Mohon tunggu...
Ai QurotulAin
Ai QurotulAin Mohon Tunggu... Penulis - IRT, Olshop, Penulis

An Ordinary Mama dari 2R

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terpujilah Wahai Engkau Ibu Rumah Tangga (1)

1 Juli 2020   20:57 Diperbarui: 1 Juli 2020   21:02 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sebagian orang menganggap, menjadi Ibu Rumah Tangga bukanlah suatu hal yang patut dibanggakan. Anggapan bahwa wanita masa kini, apalagi berpendidikan tinggi, haruslah bekerja di ranah publik. Sayang ijazah, katanya. Tak jauh berbeda dengan pendapat keluarga besar kami. Saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat menghargai pendidikan, baik untuk anak laki-laki atau pun perempuan. Orang tua beranggapan bahwa semua anaknya haruslah melek pendidikan, agar kelak mendapatkan pekerjaan yang cukup membanggakan. 

Membawa masa depan lebih baik dari generasi sebelumnya. Padahal, Mama sendiri adalah seorang ibu rumah tangga tangguh. Melahirkan 10 kali dengan jarak usia yang relatif dekat, menikah muda, tanpa bantuan Asisten Rumah Tangga. Selain itu, pada zamannya, berbagai kemudahan yang bisa kita nikmati sekarang belumlah ada. Mesin cuci, kompor gas adalah contoh kecilnya. Namun demikian, Mama tak mau anak perempuannya bernasib sama. Semua putri Mama haruslah bekerja, jangan jadi ibu rumah tangga saja.

Sejenak tidak ada yang salah dengan impian ini. Mereka membesarkan kami, menyekolahkan dengan susah payah agar kami menjadi manusia yang memiliki nilai lebih, bisa dihargai oleh lingkungan setempat karena background pendidikan, juga keahlian yang dimiliki, tentu akan lebih sempurna jika kami bisa bekerja di salah satu instansi.

"Ini anak saya yang nomor tujuh, sekarang dia kerja di Bank. Lulusan UI ini, gajinya saja sekian. Abisnya di kampung cuma jadi honorer dinas setempat gajinya kecil. Udah gitu dibayar per enam bulan lagi. Masa sarjana gajinya segitu, ya kan? Yaudah, mending merantau aja, nyari yang lebih baik," ujar Mama pada salah satu kerabat, yang bertanya saya kerja di mana, sebelum menikah dulu.

"Tuh lihat anak saya jadi manajer, saya udah nyangka, soalnya dia pintar dari kecil. Walaupun udah punya anak, enggak apa-apa tetap kerja. Kan di rumah ada pembantu, yang jagain anaknya." Ucap Mama di lain waktu, ketika saya menapaki jenjang karir puncak, sebelum akhirnya memutuskan untuk resign.

Setelah beberapa tahun menjalani kehidupan sebagai full mom, ibu rumah tangga sejati dengan segala dramanya. Beberapa rekan bahkan kerabat tak henti-hentinya bertanya kepada saya tentang kemungkinan kembali bekerja. Apa saya enggak sayang dengan ijazah sarjana. Lulusan universitas terbaik, cumlaude pula, harus terhenti dengan status terakhir, sebagai Ibu Rumah Tangga.

Ya, untuk sebagian orang ibu rumah tangga bukanlah profesi prestisius. Baginya, penyandang profesi ini dianggap sebelah mata. Saya berbicara bukan tanpa data dan fakta. Karena saya sendiri adalah orang yang sedikit banyak pernah punya pemikiran tersebut. Ketika status sebagai ibu bekerja masih disandang. Ada beberapa teman yang sebelumnya telah memutuskan menjadi ibu rumah tangga saja. 

Beberapa prestasi anak mereka ada yang menonjol, lalu saya pernah memiliki opini bahwa kenyataan itu wajar adanya. Karena ibu si anak seorang Ibu Rumah Tangga, yang pastinya punya banyak waktu luang. Mengajarkan anaknya berbagai hal tanpa dibatasi waktu. Sementara saya adalah ibu bekerja, yang tidak punya waktu sebanyak mereka.

Sebaliknya, ketika ada gonjang-ganjing mengenai pertengkaran antar ibu-ibu di perumahan, saya pun berujar bahwa wajarlah adanya, mereka hanya ibu rumah tangga yang enggak punya banyak kerjaan.

Ternyata, anggapan saya dan mungkin sebagian oran lainnya yang menganggap sebelah mata tentang menjadi ibu rumah tangga, tidaklah benar seutuhnya. Menjalani perannya selama lima tahun terakhir, membuat saya sadar, bahwa ibu rumah tangga adalah profesi mulia. Jikalah seorang IRT masuk dalam kategori pekerjaan, maka seharusnya menjadi IRT adalah jabatan tertinggi dalam suatu institusi, bahkan gaji seorang manajer perusahaan besar pun tak sebanding dengan pengorbanannya.

Ibu rumah tangga, yang kata orang adalah pekerjaan pengangguran, faktanya adalah orang tersibuk dan paling berjasa dalam suatu keluarga. Di tangannya lah Surga atau Neraka tercipta. Ia, madrasah pertama untuk anak-anaknya. Menjadi seorang ibu adalah keniscayaan. Kesuksesan anak-anak dan suami pun ada di tanganmu, wahai para Ibu Rumah Tangga.

Melalui tulisan ini saya ingin berbagi rasa, bahwa saya tak sendiri. Pun jika kamu sebagai Ibu Rumah Tangga, pernah merasa ada di posisi tidak memiliki banyak makna, bagi dunia luar. Bahwa anggapanku dan anggapanmu selama ini salah. Banyak wanita lain di luar sana yang menginginkan posisi sebagai Ibu Rumah Tangga seutuhnya, sepertimu. Namun, keadaan memaksa mereka tidak bisa mengambil keputusan itu dengan berbagai risikonya.

Berbahagialah...
Berbangga hatilah..
.
Untukmu para Ibu Rumah Tangga...
Di seluruh penjuru dunia...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun