1 of 3 pages
Tahun 2020 adalah tahun di mana seharusnya kebijakan feed in tariff sudah matang digodok Pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai target 25% EBT di tahun 2025.
Apakah yang dimaksud feed in tariff?
Pada intinya, PT. PLN membayar uang kepada sebuah power plant berbasis energi baru dan terbarukan (EBT), sehingga power plant tersebut mampu mengakomodir kebutuhan listrik masyarakat. Kemudian masyarakat membayar listrik sesuai tarif dasar listrik yang ditetapkan.
Lalu kenapa pemerintah harus membuat regulasi untuk mengakomodir adanya kebijakan feed in tariff?
Menurut World Economic Situation and Prospect (WESP) United Nation 2020, kebutuhan terhadap batu bara, khususnya di Asia Timur masih cukup tinggi. Hal ini dikarenakan negara-negara di kawasan tersebut masih sangat bergantung pada penggunaan batu bara, salah satunya untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga UAP (PLTU berbahan bakar Batu Bara).
Di Indonesia sendiri, permintaan terhadap batu bara cenderung menurun seiring dengan kejadian Covid -- 19. Anehnya, ketika di seluruh dunia banyak kilang minyak ditutup untuk menstabilkan harga minyak mentah, Perusahaan-perusahaan tambang batu bara di Indonesia cenderung tidak menurunkan produksinya. Karena, tidak menutup kemungkinan bahwa setelah pandemi Covid-19 berakhir, maka permintaan batu bara akan kembali meningkat.
Secara psikologis, selama ketersediaan masih banyak, maka manusia (dalam hal ini pemerintah dan masyarakat) cenderung belum merasa khawatir dan belum mau beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) dalam waktu dekat. Ini membuat ketergantungan Indonesia terhadap batu bara semakin parah, apalagi produk batu bara di Indonesia yang sangat besar jumlahnya, sejumlah 106,845 milyar ton dan cadangan batubara sejumlah 32,263 milyar ton.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mendesak dihentikannya kebiasaan penggunaan batu bara dan memberi harga tinggi pada perusahaan penghasil emisi karbon tinggi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan pencemaran lingkungan.
Namun hingga kini pemerintah Indonesia masih belum menemukan solusi alternatif yang dapat diaplikasikan untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dengan capacity factor yang sama. Salah satu kandidat terkuat pengganti batu bara adalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang memiliki capacity factor yang tinggi.
Namun, banyaknya kontra dari masyarakat menyebabkan terhambatnya pengembangan teknologi PLTN di Indonesia. Ditambah ongkos pemeliharaan, reparasi dan pembuangan limbah nuklir yang menurut studi, jauh lebih tinggi ketimbang penerapan kebijakan tanpa energi nuklir dengan energi alternatif.
Ingin lepas dari ketergantungan inilah yang mendorong pemerintah menargetkan 23% energi listrik di Indonesia bersumber dari energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2025. Dan untuk mencapai target tersebut, pemerintah sudah memulainya seiring dengan diprosesnya perpres feed in tariff.
Bahkan sebelumnya, sudah ada beberapa Peraturan Menteri ESDM yang mengatur harga produksi listrik per KWH nya. Menurut website resmi Kementerian ESDM, Perpres feed in tariff baru akan mengatur harga berdasarkan jenis EBT. Dengan demikian, pembelian listrik oleh PLN bergantung pada jenis pembangkit listrik berbasis EBT di suatu daerah.
Dan jika berkaca dengan Vietnam, maka regulasi ini sangat menjanjikan untuk mendukung pencapaian target 23% EBT di Indonesia. Maka kami sangat mendukung  dalam hal penerapan regulasi ini seratus persen demi terciptanya lingkungan hidup yang lebih bersih.
Namun, sama seperti bahasan PLTN pada paragraf sebelumnya, energi alternatif yang diproduksi harus dibuat seefektif mungkin. Sehingga, jangan sampai pembelian listrik dari pembangkit listrik EBT di suatu daerah malah menyebabkan harga tarif dasar listrik (TDL) meningkat tajam dan justru memberatkan masyarakat.
Jangan sampai target EBT 23% tercapai di tahun 2025, namun masyarakat yang harus menanggung beratnya biaya listrik pasca diterapkan perpres tersebut. Karena kesejahteraan masyarakat tentunya harus diperhatikan seiring dengan diberlakukannya kebijakan feed in tariff.
