Melalui pesan singkat aku mengkonfirmasi dakwaan Ibu tadi ke tersangka, dan ia mau mengakuinya. Aku bersyukur karena ia mau mengaku dan lebih bersyukur lagi karena ia hendak membayar hutangnya kepada Ibu penjual nasi Boran.
Informasi itu aku teruskan ke Ibu penjual nasi Boran, dan guratan wajahnya kembali berseri-seri, dan kemudian tersenyum lega. Karena sudah mendapatkan kejelasan yang pasti.
Lantas timbul rasa penasaran dalam pikiranku. Kenapa drama seperti itu masih bisa terjadi.
"Kawitan'ne piye to, Bu, kok iso tik utangi sego 15 bungkus? Sampean kok yo gelem tik utangi wong iku." tanyaku beruntun.
"Biasane wonge bungkus sego, Nak!... Kawitan'ne bungkus Limo. Bayarre yo enak. Liyo dino, bungkus Pitu. Bayarre yo genah." curhat Ibu tadi sambil melayani pembeli.
"Liyo dino mane, tuku sego Limolas bungkus. Ngomonge dompette kari. Kulo nggih percoyo mawon, wong biasane bungkus sego teng mriki. Lah mari ngono, wonge ora tau mampir rene, Nak!... Sampek wes rong ulan luwe. Ibu nggih kuwatir, engko nang wonge lali." lanjut ibu tadi dengan tersenyum getir.
"Engko wonge rene kok, Bu..." jawabku menenangkan meski tak yakin.
"Nggih Nak... Matur suwun. Aku yo gelek wero sampean lewat loh, Nak... Pas lewat ngetan, mboh pas lewat ngulan. Wes suwi tak arep-arep kok ora tau mampir rene. Ape takok ne sampean?" ujar Ibu penjual nasi Boran dengan mimik penuh penghayatan.
"Oh... ngono to, Bu..." balasku persis orang linglung, seperti orang yang baru sadar dari mimpi.
Selesai membayar nasi Boran yang kami santap, aku pamit ke Ibu tadi, dan mengajak kawan Dendi untuk ngopi di depan Lintech.
Di warung kopi aku mendapat pesan singkat dari tersangka yang terjerat hutang jalanan tadi, dia kirim gambar fotonya sendiri dengan pose menghadap ke Ibu penjual nasi Boran. Ada gambaran yang sangat dipaksakan dan itu hanya dilakukan oleh orang yang tergesa-gesa. Sepertinya dia benar-benar sudah mendatangi Warung nasi Boran itu. "Kok cepat ya?" tanyaku, masih meragukan kecepatan responnya.