"Aku tidak percaya kau pembohong." Tanganmu ku pegang erat.
"Aku tahu kau bukan orang yang seperti itu. Jangan dengarkan mereka, oke?"
Sebuah pelukan hangat ku sampaikan padamu. Engkau hanya berdiri kaku disana. Apakah mereka menyakitimu dengan begitu keji hingga kasih sayangku tidak masuk akal bagimu? Apakah kau berdiri disana sambil menahan air mata mu?
Jelas sekali ingatan ku akan hari itu. Akhirnya jawaban akan pertanyaan lampau datang. Yang ku sambut dengan amarah.
"Ini tidak seperti yang kau pikirkan!" Kau melepaskan dia lalu berjalan kepadaku. Panggilan sayang bercurah dari mulutmu, diikuti dengan segala macam penolakan dan alasan atas realita yang tak terbantahkan di hadapanku ini. Â
"Aku tidak percaya, kau pembohong!" Aku mendorongnya jauh jauh.
Kata kata yang sama, dengan maksud yang berkebalikan. Inilah yang dulu mereka katakan tentangmu, yang mereka peringatkan padaku. Seharusnya aku tidak termakan iba.
Lagi-lagi, kau diam terpaku. Dulu mungkin aku tidak melihat wajahmu, kali ini aku melihatnya. Sebuah senyuman, seolah menahan tawa, tawa yang menghina kebodohan ku selama ini.
Apakah ini ekspresi yang sama ketika aku memelukmu dulu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H