Mohon tunggu...
Ainur Rohman
Ainur Rohman Mohon Tunggu... Nelayan - Pengepul kisah kilat

Generasi pesisir

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Makelar Diskon

31 Oktober 2018   22:15 Diperbarui: 3 November 2018   21:44 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah tragedi salam jari tengah ini benar-benar berbarengan dengan perhelatan akbar sepakbola sejagat. Kala itu gelaran pesta sepakbola piala dunia sudah masuk babak akhir penyisihan grup. Pada laga terakhir penyisihan grup F piala dunia 2018. Laga krusial itu berlangsung di stadion Kazan Arena. Rusia. Rabu 27 Juni 2018.

Waktu itu tim panzer Jerman tumbang saat melawan Korea Selatan. Tim juara piala dunia 2014 itu kalah 0-2 tanpa balas. Tersingkirnya Jerman sekaligus memperpanjang kutukan juara bertahan piala dunia yang tak bisa lolos di fase penyisihan grup. Terpuruk di urutan terbawah grup F dan itu untuk pertama kalinya dalam sejarah. Di turnamen empat tahunan itu kesebelasan Jerman tampil sangat memalukan. Sungguh mengenaskan!

Kesebelasan tim Korea Selatan pada awal mulanya hanya dianggap tim kelas dua oleh sebagian besar pengamat bola. kesebelasan kemayu lah, tim ecek-ecek lah, pun juga mendapat predikat kuda hitam. Namun kenyataan berkata lain dan catatan sejarah itu mengundang derai air mata jutaan suporter Jerman. Sungguh tragis.

Sebagaimana kilau redup senja, datangnya sibuk menyeret-nyeret kerinduan, begitu juga kekalahan dan tragedi, kedua saudara kembar itu jalan berarak bergandengan tangan. Tenang, dingin dan serakah menindas yang tak punya pilihan.

***

Laki-laki itu berperawakan kurus ceking, dengan ketinggian badan yang proporsional, belakangan ini dia sering memakai kacamata dan para pelanggan distronya biasa menyapa dia, Yip Man. Lain hari dia dipanggil, juragan diskon. Sementara itu barisan dedek-dedek gemes biasa memanggil dia, kakak Mada. Adapun kawan-kawan akrabnya biasa menyapa dia, Bang Toyib.

Sore itu, kamu ada janji dengan pelanggan di ujung kota kabupaten, demi menunaikan janji, kamu telah meyakinkan diri untuk menemuinya. "Barangkali jalan rejeki datangnya dari tempat yang tak diduga-duga." Sebagaimana pengharapan para pengantin baru. Begitu kamu meyakinkan diri, untuk sekedar memberi tambahan dosis semangat.

Dengan menunggangi sepeda motor matik kesayangan, laju roda kuda besimu trengginas melahap jalanan aspal yang banyak ditambal sulam, di sepanjang perjalanan yang kamu lalui tampak pohon-pohon berjejer rapi. Ada pohon Randu, Kersen (keres), Pisang, Jati, Kelapa, dan gerombolan rumput Bambu yang tumbuh tinggi menjuntai menghalangi pandangan mata untuk melihat warna-warni rumah-rumah penduduk.

Hingga sampai di persimpangan jalan, kamu merasa kesal karena gerak laju mobil yang ada di depanmu bimbang menentukan arah tujuan, demi menjaga janji suci yang telah disepakati bersama dan mengingat waktumu tak bisa lama-lama, kamu tak lagi memperdulikan kebimbangan orang lain. "Peduli setan." Kata batinmu dengan semangat berapi-api.

Sorot matamu awas memandang lurus ke depan, tegak lurus pada satu arah dan tujuan. "Masih ada secercah jalan sempit di antara laju mobil yang bimbang menuju persimpangan jalan, harapan itu masih terbuka lebar dan aku yakin, aku bisa melalui rintangan sederhana ini, sikat, gas pol, jalan terus." Begitu kata batinmu tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang bisa saja hilang dari genggaman harapan.

