Pernahkah kamu mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)? Baik secara fisik, psikologis, seksual, maupun penelantaran ketika sudah berumah tangga? Tak perlu menjawab langsung, coba jujur pada diri sendiri dahulu.
Kasus KDRT kini makin marak. Salah satu kasus yang menyita sorotan publik yaitu kasus KDRT yang dialami Cut Intan Nabila, salah seorang selebgram asal Indonesia. Tersangka KDRT merupakan suami korban bernama Armor Toreador.
Dari keterangan Kompas.com (16/08/2024), Cut Intan mengaku selama ini bertahan demi anak. Kapolres Bogor AKBP Rio Wahyu Anggoro menyampaikan hasil visum yang dikeluarkan salah satu dokter rumah sakit di Cibinong, korban terbukti menunjukkan adanya luka cakar dan benjol di sekujur tubuh. Setelah diinterogasi, Armor mengaku telah melakukan tindakan kekerasan tersebut sejak 2020.
Saya sempat melihat salah satu bukti video KDRT yang dirilis oleh Cut Intan Nabila. Rasanya tidak mampu berkata apa-apa, hanya bisa turut merasakan sakit dan sedih yang dialami olehnya. Apalagi, setelah mengetahui tindakan kekerasan yang dialami cukup lama.
Dalam salah satu video bukti yang dirilis, dengan nyata saya bisa menonton seorang balita ikut menyaksikan tindak kekerasan yang diterima oleh ibunya sendiri. Duh, sungguh miris melihatnya. Bagaimana seorang balita bisa terdiam melihat ibunya disiksa?
Apa dampak bagi anak yang melihat pertengkaran orangtua secara langsung di depan mata? Yuk, mari lihat data nyata KDRT yang terjadi Indonesia.
Data Kasus KDRT dari KemenPPPA RI
Data diambil dari laman resmi KemenPPPA, data terupdate per 1 Januari 2024. Data tersebut berdasarkan data yang telah terverifikasi, dan belum terverifikasi (data yang diinput pada bulan berjalan). Data ini masih terus berjalan sesuai dengan kasus yang masuk ke KemenPPPA pada tahun 2024, sehingga masih akan terus bertambah.
Berdasarkan data, terdapat 16.162 kasus KDRT di Indonesia, dengan korban laki-laki sebanyak 3.452, dan mayoritas korban perempuan sebanyak 14.047. Pulau Jawa menjadi salah satu pulau yang kasus KDRTnya meningkat semakin tinggi pada tahun 2024.
Kebanyakan korban merupakan perempuan, dan anak-anak. Sebanyak 9.914 kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga. Sekitar 7.466 kekerasan seksual, 5.574 kekerasan fisik, 4.819 kekerasan psikis menjadi beberapa bentuk kekerasan paling tinggi yang dialami para korban KDRT. Data ini nyata, dan sangat memprihatinkan.
Pelaku KDRT terbanyak dilakukan oleh pacar, dan suami atau istri. Tindak kekerasan bisa terjadi pada siapapun, termasuk pada laki-laki. Dari data yang saya dapatkan, dapat disimpulkan bahwa masih banyak kasus KDRT di Indonesia. Bahkan dari yang saya tahu, kebanyakan korban masih belum berani membicarakan secara terbuka tindak kekerasan yang dialami.
Untuk melapor saja, masih takut. Kebanyakan masih berusaha mempertahankan hubungan demi anak. Menutup masalah keluarga rapat-rapat, padahal KDRT sudah bukan masalah keluarga biasa.
KDRT menjadi masalah yang berhubungan dengan hukum apabila sampai terjadi kekerasan yang melukai seseorang.
Anak Melihat Pertengkaran Orangtua, Ini Dampaknya
Pada Kompas.com (14/08/2024), dokter anak dari Mayapada Hospital Kuningan, Jakarta Selatan menjelaskan, bahwa seorang bayi sudah bisa merasakan stres, juga mendengar, dan melihat orangtuanya bertengkar. Dari hasil penelitian, bayi yang orangtuanya sering bertengkar, kemungkinan tinggi memiliki gangguan stres dan masalah emosional.
Saat kecil, saya pernah melihat pertengkaran orangtua. Yang menurut saya, pertengkaran itu masih dalam batas normal. Tidak ada tindak kekerasan fisik atau semacamnya. Namun, bagi saya, sebagai seorang anak, sangat sedih ketika melihat dan mendengar orangtua bertengkar.
Pengalaman saya di masa lalu, membuat saya sangat selektif memilih pasangan sebelum menikah saat dewasa. Alasan pertengkaran yang sempat dialami orangtua di masa lalu, menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam mencari pasangan.
Pertengkaran itu, masih terus terekam dalam ingatan saya secara detail. Walaupun kejadian itu sudah puluhan tahun lalu, tetapi kondisi saya sudah duduk di bangku sekolah pada saat itu.
Sejalan dengan penjelasan dr. Denta dalam Kompas.com (14/08/2024), jika tidak dilakukan pencegahan lebih lanjut, efeknya akan terjadi hingga bayi dewasa nanti. Menurutnya, orang dewasa yang masa kecilnya sering terpapar pertengkaran atau emosi negatif orangtua, maka akan lebih sulit mengelola emosi dengan baik. Kemungkinan, bisa sering mengalami masalah kesehatan mental.
Kita sangat mengetahui, orangtua contoh pertama bagi anak. Ketika anak melihat tindakan orangtua yang seharusnya tidak untuk ditiru, tetapi terlanjur setiap hari dilihat. Anak bisa saja menganggap hal itu biasa untuk dilakukan, anak bisa menganggap tindak kekerasan itu wajar. Saat dewasa nanti, bisa saja anak melakukan hal yang sama.
Ada beberapa anak yang setelah melihat pertengkaran orangtua, menjadi sedih, trauma, dan takut berkepanjangan. Sehingga, membuat anak tumbuh menjadi sosok yang mengalami trauma, sering mengalami ketakutan.
Ada juga anak yang setelah melihat pertengkaran orangtua saat kecil, justru tumbuh menjadi orang yang kuat. Ingin apa yang terjadi di masa lalu, tidak dialami lagi olehnya. Dianggap sebagai pembelajaran, yang membuatnya dewasa terlalu cepat.
Dampak ini nyata terjadi pada bayi, balita, dan anak yang pernah melihat pertengkaran orangtua secara langsung. Ada trauma yang bisa dialami di masa kecil, tetapi juga ada dampak yang terjadi pada perkembangan psikologis anak saat dewasa nanti. Dan hal ini sangat mempengaruhi kehidupan anak di masa depan.
Apakah kamu masih ingin menyimpan sendiri masalah KDRT rapat-rapat setelah mengetahui dampaknya bagi anak? Menyelamatkan anak, tidak dengan menutupi KDRT, tetapi ungkaplah.
Kamu dan anakmu pantas mendapatkan pendampingan, pemulihan kesehatan fisik dan mental, juga bantuan dan penegakan hukum untuk kasus KDRT yang tengah kamu alami.
Jangan takut, kami ada bersamamu. Sampaikan masalah KDRT yang kamu alami pada orang yang tepat. Biarkan anak mendapatkan hak tumbuh kembang dengan masa kecil bahagia. Bukan ingatan kelam dan rasa trauma!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H