Menurut jurnal "Analysis of Fit-in Tariff Renewable Energy and Impact on National Electricity Tariff" yang ditulis oleh La Ode Muhammad Abdul Wahid dari BPPT, pemanfaatan pembangkit EBT dengan harga pembelian listrik lebih mahal dari rata-rata biaya operasi sistem pembangkit setempat dan/atau lebih mahal dari biaya operasi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dapat berimbas kepada kenaikan tarif dasar listrik pelanggan minimal 1.300 Watt.
Artinya, pelanggan listrik 1.300 Watt ke atas berkemungkinan menghadapi kenaikan tarif dasar listrik akibat pembelian listrik dari pembangkit EBT yang secara operasionalnya high cost.
Untuk itu diperlukan adanya inovasi kebijakan pemerintah agar tarif dasar listrik tidak meningkat. Dan sebagaimana kita ketahui, PBB, telah mendesak pemerintah di seluruh dunia untuk mengalihkan kebiasaan penggunaan energi berbasis batu bara menuju renewable energy dikarenakan proses penambangan yang tidak ramah lingkungan serta efek gas rumah kaca (Green House Gases) akibat pembakaran bahan bakarnya, maka inilah saat yang tepat bagi pemerintah untuk membuat regulasi tambahan agar perusahaan - perusahaan tambang batu bara memberikan kontribusi lebih untuk mengurangi dampak lingkungan dari penambangan batu bara.Â
Kebijakan pajak tambahan harus diberikan kepada perusahaan tersebut sesuai kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang mungkin terjadi apabila kebijakan feed in tariff telah ditetapkan. Kenaikan pajak ini juga harus diberlakukan kepada perusahaan lain yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca tinggi (yang mendekati ambang batas diizinkan) untuk memberikan "efek kejut" secara psikologis kepada perusahaan yang berpotensi mencemari lingkungan tersebut.
Dengan adanya regulasi tambahan itu, maka dapat diberlakukan subsidi silang dari uang yang didapatkan dari kenaikan pajak perusahaan -- perusahaan tambang batu bara, juga dari perusahaan - perusahaan penghasil emisi karbon tinggi, kepada masyarakat pengguna listrik yang terdampak. Yaitu pelanggan minimal 1.300 Watt. Dan penambahan pajak tersebut juga harus sesuai dengan neraca keuangan PT. PLN agar TDL tidak perlu naik. Atau meskipun naik tidak sepenuhnya memberatkan masyarakat.Â
Dengan demikian, skematik feed in tariff akan menjadi seperti gambar 2 di bawah ini.
Dari gambar di atas, perusahaan ber-emisi tinggi (termasuk tambang batu bara) membayar pajak tambahan untuk produksi listrik berbasis EBT kepada PT. PLN. Kemudian PT. PLN membayar uang kepada sebuah power plant berbasis energi baru terbarukan (EBT) lalu power plant tersebut mengakomodir kebutuhan listrik masyarakat melalui mekanisme teknis yang sesuai, kemudian masyarakat membayar listrik sesuai tarif dasar yang ditetapkan PT. PLN. Perbedaan nya adalah masyarakat tidak terlalu terbebani biaya tambahan tarif listrik.
Jika Pemerintah Indonesia mau melakukan penaikan pajak bagi perusahaan tambang batu bara maupun perusahaan penghasil emisi asap karbon tinggi, yang disesuaikan dengan kenaikan tarif dasar listrik yang mungkin terjadi, maka jalan menuju pencapaian target 23% EBT di tahun 2025 akan semakin mudah sekaligus memberikan pesan bahwa pemerintah ingin mengurangi dampak pencemaran lingkungan akibat penambangan batu bara maupun pabrik beremisi karbon tinggi.
Referensi :
- Analysis of Fit-in Tariff Renewable Energy and Impact on National Electricity Tariff, La Ode Muhammad Abdul Wahid, 2015
- World Economic Situation and Prospects (WESP) Publication, 2020
- Laporan Akhir Kajian Ketercapaian DMO Batu Bara Sebesar 60% Produksi Nasional, BAPPENAS, 2019
- http://www.satuharapan.com/read-detail/read/wesp-2020-ketergantungan-pada-energi-fosil-berpotensi-jadi-bencana
- https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/perpres-feed-in-tariff-baru-akan-atur-harga-berdasar-jenis-ebt
- https://www.un.org/development/desa/publications/wesp-2020.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H