Benar sekali dugaanmu, betul semua perkiraanmu, halangan sepele itu bisa kamu terjang lunas. Kemenangan hanya berpihak pada orang-orang yang selangkah lebih maju di depan. Meskipun begitu ada sedikit insiden kecil yang membuatmu kesal bukan buatan. Si pengemudi mobil memencet tombol klaksonnya berulang kali, dan alat bantu pengeras suara peringatan itu berkoar-koar dengan dengung frekuensi tinggi, menyerang gendang telingamu persis saat kamu nyelonong mendahului, menyerobot, dan memotong jalur.

Indera pendengaran kamu yang begitu peka, tak bisa dikagetkan dengan radiasi suara tingkat tinggi. Naluri darah mudamu tak terima! dan hentakan keras suara klakson yang datangnya mendadak itu mengagetkan gendang telingamu. Kamu jengkel, sebab salah satu organ vital kamu itu lebih suka mendengar suara desahan princes Syahrini, Maria Ozawa, Sora Aoi atau Mimi Perih atau Bude Sumiyati.

Dampak dari insiden itu tangan kirimu mengayun tinggi-tinggi, merespon otomatis dengan tambahan bonus mengacungkan jari tengah, "Fuck." Ke pengemudi mobil bimbing itu sebagai salam perkenalan, betapa kerasnya jalanan pantura.

Tak ingin terlihat konyol dan demi keamanan dalam negeri, maksudku keamananku sendiri. Laju kecepatan sepeda motor aku pacu kuat-kuat. Melesat meninggalkan bayangan mobil bimbang yang sudah aku kutuk dengan salam jari tengah itu. Gerak laju sepeda motorku telah pergi jauh, aku rasa dan aku yakin seratus persen tak mungkin terkejar lagi oleh si pengemudi mobil bimbang itu.

Melihat situasi dan kondisi yang sudah kondusif, aman dan terkendali. Kecepatan sepeda motor aku kurangi, tindakan itu aku lakukan demi menjaga kesempatanku sampai di tujuan dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Lagipula aku sedang mengamalkan petuah bijak yang sering aku baca di belakang truk. "Jatuh di aspal, tak seindah jatuh cinta." "Alon-alon asal kelakon." "Lebih baik terlambat, asal selamat."

Setelah jiwa dan ragaku tenang, sesekali aku berdendang di atas sepeda motor. Sekalipun begitu aku belum menurunkan status kewaspadaan menjadi istirahat dan leha-leha, lamat-lamat aku melihat bayangan mobil itu di kaca spion sepeda motorku. Hatiku merasa tak jenak, ada perasaan tak enak dan meningkat jadi risau, tapi aku merasa sudah meninggalkan mobil itu! tapi aku merasa sudah tak mungkin terkejar lagi oleh mobil itu! tapi aku merasa sudah yakin tak mungkin ketemu lagi dengan mobil itu! Tapi. Tapi...

Dan sore itu, seketika awan hitam berarak menghimpun segerombolan bibit-bibit pemberontakan, sepertinya sabda alam ikut memberi tanda-tanda bahwa akan ada tragedi yang bakalan terjadi. Mobil yang sudah aku kutuk itu, mobil yang semula aku duga peragu dan bimbang itu, ternyata sangat gesit, sigap dan cepat, kini mobil itu persis berada di belakang sepeda motorku.

Laju kecepatan sepeda motor aku tambah lagi, itu aku lakukan sekaligus untuk membuktikan ketangguhan performa mesin sepeda motor matik dan tentu saja, untuk menguji mental liarku. Tancap, gas pol. Luur.

Dari pantulan bayangan di kaca spion sepeda motor sebelah kanan, aku melihat kecepatan mobil itu juga bertambah kencang, hendak berlomba dan menyalip laju sepeda motorku. Sejenak aku kagum dengan perjuangannya, gigih dan teguh pendirian, meski begitu tak mungkin aku mengakuinya dengan memberikan tepuk tangan. "Aku tak sudi!," Kata jiwa mudaku. lagipula aku tak mau pendirianku goyah.

