Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001 : 391), Budaya Organisasi adalah sistem yang mereka percaya dan suatu nilai yang dapat dikembangkan dari suatu organisasi yang mana hal itu menuntun perilaku anggota organisasi itu sendiri.
Di setiap perusahaan pasti memiliki suatu budaya atau kultur atau kebiasaan masing-masing perusahaan yang membedakan perusahaan tersebut dengan perusahaan lainnya. Budaya organisasi tersebut biasanya memang ditujukkan untuk menunjukkan identitas perusahaan dan menambah nilai perusahaan melalui anggota timnya.
Namun, sebenarnya budaya organisasi ini juga dapat bersifat blunder dan malah menjadi boomerang ketika budaya yang ada dalam perusahaan itu buruk. Ketika budaya atau kebiasaan yang terjadi dalam perusahaan itu buruk, maka dapat tersebar ke eksternal perusahaan dan menjadi boomerang bagi perusahaan itu sendiri.
Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan kedatangan tamu atau pun klien, maka tamu atau klien tersebut pasti akan bertemu dengan front office perusahaan terlebih dahulu, seperti satpam dan resepsionis. Ketika front office berpakaian rapi dan berbicara dengan sopan kepada tamu atau klien, maka itu termasuk salah satu budaya organisasi yang baik dalam perusahaan.
Tetapi ketika front office berpakainnya tidak rapi dan tidak memperlakukan tamu atau klien dengan baik, maka itu juga dapat menjadi boomerang bagi perusahaan terutama memberikan kesan buruk pada tamu atau klien. Hal tersebut bisa dikategorikan sebagai budaya organisasi karena apa yang dilakukan anggota tim, mencerminkan bagaimana budaya organisasi di dalam perusahaan.
Jika kita beralih kepada hal yang lebih besar, maka ada beberapa kasus budaya organisasi yang terkait dengan sikap kepemimpinan. Kasus tersebut seperti budaya organisasi yang berubah ketika adanya perubahan pemimpin. Hal itu wajar dan bisa saja terjadi karena belum tentu pemimpin yang baru menyetujui semua budaya organisasi yang selama itu sudah berjalan.
Di satu sisi, hal tersebut dapat menjadi hal positif ketika pemimpin tersebut merubah budaya organisasi yang mengikuti perkembangan zaman dan mengikuti kebutuhan eksternal perusahaan.Â
Mengapa hal tersebut bisa dikatakan positif? Ada kalanya ketika budaya organisasi "kaku", maka itu malah menjadi penghambat perusahaan untuk berkembang. Jika begitu, baik adanya untuk mengubah budaya organisasi yang ada.
Namun, di sisi lain juga hal tersebut dapat menjadi negatif ketika pemimpin tersebut mengubah budaya organisasi yang ada dengan budaya organisasi keinginannya sendiri, tanpa melihat aspek-aspek atau indikator-indikatornya. Ia hanya membuat budaya organisasi sesuai keingannya tanpa mempertimbangkan dampaknya, tanpa memedulikan anggota timnya.
Di kasus lain, ada yang dinamakan dengan "culture gap". Culture Gap sendiri adalah kondisi di mana adanya kesenjangan budaya organisasi yang ada. Biasanya culture gap terjadi ketika suatu perusahaan diakuisisi oleh perusahaan lain, alias merger. Kedua perusahaan yang melakukan merger tersebut pasti memiliki budaya organisasi masing-masing dan berbeda antara satu dengan lainnya.Â