Gadis Merah si Pustakawan: Bagian 6
Aku terdiam sambil menatap gadis itu sesaat, dekskripsi karakter Nori mirip beberapa buku yang ada di perpustakaan. Rambut coklat keabu-abuan yang disanggul kembar, mata merah vermilion, jaket berwarna biru dan kuning dengan pin bintang khasnya, celana pendek jeans dan sepatu kets berwarna cerah. Ditambah perilakunya tidak jauh berbeda, periang, banyak bicara, senyum yang lebar sekaligus menyebalkan.
"Nori? Maksudmu Nori dari buku 'Kisah Desa Melladette' itu? Tapi bukannya kau hanya karakter dalam buku, tapi kau persis Nori yang ku tahu! juga dari banyak buku lainnya." Aku bergeser menjauh darinya, ini terdengar konyol, karakter fiksi seharusnya tidak bisa jadi nyata.
Tapi itu yang dikatakan di buku, nampaknya di "dunia luar" tidak seperti itu.
"Hah? Aku memang pernah tinggal di tempat itu. Tapi, tunggu, kalau begitu apakah aku telah berhasil?" Sebelum Nori belum selesai bicara ia sudah mendekat ke arahku lalu mengangkat kedua tanganku, lalu menggenggamnya di hadapan wajah kita berdua.
"Sungguh!? kau membaca buku-buku yang menceritakan diriku!? Hahahaha! Akhirnya aku berhasil keluar dari semua cerita itu!" Sebelum aku bisa menarik tanganku lagi Nori sudah melepasnya lalu membentangkannya ke atas, ia tertawa kencang hingga jatuh tergeletak.
"Keluar dari cerita? Bagaimana mungkin?" Aku menatap heran gadis itu.
"Hah, ceritanya panjang sekali, kau takkan faham. Pokoknya sekarang aku bebas! Oh ya, seperti apa cerita-cerita yang kau baca itu?" Nori bangkit duduk, wajahnya masih terlihat senang sekali.
"Kau suka langitnya? Hei, aku sendirian disini, bagaimana kalau kita berpetualang bersama? Ini pertama kalinya aku ada di dunia dimana segalanya tidak ditentukan suatu naskah, disini aku juga kamu bebas menulis kisah kita sendiri! Ini akan jadi sangat menyenangkan Rubrea, apalagi dibandingkan membaca buku di perpustakaan! " Nori muncul di belakangku, dia membentangkan tangannya dengan dramatis.
Seketika aku menyadari sesuatu, aku tidak berniat ingin keluar selamanya, aku hendak kembali, aku tidak mau lama-lama diluar. Dengan tergesa-gesa aku lari kembali menuruni tangga menuju perpustakaan, aku mengambil senter dan kunci yang tergeletak di anak tangga. Nori memanggilku dari atas, terdengar kebingungan. Dengan panik, aku berusaha membuka pintu kembali ke perpustakaan, sial, ternyata tidak bisa dibuka dari luar! Bagaimana bisa tertutup tadi? Padahal aku tidak menutupnya! Apa yang aku lakukan tanpa perpustakaanku? Rumahku? Aku mulai mendobrak pintu tersebut, lebih tepatnya sekarang telah menjadi dinding.
To be continued...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H