Ingin lepas dari ketergantungan inilah yang mendorong pemerintah menargetkan 23% energi listrik di Indonesia bersumber dari energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2025. Dan untuk mencapai target tersebut, pemerintah sudah memulainya seiring dengan diprosesnya perpres feed in tariff.
Bahkan sebelumnya, sudah ada beberapa Peraturan Menteri ESDM yang mengatur harga produksi listrik per KWH nya. Menurut website resmi Kementerian ESDM, Perpres feed in tariff baru akan mengatur harga berdasarkan jenis EBT. Dengan demikian, pembelian listrik oleh PLN bergantung pada jenis pembangkit listrik berbasis EBT di suatu daerah.
Dan jika berkaca dengan Vietnam, maka regulasi ini sangat menjanjikan untuk mendukung pencapaian target 23% EBT di Indonesia. Maka kami sangat mendukung  dalam hal penerapan regulasi ini seratus persen demi terciptanya lingkungan hidup yang lebih bersih.
Namun, sama seperti bahasan PLTN pada paragraf sebelumnya, energi alternatif yang diproduksi harus dibuat seefektif mungkin. Sehingga, jangan sampai pembelian listrik dari pembangkit listrik EBT di suatu daerah malah menyebabkan harga tarif dasar listrik (TDL) meningkat tajam dan justru memberatkan masyarakat.
Jangan sampai target EBT 23% tercapai di tahun 2025, namun masyarakat yang harus menanggung beratnya biaya listrik pasca diterapkan perpres tersebut. Karena kesejahteraan masyarakat tentunya harus diperhatikan seiring dengan diberlakukannya kebijakan feed in tariff.
Menurut jurnal "Analysis of Fit-in Tariff Renewable Energy and Impact on National Electricity Tariff" yang ditulis oleh La Ode Muhammad Abdul Wahid dari BPPT, pemanfaatan pembangkit EBT dengan harga pembelian listrik lebih mahal dari rata-rata biaya operasi sistem pembangkit setempat dan/atau lebih mahal dari biaya operasi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dapat berimbas kepada kenaikan tarif dasar listrik pelanggan minimal 1.300 Watt.
Artinya, pelanggan listrik 1.300 Watt ke atas berkemungkinan menghadapi kenaikan tarif dasar listrik akibat pembelian listrik dari pembangkit EBT yang secara operasionalnya high cost.
Untuk itu diperlukan adanya inovasi kebijakan pemerintah agar tarif dasar listrik tidak meningkat. Dan sebagaimana kita ketahui, PBB, telah mendesak pemerintah di seluruh dunia untuk mengalihkan kebiasaan penggunaan energi berbasis batu bara menuju renewable energy dikarenakan proses penambangan yang tidak ramah lingkungan serta efek gas rumah kaca (Green House Gases) akibat pembakaran bahan bakarnya, maka inilah saat yang tepat bagi pemerintah untuk membuat regulasi tambahan agar perusahaan - perusahaan tambang batu bara memberikan kontribusi lebih untuk mengurangi dampak lingkungan dari penambangan batu bara.Â
Kebijakan pajak tambahan harus diberikan kepada perusahaan tersebut sesuai kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang mungkin terjadi apabila kebijakan feed in tariff telah ditetapkan. Kenaikan pajak ini juga harus diberlakukan kepada perusahaan lain yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca tinggi (yang mendekati ambang batas diizinkan) untuk memberikan "efek kejut" secara psikologis kepada perusahaan yang berpotensi mencemari lingkungan tersebut.
Dengan adanya regulasi tambahan itu, maka dapat diberlakukan subsidi silang dari uang yang didapatkan dari kenaikan pajak perusahaan -- perusahaan tambang batu bara, juga dari perusahaan - perusahaan penghasil emisi karbon tinggi, kepada masyarakat pengguna listrik yang terdampak. Yaitu pelanggan minimal 1.300 Watt. Dan penambahan pajak tersebut juga harus sesuai dengan neraca keuangan PT. PLN agar TDL tidak perlu naik. Atau meskipun naik tidak sepenuhnya memberatkan masyarakat.Â
Dengan demikian, skematik feed in tariff akan menjadi seperti gambar 2 di bawah ini.