Dari gambar di atas, perusahaan ber-emisi tinggi (termasuk tambang batu bara) membayar pajak tambahan untuk produksi listrik berbasis EBT kepada PT. PLN. Kemudian PT. PLN membayar uang kepada sebuah power plant berbasis energi baru terbarukan (EBT) lalu power plant tersebut mengakomodir kebutuhan listrik masyarakat melalui mekanisme teknis yang sesuai, kemudian masyarakat membayar listrik sesuai tarif dasar yang ditetapkan PT. PLN. Perbedaan nya adalah masyarakat tidak terlalu terbebani biaya tambahan tarif listrik.
Jika Pemerintah Indonesia mau melakukan penaikan pajak bagi perusahaan tambang batu bara maupun perusahaan penghasil emisi asap karbon tinggi, yang disesuaikan dengan kenaikan tarif dasar listrik yang mungkin terjadi, maka jalan menuju pencapaian target 23% EBT di tahun 2025 akan semakin mudah sekaligus memberikan pesan bahwa pemerintah ingin mengurangi dampak pencemaran lingkungan akibat penambangan batu bara maupun pabrik beremisi karbon tinggi.
Referensi :
- Analysis of Fit-in Tariff Renewable Energy and Impact on National Electricity Tariff, La Ode Muhammad Abdul Wahid, 2015
- World Economic Situation and Prospects (WESP) Publication, 2020
- Laporan Akhir Kajian Ketercapaian DMO Batu Bara Sebesar 60% Produksi Nasional, BAPPENAS, 2019
- http://www.satuharapan.com/read-detail/read/wesp-2020-ketergantungan-pada-energi-fosil-berpotensi-jadi-bencana
- https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/perpres-feed-in-tariff-baru-akan-atur-harga-berdasar-jenis-ebt
- https://www.un.org/development/desa/publications/wesp-2020.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H