Kenangan memang tidak selalu manis untuk diingat kembali. Namun bagi saya, kenangan mengenai pertunjukan budaya akan selalu melekat di hati. Beberapa tahun silam, ketika saya masih punya banyak waktu untuk menikmati hari bersama teman-teman, saya selalu menyempatkan diri menonton pertunjukan budaya di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT).
Apakah kamu mengetahui wayang? Ya, wayang, kalau kamu suka menonton wayang pasti mengenal tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) yang selalu diceritakan lucu dan membuat pertunjukan wayang makin segar. Kamu pasti juga sudah tidak asing dengan wayang kulit, wayang golek, dan wayang orang. Nah, sekarang pertanyaannya, apakah kamu pernah mendengar tentang Wayang Beber?
Saat saya masih duduk di bangku kuliah sekitar tahun 2011-2015, pada salah satu pentas seni yang diadakan di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), itu pertama kalinya saya mengenal Wayang Beber. Padahal, saya merupakan orang yang notabene keturunan Jawa asli. Sering menonton pertunjukan wayang kulit bersama orangtua saat masih kecil. Mungkin sebagian masyarakat Indonesia sama seperti saya, tidak mengetahui sama sekali atau hanya mengetahui sedikit informasi tentang Wayang Beber.
Kemarin pada 7 November 2023, kita memperingati Hari Wayang Nasional. Dan saya ingin mengenalkan sedikit tentang Wayang Beber yang unik dan istimewa, warisan budaya tak benda milik Indonesia.
Cerita singkat tentang Wayang Beber
Pada laman resmi indonesia.go.id (08/04/2019), diketahui bahwa Wayang Beber ternyata adalah wayang tertua di Indonesia. Bahkan sebelum wayang kulit mulai dikenal, Wayang Beber sudah ada.
Wayang Beber tertua berada di Desa Karang Talun, Kelurahan Kedompol, Kecamatan Donorojo, Pacitan, Jawa Timur. Kemudian, lokasi Wayang Beber tertua selanjutnya berada di Desa Gelaran, Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo (Wonosari), Gunungkidul, Yogyakarta. Kedua Wayang Beber tertua tersebut sampai sekarang masih ada, dirawat oleh keturunan dalang dan diwariskan turun temurun agar terus terjaga kelestariannya.
Ketika saya pertama kali melihat pertunjukan Wayang Beber, rasanya agak sedikit aneh karena bentuk wayangnya yang berbeda. Sesuai namanya, Wayang Beber dimainkan dengan cara dibeberkan atau dibentangkan. Wayang Beber terbuat dari kertas yang awalnya berupa gulungan. Lalu, saat pertunjukan dimulai, Wayang Beber perlahan dibentangkan oleh dalang.
Pada Jurnal Bahasa Rupa yang berjudul "Perkembangan Pertunjukan Wayang Beber Kontemporer di Era Modernisasi" karangan Muhammad Nur Hariyadi, Narsen Afatara, dan Agus Purwantoro (2018), dijelaskan dalam Wayang Beber tertua, terdapat gambar yang menceritakan sebuah kisah lakon panji. Versi Pacitan Wayang Beber tertua berjudul "Joko Kembang Kuning", sedangkan versi Wonosari berjudul "Remeng Mangunjoyo". Pada pembuatannya, Wayang Beber menggunakan teknik pewarnaan sungging.
Wayang Beber Pacitan kini tengah dilestarikan oleh Rudi Prasetyo, seorang alumni Universitas Negeri Yogyakarta, Jurusan Bahasa Jawa, yang telah diamanahkan dan diajarkan menjadi dalang penerus sebelum Mbah Mardi Guno Carito (keturunan dalang dari Ki Roro Naladremo) wafat pada Juli 2010. Hal ini karena Mbah Mardi hanya memiliki anak perempuan yang menurut ketentuan pakem, perempuan tidak etis mementaskan Wayang Beber.
Mbah Mardi memiliki cucu lelaki bernama Handoko, dan sekarang sedang dipersiapkan Rudi Prasetyo sebagai dalang penerus dan pelestari dari keturunan asli Ki Roro Naladremo. Sementara itu, Rudi dibantu oleh Wardi, temannya yang ditugaskan untuk menjaga Wayang Beber.
Di Wonosari, Wayang Beber dijaga dan dilestarikan oleh Ki Karmanto Hadi Kusumo sebagai dalang penerus keturunan Remeng Mangunjoyo. Kemudian, dari berita Media Indonesia (06/03/2022), Wisto Utomo sebagai dalang pewaris selanjutnya dari Dusun Gelaran II, Bejiharjo, Karangmojo (Wonosari), Gunung Kidul, Yogyakarta sedang berlatih memainkan Wayang Beber pada 14 November 2021.
Dari kisahnya, menurut Jurnal Bahasa Rupa, Wayang Beber merupakan salah satu benda pusaka Keraton yang turun temurun dimiliki Raja Jawa. Akibat terjadi pemberontakan Geger Pacinan pada masa pemerintahan Pakubuwono II di Keraton Surakarta, para abdi dan kerabat Raja berusaha menyelamatkan benda pusaka Keraton. Salah satu benda pusaka itu adalah kotak-kotak yang berisi gulungan Wayang Beber. Akhirnya, Wayang Beber berhasil diselamatkan ke arah Pacitan, Jawa Timur dan Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta.
Wayang Beber mulai terlupakan masyarakat
Sebenarnya, banyak juga pegiat seni dan budaya yang berusaha terus melestarikan Wayang Beber. Buktinya, Wayang Beber terus berkembang dan saat ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Wayang Beber Klasik, Wayang Beber Kontemporer, dan Wayang Beber Metropolitan.
Jurnal Bahasa Rupa membahas lebih lanjut, bahwa Wayang Beber Klasik adalah wayang asli tertua yang berada di Pacitan dan Gunung Kidul. Dalam pementasannya, Wayang Beber ini masih menggunakan ritual sakral, mempersembahkan sesaji, diiringi gamelan slendro dengan sinden atau rebab. Dalang yang memainkan wayang benar-benar keturunan dalang, atau yang telah diamanahkan oleh keturunan sebelumnya.
Pertunjukan hanya diadakan pada kegiatan yang sangat terbatas atau upacara adat, seperti ruwatan, selamatan, bersih desa, atau kegiatan yang masih berhubungan dengan kegiatan adat dan ritual yang sakral.
Wayang Beber Kontemporer, yaitu wayang klasik timbul melalui gagasan pelaku seni untuk mempertahankan minat masyarakat terhadap pertunjukan wayang. Perbedaannya ada pada kisah yang diceritakan, jika dalam Wayang Beber Klasik masih menceritakan tentang kisah Ramayana dan Mahabarata, sedangkan Wayang Beber Kontemporer menceritakan tentang kehidupan masa sekarang.
Jenis wayang kontemporer ini menciptakan karakter populer yang mengkritisi kondisi masyarakat dalam bidang politik, pemerintah, ekonomi, pembangunan, dan sosial budaya. Sehingga, wayang jenis ini menjadi solusi pelestarian Wayang Beber dengan kemungkinan kepopuleran lebih tinggi karena masuk dalam kehidupan masyarakat masa kini. Salah satu tokoh pencetus Wayang Beber Kontemporer adalah Dani Iswardana pada 2005.
Wayang Beber Metropolitan, kisahnya menceritakan tentang kehidupan di Kota Jakarta, membahas isu kota metropolitan Jakarta dengan solusi yang dibicarakan di dalam gulungan Wayang Bebernya. Wayang Beber ini, sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Lebih banyak unsur modern di dalamnya, tetapi tetap mempertahankan bentuk Wayang Beber yang dipasang pada tongkat seligi, digulung, dan dibentangkan saat pertunjukan wayang dimulai.
Wayang Beber Kontemporer dan Metropolitan sudah tak menggunakan kertas daluang sebagai bahan pembuatan, tetapi menggunakan kanvas. Pewarnaannya juga sudah menggunakan bahan pewarna pabrik, tidak lagi menggunakan bahan pewarna alami. Tidak perlu melakukan ritual sebelum pertunjukan wayang, tidak perlu menggunakan sesaji, alat musik yang digunakan juga sudah bercampur alat musik modern.
Namun, tetap menggunakan sinden, dalang bisa berasal dari pelaku seni manapun yang berminat, tidak harus dari keturunan dalang yang mewarisi Wayang Beber Klasik. Yang jelas, Wayang Beber Kontemporer bisa dinikmati semua masyarakat.
Saya ingat betul, dulu Wayang Beber yang saya tonton sudah bukan Wayang Beber Klasik, mungkin sudah masuk ke kontemporer. Walaupun demikian, sama sekali tidak mengurangi kenikmatan menonton pertunjukan yang sangat istimewa itu. Ada tawa pada kisah yang lucu diceritakan, dan dalang mampu membawakan kisah Wayang Beber dengan baik, sehingga masuk ke hati penonton.
Pengalaman agak sedih pernah saya alami, saat saya mencoba bertanya pada generasi berusia 20 tahun ke bawah. Apakah mereka mengetahui tentang Wayang Beber? Dan jawabannya sudah bisa ditebak, mereka tidak mengetahuinya. Justru bertanya, Wayang Beber itu seperti apa? Wayang Beber sekarang mulai terlupakan masyarakat muda.
Saya pun menceritakan dan menunjukkan Wayang Beber pada mereka di pencarian internet. Dulu sebenarnya saya sempat mengabadikan foto Wayang Beber, tetapi laptop rusak dan sejak menikah, saya tidak mengetahui laptop saya berada di mana.
Memang pertunjukan Wayang Beber tidak terlalu sering diadakan. Mungkin kamu lebih sering melihat pameran seni rupa atau pertunjukan tari tradisional daripada pertunjukan wayang, apalagi Wayang Beber. Komunitasnya juga masih belum banyak.
Kesempatan langka bagi saya bisa mengenal dan menikmati pertunjukan Wayang Beber. Jika saya tidak pernah mengunjungi Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), saya tidak akan pernah mengenal Wayang Beber.
Kita memang bukan seorang seniman, tetapi tidak ada salahnya jika kita mengenal Wayang Beber, bukan? Sedikit belajar, sesekali datang ke pertunjukan Wayang Beber di kotamu, akan sangat bermanfaat untuk pelestarian Wayang Beber di Indonesia.
Wayang Beber merupakan warisan budaya tak benda yang sangat unik dan istimewa milik Indonesia. Jadi, ayo kita jaga dan ikut mendorong agar kaum muda bisa mengenal Wayang Beber. Sangat bersyukur apabila generasi muda bisa menyukai warisan yang sangat istimewa milik kita bersama!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H