"Doni semalam mimpi didatangi kuntilanak. Katanya penunggu kebun di belakang rumah tua itu," kata Ade dengan wajah penuh cemas. Maklum, dia salah satu anak yang ikut mencuri tebu di kebun belakang rumah Pak Firman, pensiunan pegawai negeri yang sudah lama pindah dari kampung kami.
"Sama, saya juga. Semalam saya mimpi didatangi wanita berambut panjang, dia datang dari kebun Pak Firman. Kata Ibu saya, itu kuntilanak," sahut Yudi juga dengan wajah ketakutan.
"Sepertinya, kita semua bakalan didatangi kuntilanak nih," ujar Ade.
Rumah yang ditinggalkan Pak Firman tujuh tahun lalu itu sebagian besar kondisinya memang sudah rusak. Atapnya sudah keropos dan banyak yang bolong. Rumput liar sudah menutupi halaman. Batang pohon alpukat yang berada di kebun sudah melewati rumah Pak Syaiful di sebelahnya. Ulat-ulat bulu di pohon itu kerap jatuh ke atap rumah Pak Syaiful dan masuk ke kamar anaknya. Kalau malam hari, hanya bohlam ukuran lima watt yang menjadi penerang.
Semenjak Pak Firman pindah ke rumah anaknya setelah sang istri meninggal dunia, rumah tersebut tidak terurus. Pernah satu kali anaknya datang mengukur luas rumah tersebut, katanya mau dijual. Tapi kemudian tidak ada kabarnya lagi.
Rumah tersebut terletak di jalan utama kampung kami. Bagi siapapun yang akan pergi, baik ke kantor, sekolah, ataupun masjid, pasti melewati rumah tersebut. Karena tidak terurus, rumah tersebut menjadi terlihat angker.
Untung saat ini bulan Ramadhan. Jadi kalau malam hari suasana ramai, karena banyak warga yang pergi taraweh. Sehingga tidak ada perasaan takut kalau melewatinya.Tapi jika bukan bulan Ramadhan, banyak warga yang takut jika melewati rumah Pak Firman. Mereka mengaku bulu kuduknya berdiri jika berjalan di depan rumah tua tersebut.
"Terus kita harus bagaimana dong? Doni nanti malam sudah nggak mau taraweh lagi. Takut katanya," kata Ade.
"Saya juga jadi takut nih. Saya kan juga ikut mengangkat tebu curian itu," sahut Anton.
"Kalau saya mau lapor Bapak saja. Dia punya bacaan-bacaan yang bisa mengusir setan," kata Yudi sambil menyembunyikan ketakutannya.
"Kalau kamu bagaimana Zal?", tanya Ade kepada saya. "Saya mau cerita dulu ke Ibu saya. Tapi Insya Allah nanti saya taraweh," jawab saya.
Kamipun kemudian berpisah pulang ke rumah masing-masing. Meski kami sudah duduk di bangku SMP, tetap saja cerita Ade tadi membuat kami ketakutan. Saya yang ikut menjaga di luar pagar rumah Pak Firman pun ikut khawatir. Saya takut akan mendapat giliran didatangi kuntilanak di dalam mimpi.
Sambil bergegas pulang ke rumah, ketakutan-ketakutan tersebut terus menghantui saya. Bayangan segarnya es kolang-kaling yang dibuat Ibu tadi siang tidak lagi membuat saya bernafsu untuk menunggu waktu berbuka.
-------
"Kamu nggak siap-siap taraweh ke masjid Zal?", tanya Ibu kepada saya. "Bapakmu udah jalan tuh sama Pak Naryo."
"Kepala saya pusing Bu. Nanti mau taraweh di rumah saja," jawab saya.
Ibu yang paling tahu kalau saya sedang mempunyai masalah langsung menatap saya. "Ada apa Rizal? ayo cerita," tanyanya dengan suara lembut.
Sebagai anak yang sangat dekat ke Ibu, saya akhirnya berkata jujur. "Saya takut Bu. Teman-teman didatangi kuntilanak di mimpi mereka, karena mencuri tebu di kebun belakang rumah Pak Firman."
"Loh kenapa takut memang kamu ikut mencuri tebu?", tanya Ibu masih dengan suara yang lembut.
"Tidak Bu. Saya cuma ikut menjaga di luar pagar. Mengawasi kalau-kalau ada orang lewat. Tapi saya takut karena saya juga ikut terlibat," jawab saya sambil menunduk.
"Bagus kalau kamu takut, itu tandanya kamu merasa bersalah," jawab Ibu sambil tersenyum.
Jahitan baju pelanggan yang sedang dipasang kancing pun diletakkannya. Sambil mengusap kepala saya, Ibu kemudian berbicara.
"Mimpi-mimpi itu sebenarnya hanya cara Allah untuk mengingatkan kalau kalian telah berbuat salah. Apapun alasannya, mencuri itu salah. Apalagi di bulan puasa ini," kata Ibu dengan sabar.
"Coba kalau kalian tidak dihantui mimpi-mimpi seram itu, pasti kalian tidak merasa takut dan bersalah karena mencuri milik orang lain."
"Nanti kamu bilang ke teman-teman untuk mengembalikan tebu curian kalian ke kebun Pak Firman lagi ya," saran Ibu sambil tersenyum.
"Iya Bu," jawab saya sambil tetap menunduk.
"Sekarang kamu berangkat taraweh. Baca doa selamat. Ibu yakin melalui permasalahan ini, Allah membuktikan kalau dia sayang kamu dan juga teman-teman kamu."
Seperti ada energi keberanian yang masuk ke tubuh, saya langsung mengambil sarung dan kopiah lalu bergegas ke masjid.
Dan aneh. Saat melintas di depan rumah Pak Firman, tidak ada rasa takut sedikitpun di diri saya. Bahkan saya berani berdiri sejenak di depan pagarnya untuk mengamati suasana rumah tersebut. Mata saya mencari-cari apa benar ada kuntilanak penunggu kebun ini.
Selepas taraweh, saya berjalan pulang bersama Bapak dan juga Pak Nana ketua RT. Sebenarnya, tanpa bersama mereka pun, saya berani pulang sendiri. Tapi karena teman-teman tidak ada yang taraweh, saya ikut pulang bersama mereka.
"Tadi anak bungsu Pak Firman datang ke rumah saya," kata Pak RT. "Mereka bilang akan merenovasi rumah tersebut sehabis lebaran. Mau ditempati katanya."
Saya pun berguman “Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Ibu."
Â
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H