Produk konfeksioneri adalah produk pangan yang identik dengan rasa manis karena banyak mengandung gula. Gula yang dimaksud disini adalah monosakarida (contoh: glukosa, fruktosa) dan disakarida (contoh: sukrosa) yang sengaja ditambahkan dalam produk. Umumnya, produk pangan yang termasuk dalam kategori konfeksioneri yaitu kembang gula, permen, permen karet, dan coklat. Produk konfeksioneri sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang menyenangkan, karena konsumsi produk pangan yang tinggi gula seperti produk konfeksioneri dapat memberikan "kesenangan" atau "kepuasan" bagi konsumennya.
Konsumsi produk tinggi gula ini tidak hanya menyenangkan tetapi juga meyebabkan ketagihan. Ketika kita mengonsumsi makanan manis, reward system di otak kita akan aktif lalu menghasilkan dopamine. Dopamine adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh neuron dan dapat menunjukkan suatu peristiwa positif (dalam hal ini, peristiwa positif yang dimaksud adalah rasa senang/puas setelah makan makanan manis). Jika reward system tersebut aktif maka tubuh cederung ingin mengulangi peristiwa positif itu lagi. Hal tersebut menyebabkan munculnya keinginan untuk terus makan makanan manis hingga menyebabkan ketagihan.
Makan makanan manis memang menyenangkan, tetapi konsumsi produk tinggi gula yang terlalu banyak dalam jangka panjang tentunya tidak baik bagi kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Beecher et. al (2021) menunjukkan bahwa konsumsi gula (sukrosa) secara berlebihan dalam jangka panjang menyebabkan obesitas, hiperaktif, dan gangguan kognitif. Dalam artikel yang diterbitkan oleh Harvard Health Publishing berjudul The Sweet Danger of Sugar juga mengungkapkan bahwa konsumsi gula yang terlalu banyak dapat menyebabkan darah tinggi, inflamasi, peningkatan berat badan, diabetes dan fatty liver disease, yang kemudian meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Oleh sebab itu, konsumsi gula sebaiknya dibatasi. Berdasarkan Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 konsumsi gula dianjurkan tidak lebih dari 4 sendok makan atau 50 gram/orang/hari.
Upaya pemerintah dalam pembatasan konsumsi gula semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya kesehatan. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pihak industri konfeksioneri. Industri harus dapat menyesuaikan diri dengan permintaan konsumen terhadap produk rendah gula atau bahkan tanpa gula (sugar-free), sehingga saat ini semakin banyak industri konfeksioneri yang menciptakan produk-produk rendah gula dan tanpa gula, salah satu produk yang saat ini sudah banyak beredar adalah permen sugar-free.
Lalu, bagaimana industri konfeksioneri menciptakan produk permen yang tetap manis walau tanpa gula?
Pada umumnya, proses produksi permen menggunakan sukrosa, glukosa, dan fruktosa sebagai bahan dasarnya. Namun bahan-bahan tersebut sama sekali tidak digunakan dalam produk permen sugar-free. Sebagai gantinya, pihak industri menggunakan isomalt.
Isomalt adalah bahan pemanis sugar-free. Isomalt termasuk golongan karbohidrat yang secara kimia dikenal sebagai polyols atau sugar alcohols. Secara umum isomalt dikategorikan sebagai "sugar replacer" atau pengganti gula.  Isomalt sangat cocok untuk produk konfeksioneri karena penggunaan isomalt tidak mengubah penampakan dan tekstur produk. Tidak seperti glukosa dan fruktosa yang mengubah warna produk menjadi kecoklatan selama proses pemanasan, isomalt tidak mengubah warna produk. Warna kecoklatan selama proses pemanasan sebenarnya disebabkan karena terjadinya reaksi maillard, yaitu reaksi pencoklatan non enzimatis yang dikarenakan terjadinya reaksi kimia yang kompleks antara asam amino dengan gula pereduksi seperti glukosa dan fruktosa. Sedangkan isomalt bukan gula pereduksi sehingga reaksi maillard tidak terjadi dan tidak menghasilkan warna kecoklatan pada produk. Selain itu, isomalt juga sangat stabil secara higroskopis karena tidak menyerap air sama sekali hingga kelembaban relatif 85% pada suhu 25C  sehingga memudahkan penyimpanan dan memperpanjang umur simpan. Sifat-sifat fisikokimia tersebut menjadi keunggulan isomalt sibandingkan sukrosa, glukosa, dan fruktosa.
Isomalt memiliki rasa yang mirip seperti gula (sukrosa) tetapi tingkat kemanisannya lebih rendah. Dalam larutan 10%, tingkat kemanisan isomalt hanya 50-60% dari sukrosa. Karena rasanya yang kurang manis dibandingkan sukrosa maka biasanya penggunaan isomalt perlu dikombinasikan dengan pemanis buatan seperti aspartame atau acesulfam-K. Kombinasi isomalt dengan pemanis buatan tersebut bersifat sinergis sehingga rasa manis isomalt dapat menutupi aftertaste pahit dari aspartame dan acesulfam-K.
Bagi konsumen, konsumsi isomalt sebagai pengganti sukrosa berdampak positif bagi kesehatan. Sifat isomalt yang sangat stabil terhadap reaksi hidrolisis enzimatis menjadi kuncinya. Dampak positif isomalt terhadap kesehatan konsumen yaitu:
1. Isomalt tidak dapat menyebabkan karies gigi karena bakteri mulut tidak dapat memecah ikatan disakarida pada isomalt sehingga tidak dapat mengubahnya menjadi asam penyebab karies gigi. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk membuat permen sugar-free berbasis isomalt yang cocok dikonsumsi oleh anak kecil yang rentan terkena karies gigi.
2. Isomalt memiliki nilai kalori yang lebih rendah dari gula karena ikatan disakarida pada isomalt sulit dipecah oleh enzim pencernaan, hanya sebagian dari molekul isomalt yang dapat dicerna dan diserap oleh tubuh.