Pada lajur kiri di jalanan yang penuh jerawat alias bergeronjal alias tak mulus-mulus amat itu, mendadak kedua tanganmu mencengkram tuas rem dengan segenap kekuatan otot jari. "Sial." Umpat batinmu merutuki nasip. Kini mobil itu telah berhasil mencegat dan berhenti persis di depan pandangan matamu. Dan kamu masih merasa tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Pintu depan mobil bimbing itu telah terbuka dengan terburu-buru. Bayangan laki-laki pengemudi mobil bimbang itu keluar, sosok pengemudi mobil bimbang itu kini nyata dan bukan lagi bayang-bayang. Postur laki-laki pengemudi itu tegap, gagah, tinggi dan laki-laki itu berseragam loreng, khas seragam militer. Jantungmu langsung mengeluarkan suara. "Deg! deg! deg!"

Tanpa banyak basa-basi, tanpa ba bi bu, laki-laki yang tinggi dan yang tegap dan yang berseragam loreng itu mendekat padamu dan langsung memukul kepalamu. Bum! Satu hantaman. Bum! dua hantaman. Bum! tiga hantaman. Bum! empat hantaman dan Bum! Banyak hantaman selanjutnya yang mendarat mulus di kepalamu. Pukulan telak itu begitu brutal hingga membuatmu terjerembab berulang kali.

"Maaf, Pak! Ampun, Pak!" Berulang kali jerit suara itu keluar dari bibir manismu, seakan-akan hanya kalimat itu yang kamu ingat dan hanya kalimat itu yang bisa kamu ucapkan. Dan laki-laki itu masih juga memukul kamu dan kamu mengulang kalimat itu lagi dan lagi.

Beruntungnya saat kamu dipukul berulang kali oleh laki-laki gagah itu, kamu masih memakai pelindung kepala alias helm. "Balai selamet" kata pepatah Jawa pasaran itu sangat cocok untuk menggambarkan situasi dan kondisi kamu saat itu.

Hingga laki-laki itu bosan melawan orang sepertimu. Selesai meng-KO dirimu, laki-laki itu pergi ke pintu mobilnya yang masih terbuka sejak dia turun tadi, laki-laki gagah, tegap dan berseragam loreng itu, kini masuk mobil dan menutup pintu, menyalakan mobil dan mobil bergerak maju ke depan dengan tenang.

Sisa-sisa debu jalanan terbang berhamburan mencatat tiap detik-detik kejadian dan menjadi saksi duel jalanan dan deru suara mobil itu serasa ikut bertepuk tangan, merayakan kehebatan si bos yang tidak tersentuh pukulan lawan, tak satu kalipun, kemenangan yang gilang gemilang, meninggalkanmu sendirian di tepi jalan.

Sebagai seorang laki-laki sejati, kamu tidak merasa sakit saat dipukul, bagimu itu biasa saja, meski ada bekas lebam di wajah, bekas tanda kenang-kenangan itu cukup membikin biru bibir manismu.

Tapi ada yang lebih menyesakkan kedalaman batinmu, saat puluhan pasang mata orang-orang kampung itu, ikut melihatmu sebagai orang yang digebuki, ikut menontonmu sebagai orang yang kalah, ikut menjadi saksi saat kamu meminta maaf dan ikut menyaksikan kamu memohon ampun.

Kamu menyesal, karena tak punya keberanian untuk melawan dan berontak saat itu. Kamu menyesal tak bisa menggugat, dan kamu menyesal tak bisa menjerit sejadi-jadinya, dan kamu menyesal telah kalah, dan kamu menyesal karena baru menyadari betapa salam jari tengah bisa berakibat fatal dan imbasnya bisa sangat menyusahkan diri sendiri.

Dan kini wajahmu tampak semakin kesal, saat kamu ceritakan kisahmu ke kawan-kawan setongkrongan, semua temanmu malah tertawa dengan tragedi yang baru saja menimpamu. Seakan tragedi yang kamu alami tak lebih dari kisah lucu Spongebob dan rekan-rekan kerjanya dan tetangganya dan pelanggan-pelanggannya dan seluruh koloni Bikini Bottom.

Tamat.

***

Detail kejadian diceritakan ulang oleh korban, maksudku kawanku sendiri, saat kami sama-sama tidak sholat tarawih dan lebih memilih nongkrong di warung kopi.

Salam olahraga di bulan puasa, juragan diskon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun