Qobiltu Nikaakhahaa wa tazwiijahaa bil mahril madzkuur
Dua tahun tiga bulan empat hari berlalu dan kalam itu seolah masih saja terngiang. Kedua bola mata yang memerah sesaat setelah dia mengucapkan itu pun masih terbayang. Apalagi foto pertama kami usai halal menjadi bukti akan air mata yang tertahan. Justru kini hal itu menjadi bahan candaan.
"Aku terharu karena akhirnya bisa berbahasa Arab!" elaknya saat kubilang bahwa air mata itu keluar karena rasa bahagia telah menghalalkanku setelah dua tahun lebih masa penantian. Mendengar sanggahannya, bibirku tertawa lebar tak tertahan. Aku yakin dia sangat mencintai ku bahkan saat dia tahu diri ini banyak sekali kekurangan. Terbukti meski sering tersakiti dengan sikap acuhku, dia tetap bertahan.
Kami tinggal di rumah orang tuanya yang tentunya juga menjadi orang tuaku. Lebih besar dari pada rumah yang kutinggali dulu, -rumah orang tua kandungku. Namun lebih sepi karena semua orang lebih sering di luar, tidak sepertiku. Saat itu kesibukanku hanya mengerjakan skripsi. Hanya pergi ke kampus jika hendak bertemu dosen agar pekerjaanku dikoreksi, kemudian disuruh revisi.
Yang paling pagi meninggalkan rumah adalah Ibu. Beliau seorang pengasuh di sebuah panti asuhan, dari rumah tak terlalu jauh. Selepas Isya' beliau baru akan pulang. Menunggu anak-anak selesai kegiatan dan tak ada lagi para tamu yang datang. Selanjutnya adik, yang saat itu mulai memasuki masa SMA. Biasanya bersamaan dengan suamiku pergi bekerja. Sekitar pukul delapan pagi, barulah Ayah yang keluar dari rumah.
Rumah yang kutempati begitu nyaman. Tak pernah tedengar untukku ungkapan kekesalan atau kemarahan. Jika pun kini akhirnya aku dan suami memutuskan untuk tinggal terpisah, sungguh bukan karena aku tak betah. Karena yang kurasakan saat di sana -sampai sekarang juga, hanyalah kasih sayang, baik itu dari suami, adik, ibu, juga ayah. Mereka sangat sabar menghadapiku dengan latar belakang sebagai anak manja yang tak pernah disuruh ikut mengerjakan pekerjaan rumah. Â Meski seringkali aku lama atau lupa saat bekerja, mereka tak pernah marah.
Misalnya pada saat aku memasak bersama Ayah. Biasanya aku disuruh untuk memotong sayuran, ambil contoh wortel lah. Sedangkan bumbu disiapkan oleh Ayah. Meski terlihat mudah, namun karena tak terbiasa maka pekerjaanku selesai lebih lama. Begitu pun Ayah tak marah. Beliau segera mendekatiku dan mengambil wortel-wortel yang masih utuh untuk segera dipotongnya. Tangan kirinya erat memegang wortel di atas talenan, tangan kanannya memegang pisau untuk mengiris-iris wortel dengan lincah. Wuuuuus, dalam sekejap pekerjaan itu rampung sudah.
Atau pada saat yang lain, aku lalai mengangkat jemuran karena asyik nonton serial India favoritku di TV. Adik yang baru pulang sekolah di sore hari segera melakukannya meski ku tahu dia letih. Kalau sudah begitu, aku segera beranjak untuk membantunya --sebenarnya dia yang membantuku, ya? Dan lagi, tak tampak ekspresi kesal atau marah dari wajahnya. Bahkan sesungging senyum terbit dari bibir tipisnya.
Di lain waktu lagi, aku lalai merapikan pakaian-pakaian bersih yang sudah dicuci. Biasanya hal itu kulakukan di siang hari. Tetapi waktu itu aku pergi ke rumah orang tua dan baru pulang hampir senja. Kupikir akan kurapikan pakaian dalam keranjang itu esok hari sambil mendengarkan alunan lagu India. Namun pikiranku itu sungguh salah. Bagaimana tidak? Usai sholat subuh aku mendapati keranjang telah kosong dan pakaian-pakaian telah terlipat rapi. Ternyata Ibu yang merapikannya sepulang dari panti. Begitu pun saat melihatku, beliau tidak marah atau memaki. Namun sungguh aku menjadi tak enak hati.
Suatu ketika, Ayah berangkat kerja malam hari dan belum pulang saat pagi. Aku bingung harus menyiapkan apa untuk sarapan hari ini. Akhirnya kutawari suami yang baru selesai mandi.
"Mau dibikinin apa, Yang?", tanyaku.