Mohon tunggu...
Ainun Nisa
Ainun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Biologi Universitas Pendidikan Indonesia

Manusia yang hobinya stargazing.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pencarian Jejak Genetik: cDNA-AFLP Mengungkap Pertahanan Gandum Melawan Mycosphaerella graminicola

23 Juni 2023   18:50 Diperbarui: 23 Juni 2023   18:54 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Gejala bercak Septoria tritici pada daun pada kondisi inokulasi buatan (A) dan di lapangan (B) (Orton dkk., 2011). 

Dalam kehidupan sehari-hari, siapa yang tidak pernah melihat daun tanaman yang bercak? Ternyata, hal ini dapat menjadi tanda dari adanya penyakit pada tanaman tersebut lho

Bercak pada daun sering kali merupakan hasil dari infeksi patogen seperti jamur, bakteri, ataupun virus. Salah satu contohnya adalah bercak berwarna coklat hingga hitam pada daun gandum yang merupakan tanda dari penyakit yang dikenal sebagai Septoria Tritici Blotch (STB).

Septoria Tritici Blotch atau bercak Septoria Tritici adalah penyakit yang sering menyerang tanaman gandum. Bercak Septoria Tritici disebabkan oleh jamur patogen Mycosphaerella graminicola

Bercak ini ditandai dengan munculnya bercak-bercak kekuningan pada daun tanaman yang disebut chlorotic flecking. Namun, tidak berhenti disitu saja. Bercak-bercak ini kemudian berkembang menjadi lesi nekrotik yang mengandung pycnidia berwarna coklat-hitam (Gambar 1). Lesi nekrotik adalah kematian jaringan pada tanaman, sedangkan pycnidia adalah struktur reproduksi jamur penyebab penyakit bercak Septoria Tritici.

Udara dan percikan hujan ternyata menjadi mediator bagi jamur patogen M. graminicola untuk menyerang tumbuhan pangan gandum, sedangkan tanaman gandum merupakan salah satu sumber makanan penting di seluruh dunia. 

Infeksi jamur patogen M. graminicola nyatanya mampu menurunkan kualitas gandum akibat nekrosis pada daun yang menyebabkan penurunan kapasitas fotosintesis, sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman, mengurangi produksi biji gandum, dan menurunkan hasil panen sebesar 30 - 50% yang berdampak juga terhadap ekonomi yang sangat besar (Eyal dkk., 1987). 

Seiring dengan berjalannya waktu, jika dibiarkan, penyakit bercak Septoria Tritici pada gandum dapat menghancurkan hasil panen dan mengancam ketersediaan makanan kita lho, mengerikan bukan? Lalu, bagaimana mengendalikan penyakit bercak Septoria Tritici agar tanaman gandum dapat melawan penyakit tersebut? Jawabannya terletak pada gen-gen yang terlibat dalam regulasi dan ekspresi. 

Para peneliti telah melakukan analisis cDNA-AFLP pada gen pertahanan tumbuhan yang diekspresikan di varietas gandum Chamran yang terinfeksi oleh Mycosphaerella graminicola. Tapi tunggu dulu, apa itu cDNA-AFLP? 

cDNA-AFLP merupakan singkatan dari complementary DNA Amplified Fragment Length Polymorphism. Singkatnya, cDNA-AFLP adalah metode yang memungkinkan para peneliti untuk menganalisis ekspresi gen pada spesies apa pun tanpa memerlukan pengetahuan sekuens sebelumnya. 

Sekarang ini, banyak peneliti yang masih menggunakan metode cDNA-AFLP dalam penelitiannya untuk belajar tentang cara kerja gen-gen di dalam tubuh makhluk hidup. Metode ini membantu mereka melihat bagaimana gen-gen tersebut berubah ekspresinya ketika tubuh terpengaruh oleh hal-hal seperti penyakit, stres, atau saat tubuh sedang tumbuh dan berkembang.

Melalui analisis cDNA-AFLP, para peneliti dapat melihat perubahan dalam ekspresi gen tanaman gandum yang terjadi sebagai respons terhadap infeksi oleh M. graminicola

Hal ini merupakan langkah yang sangat penting untuk membantu pengembangan strategi pengendalian penyakit yang lebih efektif. Selain itu, gen-gen pertahanan yang telah diidentifikasi dapat digunakan sebagai target dalam pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas gandum yang lebih tahan terhadap penyakit bercak Septoria tritici.

Oke, mari kita lanjutkan dengan membahas metode cDNA-AFLP yang digunakan untuk mengidentifikasi gen-gen penting dalam pertahanan gandum terhadap serangan jamur M. graminicola (Gambar 2A-G). Sampel yang digunakan berupa satu kultivar gandum yang resisten terhadap jamur patogen M. graminicola, dan dua kultivar gandum lainnya yang menjadi kontrol dengan sifat rentan terinfeksi oleh jamur patogen M. graminicola. Sampel tanaman gandum diambil pada enam waktu yang berbeda setelah diinokulasi, yaitu 0, 12, 24, 48, 72, dan 96 jam. Pada setiap waktu, diambil tiga tanaman gandum untuk setiap sampel (Gambar 2A, B). Tanaman sampel dipotong di pangkal batang, ditempatkan dalam kantong berlabel, dan dibekukan dalam nitrogen cair (-80°C).

Proses ekstraksi RNA (Gambar 2C) dimulai dengan menggiling daun gandum hingga menjadi bubuk halus. Langkah selanjutnya, mRNA diisolasi menggunakan kit ekstraksi mRNA (Gambar 2C dan D(1)). cDNA untai pertama dan kedua dibuat menggunakan kit dan enzim RNase H dan DNA polimerase I yang sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh produsen. Kualitas RNA dan DNA yang dihasilkan diukur menggunakan alat spektrofotometer untuk memastikan konsentrasi dan keutuhan sampel yang diperoleh. Setelah elektroforesis gel agarosa, pewarnaan dengan SafeStein juga dilakukan untuk memastikan kualitas dan kemurnian sampel.

Prosedur dalam reaksi cDNA-AFLP, langkah-langkah persiapan template harus mengikuti protokol yang telah ditetapkan (Gambar 2D). Pertama, DNA pelengkap tanaman (cDNA; complementary DNA) dipotong (digest) oleh enzim restriksi, seperti EcoRI dengan MseI, dan EcoRI dengan Tru9I produk dari Vivantis, Malaysia. Enzim restriksi ini berfungsi sebagai “gunting molekuler” untuk memotong cDNA menjadi fragmen yang lebih kecil. Fragmen cDNA diikat dengan adaptor beruntai ganda yang akan menghubungkan fragmen-fragmen cDNA yang telah dipotong oleh enzim restriksi. Penting untuk merancang urutan primer dan adaptor yang tepat dalam reaksi AFLP, agar mampu menangkap keragaman informasi genetik tanaman dengan fleksibilitas dalam mengakomodasi setiap nukleotida (N).

Dengan cetak biru (blue print) genetik yang sudah siap, saatnya untuk memperkuat fragmen DNA tertentu yang diinginkan. Proses amplifikasi melibatkan dua tahap, yaitu pra-amplifikasi dan amplifikasi selektif. Tahap pra-amplifikasi (Gambar 2D(4)) melibatkan proses amplifikasi fragmen DNA yang diinginkan menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) terkontrol untuk mencapai hasil yang optimal. Siklus PCR pra-amplifikasi meliputi denaturasi DNA, annealing (penempelan) primer pada DNA target, dan elongasi (perpanjangan) DNA menggunakan enzim polimerase, semua proses dilakukan  pada suhu tertentu. Proses ini diulang selama 25 siklus untuk menghasilkan jumlah DNA yang cukup dan langkah elongasi akhir dilakukan untuk memastikan kelengkapan dan jumlah DNA yang diinginkan.

Hasil pra-amplifikasi dari produk PCR diencerkan dengan rasio 1 sampai 10 agar mendapatkan konsentrasi yang lebih mudah diatur. Amplifikasi selektif (Gambar 2D(5)) dilakukan menggunakan program khusus, meliputi siklus denaturasi, annealing, dan elongasi yang siklusnya diikuti oleh 13 siklus tambahan, dengan penurunan suhu annealing (0,7°C per siklus) untuk meningkatkan spesifisitas amplifikasi (Zhang dkk., 2003). Proses amplifikasi yang rumit ini ternyata dapat memperkuat fragmen DNA terkait dengan gen yang diekspresikan secara berbeda. Visualisasi hasil dan analisis fragmen DNA yang diamplifikasi, dilakukan melalui elektroforesis gel poliakrilamida dengan pewarna perak nitrat agar menghasilkan warna mencolok yang mampu memperlihatkan hasil fragmen DNA yang telah diamplifikasi (Gambar 2D(6)). Proses elektroforesis ini memastikan pemisahan dan pengurutan fragmen DNA yang diekspresikan secara berbeda-beda berdasarkan ukurannya, dan mengungkap variasi genetik yang unik, sehingga ekspresi gen dapat diidentifikasi.

Langkah selanjutnya adalah proses isolasi dan pengurutan fragmen DNA (Gambar 2E). Fragmen DNA yang didapat dilanjutkan ke proses amplifikasi berbasis PCR. Amplifikasi ini dilakukan dengan kondisi yang sama seperti amplifikasi selektif. Hasil amplifikasi PCR kemudian diperiksa menggunakan gel agarosa untuk memisahkan fragmen DNA berdasarkan ukurannya. Setelah memastikan bahwa amplifikasi berhasil, fragmen DNA yang diinginkan dimurnikan agar tidak ada kontaminan dan meningkatkan kemurnian fragmen DNA sebelum dianalisis lebih lanjut (Gambar 2E). Setelah proses pembersihan selesai, sampel DNA dikirim untuk proses sekuensing (Gambar 2F).

Setelah itu, para peneliti tentunya dapat menganalisis dan membandingkan fragmen DNA yang diperoleh dari hasil sekuensing tersebut dengan gen resisten jamur M. graminicola yang ada di database GenBank (Gambar 2G). Ternyata, setelah dibandingkan dengan database di GenBank melalui program BLASTx, hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar fragmen DNA memiliki kesamaan dengan gen resistensi jamur M. graminicola.

Gambar 2A-G. Metode analisis cDNA-AFLP pada gen pertahanan tanaman gandum Chamran yang terinfeksi oleh M. graminicola (Nisa dkk., 2023).
Gambar 2A-G. Metode analisis cDNA-AFLP pada gen pertahanan tanaman gandum Chamran yang terinfeksi oleh M. graminicola (Nisa dkk., 2023).
Prosedur cDNA-AFLP dalam bidang biologi tumbuhan tentunya sangat penting untuk memahami pola ekspresi gen, sehingga kita mampu mengungkap misteri perkembangan tumbuhan, respons terhadap rangsangan lingkungan, dan mekanisme pertahanannya. 

Dalam penelitian terbaru, metode analisis cDNA-AFLP digunakan untuk mengungkap pola ekspresi gen yang menarik pada gandum yang terinfeksi oleh Mycosphaerella graminicola, jamur penyebab penyakit karat daun (Septoria Tritici). Nah, menurut penelitian ini, ada fragmen DNA yang menunjukkan keterkaitan dengan pertahanan gandum terhadap serangan jamur M. graminicola. Jadi, fragmen DNA yang dihasilkan secara berbeda ini ternyata berperan dalam membantu gandum untuk melawan serangan jamur patogen tersebut. 

Dilakukanlah suatu pembuktian dengan membandingkan pola ekspresi dari fragmen DNA yang diperoleh antara sampel daun gandum yang terinfeksi dan tidak terinfeksi pada enam titik waktu yang berbeda (0, 12, 24, 48, 72, 96) setelah inokulasi jamur M. graminicola. Sampel daun yang tidak terinfeksi jamur M. graminicola disebut juga sebagai sampel inokulasi tiruan yang disemprot dengan air. 

Pada Gambar 3, ditunjukkan hasil dari analisis cDNA-AFLP dengan kotak merah yang menunjukkan pola ekspresi gennya dengan fragmen-fragmen DNA yang diekspresikan secara berbeda dari daun gandum yang diinokulasi jamur patogen. Huruf I digunakan sebagai simbol untuk daun gandum yang terinfeksi M. graminicola 0, 12, 24, 48, 72, 96 jam setelah inokulasi jamur M. graminicola, huruf m untuk inokulasi tiruan 0, 12, 24, 48, 72 96 jam setelah inokulasi (disemprot dengan air), kemudian M menunjukkan penanda berat molekul. Fragmen DNA ini terkait dengan komponen genetik yang bertanggung jawab atas respon pertahanan gandum terhadap serangan jamur M. graminicola.

Gambar 3. Pola ekspresi transkrip gandum setelah inokulasi dengan M. graminicola melalui cDNA-AFLP pada varietas gandum Chamran (Eslahi dkk., 2021).
Gambar 3. Pola ekspresi transkrip gandum setelah inokulasi dengan M. graminicola melalui cDNA-AFLP pada varietas gandum Chamran (Eslahi dkk., 2021).

Lalu, apakah bisa hanya dengan adanya pola ekspresi berupa fragmen cDNA yang berbeda mampu menunjukkan mekanisme molekuler sebagai respons genetik dari tanaman gandum terhadap serangan jamur patogen M. graminicola? Jawabannya, tentu saja bisa. Jadi, berdasarkan penelitian Eslahi dkk. (2021), mengungkapkan bahwa analisis fragmen cDNA yang diekspresikan secara berbeda menghasilkan temuan menarik mengenai fungsi komponen genetik ini (Gambar 3). Dari 231 fragmen cDNA yang diamplifikasi dan dianalisis, sebanyak 201 fragmen menunjukkan kesamaan yang signifikan ketika mengalami penyelarasan BLASTx terhadap gen resistensi jamur M. graminicola dari database NCBI. Fragmen-fragmen tersebut dapat dikategorikan ke dalam berbagai fungsi genetik, termasuk pertahanan, metabolisme, energi, transkripsi, transportasi, transduksi sinyal, respon terhadap cekaman, dan metabolisme sekunder. 

Beberapa gen yang terkait dengan pertahanan, seperti lipoksigenase, peroksidase, kitinase, dan lainnya, aktif pada 12-24 jam setelah serangan jamur M. graminicola. Selain itu, ada juga gen penghambat lainnya yang aktif pada waktu 48 jam setelah inokulasi jamur patogen yang terdiri dari gen glucosyltransferase, katalase, dan xilanase (Eslahi dkk., 2021). Pola ekspresi ketiga gen lainnya, yaitu chalcone synthase, protein EXECUTER-1, dan protein transfer lipid non-spesifik ternyata aktif pada 72-96 jam setelah inokulasi jamur M. graminicola.

Penemuan ini tentunya memberi peluang untuk penelitian lebih lanjut agar kita bisa paham peran dan fungsi gen-gen ini dalam pertahanan gandum. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang gen-gen yang terlibat dalam pertahanan, para peneliti tentunya bisa mengembangkan strategi untuk membuat gandum lebih kuat melawan serangan jamur M. graminicola. Bahkan, mungkin bisa menghasilkan varietas gandum yang lebih tahan terhadap serangan jamur tersebut.

Di Indonesia, gandum ditanam di beberapa daerah yang mendukung, seperti daerah dataran tinggi dengan udara yang sejuk. Meskipun Indonesia bukan negara penghasil gandum terbesar, seperti Amerika Serikat dan Rusia, masih ada harapan untuk mengembangkan jenis gandum yang bisa tahan terhadap serangan M. graminicola di sini. Penelitian ini memberikan pengetahuan tentang genetik yang bisa digunakan untuk mengembangkan jenis gandum tersebut. Jika hasil penelitian ini digunakan, maka petani gandum di Indonesia bisa mendapatkan manfaat besar dengan melindungi tanaman mereka dari serangan M. graminicola dan meningkatkan hasil pertanian.

Penulis: Ainun Nisa, Datia Siti Nur Lisa, Dr. Hj. Diah Kusumawaty, M.Si.

Referensi:

Booijink, C. C. G. M., Boekhorst, J., Zoetendal, E., Smidt, H., Kleerebezem, M., & De Vos, W. (2010). Metatranscriptome Analysis of the Human Fecal Microbiota Reveals Subject-Specific Expression Profiles, with Genes Encoding Proteins Involved in Carbohydrate Metabolism Being Dominantly Expressed. Applied and environmental microbiology, 76. 5533-5540. https://doi/org/10.1128/AEM.00502-10 

Eslahi, M. R., Safaie, N., Saidi, A., Shams-Bhakhsh, M., & Jafary, H. (2021). cDNA -AFLP Analysis of Plant Defense Genes Expressed in Wheat (cv. Chamran) Infected with Mycosphaerella graminicola. J. Agr. Sci. Tech, 23(3), 699-710. http://jast.modares.ac.ir/article-23-17266-en.html 

Eyal, Z., Schare, A. L., Prescott, J. M., & Ginkel, M. (1987). The Septoria Diseases of Wheat: Concepts and Methods of Disease Management. Mexico, DF: CIMMYT.

Orton, E. S., Deller, S., & Brown, J. K. (2011). Mycosphaerella graminicola: from genomics to disease control. Molecular plant pathology, 12(5), 413–424. https://doi.org/10.1111/j.1364-3703.2010.00688.x

Zhang, L., Meakin, H., & Dickinson, M. (2003). Isolation of Genes Expressed during Compatible Interactions between Leaf Rust (Puccinia triticina) and Wheat Using cDNA ‐AFLP. Mol. Plant. Pathol., 4(6), 469 -477.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun