Sepak bola olahraga brutal bikinan orang eropa ini hampir semua anak laki-laki pernah memainkannya, terkadang demi reputasi diri yang sarat adu gengsi dan tak jarang demi adu prestasi. Begitulah klaim para laki-laki. Tanpa terkecuali baik orang tua, anak muda, maupun laki-laki balita semua suka dengan sepak bola.
Ukuran lapangan lasak yang lebar dan panjang ini sewaktu-waktu bisa susut ukurannya, usut punya usut ternyata disebabkan oleh adanya fenomena alam yang bernama air laut pasang dan itu membuat ukuran lapangan lasak jadi kecil.
Sabda alam yang paling menyebalkan waktu kami masih bocah saat itu ya, ketika kami asek bermain bola dan mendadak air laut pasang, padahal saat itu kami sedang berada di puncak bahagia dengan bermain sepak bola di lapangan lasak yang apesnya lapangan itu sendiri tercipta dari pasang surut air laut.
Bila air laut surut sore hari, kami bermain di lapangan lasak. Alam bawah sadar kami tergerak dengan sendirinya. Tanpa perlu ada komando atau selebaran pengumuman atau pemberitahuan lewat pesan singkat (sms), pabriknya belum dibuat. Satu-satunya indikasi kenapa kami bisa kompak datang adalah senasib sepenanggungan dalam kebersamaan bermain sepak bola. Bisa jadi jiwa kami terpanggil dari dalam.
Biasanya selepas sholat ashar kami sudah berkumpul di lapangan lasak. Seperti yang sudah saya uraikan di atas. Lapangan kami itu beralaskan pasir Lasak berwarna kelabu dan tak jarang berwarna hitam, ada beberapa batu karang kecil, teksturnya lembek dan berair. Jadi, jangan kalian bayangkan kalau kami jatuh atau salah nendang kaki kami akan baik-baik saja, tentu saja tidak! saudara-saudara.Â
Terkadang kaki kami terluka sampai berdarah-darah sebab kami tak pakai sepatu, kami bermain dengan kaki telanjang dan tentu saja kondisi itu lebih disukai bocah-bocah kampung macam kami, sebab dari penuturan seorang kawan, memakai sepatu saat bermain sepak bola itu sangat tidak nyaman. Dan kami semua percaya dengan bualan teman saat itu.
Batas teritorial lapangan dadakan itu sangat berharga bagi kami. Sebab hanya di lapangan lasak itu tempat kami bermain dan bersenang-senang adu tulang betis. Namun sayangnya tidak setiap sore lapangan dadakan idaman kaki bocah lelaki macam kami saat itu bisa muncul tiap hari, ketersediaan lapangan Lasak berkah faktor alam tersebut hanya ada pada musim-musim tertentu saja.
Karena kami tinggal di kampung, maka kami bermain dengan alat seadanya. Bentuk gawang yang kami buat dari gundukan pasir Lasak yang tumpuk menggunung, Adapun perdebatan pertama sebelum bermain sepak bola di lapangan yang bukan permanen yakni menentukan ukuran lebar gawang dan drama perdebatan ini sering terjadi berulang kali. Masalah menentukan lebar gawang ini memang sangat krusial dan tidak bisa dibuat secara sepihak artinya tidak bisa bikin dengan seenak udelnya sendiri, untuk menentukan lebar gawang harus lebih dulu sudah disepakati oleh kedua pihak.
Untuk perlengkapan alat bermain, biasanya kami bermain sepak bola dengan bola plastik yang mudah pecah jika ada salah satu pemain yang emosi lalu menginjaknya atau saat benturan dengan lawan. tentu saja dengan sengaja. Terkadang kami memakai bola mikasa yang biasanya dipakai buat volly, harganya lebih mahal namun tendangannya empuk di kaki tapi kalau kena muka langsung pusing gak ketulungan.
Kami membeli bola dengan cara kolektif 'urunan'. Kadang diantara teman kami ada yang punya bola dan dibawa saat bermain, jadi uang iuran kami saat itu utuh. Dalam aturan lokal permainan sepak bola kami tak mengenal pengadil lapangan alias wasit. Apalagi sampai mengakui Heng (handball) itu pantangan, meski hal itu tidak pernah disepakati bersama. Kami juga tidak pernah khawatir kena sanksi dari federasi induk sepak bola dunia VITA-CITATA, eeeh salah! FIFA, Ding. Dan saya percaya kearifan lokal itu banyak baiknya.
Bila dalam sepak bola resmi ada istilah kesebelasan, sementara sepak bola yang kami mainkan tidak mengenal istilah kesebelasan. Pembatasan jumlah pemain dalam sepak bola bagi kami sama saja mengingkari kesetaraan hak manusia untuk bisa bermain bersama. Semua berhak untuk bermain karena itu tidak ada pemain cadangan. Jumlah dalam satu tim bisa lebih dari 20-an anak.
Ada yang unik dalam menentukan terjadinya sebuah gol. Satu-satunya syarat gol paling efektif dalam permainan sepak bola kami adalah gol bola dasar, jika tendangan bola ke gawang mengarah ke kiri atas nanggung atau ke kanan atas nanggung apalagi ke atas kepala penjaga gawang, jangan harap dapat pengakuan gol dari pihak lawan.Â
Saya kasih contoh sederhana, kebetulan si penjaga gawang itu agak pendek, dan ada bola hasil tendangan lawan mengarah di atas kepadanya namun si penjaga gawang membuat gerakan sengaja tak mampu menggapai bola atas, maka tak jadi gol hasil tendangan bola lawan tadi. Sebab kenapa itu bisa terjadi karena tidak ada tiang gawang. Keputusan gol suka-suka dan kerelaan kiper lawan saja.
Durasi bermain bola kami tidak tentu, namun ada satu tanda yang pasti dan bisa dijadikan isyarat berhentinya permainan sepakbola kami yakni:
1. suara adzan magrib.
2. Jikalau bola sepak dari plastik pecah karena terjadi 'abrakan' benturan dengan sengaja dan apesnya tidak ada bola pengganti.
Apabila situasi nomor dua itu terjadi maka dengan sangat terpaksa kita akan berhenti bermain. Sudah tentu akan banyak suara sumbang yang menggerutu. Jika sudah seperti itu biasanya beberapa dari kami tak langsung pulang ke rumah, untuk mengganti kekecewaan kami mencari Kerang, Kukuk--beluk, atau Tatagan di sela-sela batu karang, atau mencari ikan ilat di air laut yang dangkal, dengan cara menginjak-injak pasir Lasak tempat ikan ilat bersembunyi di dalam pasir.
Dan kini saat saya mendapat kiriman gambar foto ini, kenangan itu kembali hadir memutar ulang tiap-tiap adegan, melihat jauh ke belakang, menerawang dan terkenang. Lalu aku kembali diingatkan akan pasar dadakan di Plawangan. Mbek Sup nama sapaan salah satu ibu nelayan yang jualan di pasar plawangan.
Makan nasi jagung, sayur tewel, sambal kelapa dan kuah lodeh dengan tak lupa lauk ikan asin, kala itu menikmati santapan sore sambil duduk di gundukan batu karang dan deburan ombak-ombak besar di plawangan yang hanya berjarak selemparan batu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H