Alena menunduk, "Tapi Alena nggak pernah dikasih kue sekalipun sama mama dan papa, mama cuma marahin Alena tiap kali minta kue, dan juga bunda selalu ngasih Alena kue kecil," lalu menatap kue yang sangat kecil sebesar buah apel di tangannya.
Dimas yang melihat Alena seperti itu semakin geram karena mengganggu suasana cerianya bersama Nayla, Putri kesayangannya.
Kutipan diatas (halaman 8) menggambarkan konflik antara Alena dengan Dimas, Papahnya. Selama ini Alena ingin diperlakukan seperti Nayla, adiknya yang umurnya selisih 3 tahun darinya. Alena bahkan tak pernah ingat jika papanya pernah memeluknya, pernah tersenyum padanya, dan pernah mengatakan 'nak' padanya. Papanya itu selalu bersikap kejam terhadap Alena. Berbeda jika bersama Nayla, maka Dimas bersikap ramah seperti seorang ayah pada umumnya. Alena tahu dan sadar jika Dimas bersikap seperti itu karena Alena lahir dari rahim wanita yang tak dicintai.
Alena mendongak ke langit. "Baiklah Pah, Alena nggak akan pernah muncul di hadapan papa lagi. Alena pamit ya pah, jaga diri, jangan kerja terus, papa nikmatin masa tua, jangan sampai papa sakit, kalau papa sakit nggak ada Alena lagi yang ngerawat papa kayak dulu," ucap Alena tersenyum mengalah demi Dimas. Dia melupakan tentang doa yang pernah ia minta setiap harinya. Rasanya semuanya terlalu sia-sia.
"Alena pergi yah, pah?"
"Sana pergi, ingat jangan kembali lagi untuk selamanya."
Kemudian, Alena pergi ke rumah Sonya, mamanya.
"Mah, Alena bisa tinggal di sini gak?" ucap Alena memegang tangan mamanya.
"Tidak, saya kan sudah mengatakan kalau kamu tidak boleh ada di sini lagi," tolak sonya.
"Mama please, biarkan Alena tinggal di sini," isak Alena.
"Tidak akan, pergi kamu!"