/brs/view/id/1139
5. http://finance.detik.com/read/2015/12/04/121918/3087859/4/jaring-23-juta-peserta-di-2016-bpjs-ketenagakerjaan-fokus-pekerja-informal
6. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/18/090414826/Tahun.Depan.BPJS.Ketenagakerjaan.Targetkan.Sejuta.Nelayan.Jadi.Anggota

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun