Beberapa waktu lalu, aku terpaksa menjual kalung beserta liontin. Keuangan kami sudah benar-benar terkuras untuk membeli rumah dengan segala tetek-bengek nya. Namun bukan itu yang membuat kalung dan liontin emasku harus kembali ke tokonya, melainkan motor yang tiba-tiba bermasalah. Aku tidak mengerti tentang mesin, yang pasti kata si tukang bengkel, biayanya bisa mencapai satu juta. Mungkin nominal itu tidak seberapa bagi beberapa orang, tapi bagiku dan suami, -di keadaan saat ini, nominal segitu cukup besar. Akhirnya aku pun merelakan untuk menjual emas yang dua tahun ini melekat di leher.
Kalung yang beratnya sekitar 6 gram dan liontin 1,95 gram pun sudah kubungkus rapi beserta suratnya, siap untuk dibawa ke toko emas "Macan" Sidoarjo. Suamiku -yang hari itu ambil cuti- mengantarku ke sana dengan motor Vario miliknya. Kami mampir ke rumah orang tuaku yang ada di Sidokare untuk mengambil surat emas yang lain, -meski tidak ikut dijual. Barulah dari sana kami menuju toko emas tersebut. Sebenarnya aku agak berat menjual kalung emas ini, karena pasti untungnya tak seberapa. Atau mungkin malah rugi. Tapi karena kami butuh uang, ya sudah lah!
Dari Sidokare, motor melaju menuju "Kampung Batik Jetis" yang merupakan jalan tembusan ke Matahari Department Store. Toko emasnya ada di dekat Matahari. Suamiku memarkir motor di deretan timur karena itu yang paling dekat dengan toko Macan.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?", tanya Nita yang saat itu tidak sedang melayani pelanggan lain. Aku tau namanya Nita karena ada name-tag nya.
"Saya mau jual ini, Mbak.", jawabku seraya mengeluarkan kalung dan liontin yang telah terbungkus dalam surat masing-masing.
Nita pun segera membuka bungkusan dan mengambil kalkulator di dekatnya. Tangan kanan Nita mulai menghitung dengan kalkulator sambil memeriksa emas yang ada di tangan kirinya. Aku menunggu sambil ikut menghitung secara kasar uang yang akan kuperoleh nanti. Sekitar lima menit kemudian....
"Totalnya Rp. 2.734.000,- Bu kalau dijual.", kata Nita. Aku cukup terkejut dengan nominal yang dia sebutkan.
"Itu dua-duanya Mbak?", tanyaku memastikan.
"Iya Bu.", jawabnya sambil menunjukkan angka yang tertera di kalkulator.
"Kalung Ibu ini sudah mau putus jadi ada kerugian. Kalau tidak ada cacatnya sebenarnya malah untung, Bu.", katanya lagi sambil menunjukan padaku bagian kalung yang mau putus itu.
Aku tidak yakin kalau kalung itu memang mau putus. Dalam penglihatanku, bagian yang dia tunjukkan itu baik-baik saja. Namun aku percaya saja padanya. Dia mungkin lebih tau hal seperti itu yang merupakan tuntutan pekerjaannya agar selalu teliti. Aku mulai menghitung kerugian penjualan emas ini, hampir setengah juta.