Ya.
Tapi bukankah kita bisa belajar dari manapun. Dari siapapun. Dan dari peristiwa apapun? Setidaknya, bagi saya pribadi, Film itu—terlepas dari kelemahan dan kekurangannya—sudah banyak memberikan pelajaran tentang hidup saat menapak di awal tahun 2012.
Sungguh, saya sedikit merasa malu pada Delisa. Saya yang selama ini merasa sudah dewasa, nyatanya masih banyak mengeluh, meratapi nasib, nyaris putus asa, merasa paling tidak beruntung, dan terlalu banyak meminta pada Tuhan. Padahal saya bukan tidak tahu bahwa Allah itu pasti selalu memberikan hal yang terbaik bagi hambaNYA. Memberikan apa yang dibutuhkan, bukan apa yang diinginkan oleh hambaNYA. Allah juga tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan seorang hambaNYA. Tapi dasar saya memang seorang yang barangkali kurang tabah,, ya,,, jadilah saya seorang Avan yang seringkali meratap-ratapi nasib karena tak seindah yang diinginkan. (Ah,,, semoga saudara-saudara yang sempat membaca catatan ini memiliki hati yang elok dan tidak seperti saya yang sangat lemah iman ini)
Sekarang, kisah Delisa seolah menampar kesadaran saya yang seringkali Alpa. Barangkali, selama ini saya kurang banyak bersyukur. Terlalu mengedepankan perasaan yang sentimentil dan mewek-mewek. Padahal saya juga sudah sering melafazkan “Fabi_ay ala irobbikuma tukadz_dziban”. Tapi,,, kok bisa-bisanya sering mengabaikan maknanya ya? Sekali lagi, karena saya terlalu lemah iman. Titik!
(Astaghfirullahal adzim,,, Astaghfirullahal adzim,,, Astaghfirullahal adzim,,,)
***
wallahu a'lam bish_shawab
Sumenep, 2 Januari 2012
[1] Nama salah satu sungai di Desa Batuputih Sumenep
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H