Semalam, aku dan suami menginap di rumah mertua. Sebenarnya bukan jadwal kami untuk tidur di sana, hanya saja ada sesuatu yang perlu didiskusikan bersama. Orang tuaku juga menginap di sana usai dari Blitar untuk takziyah. Kami membahas tentang rencana tasyakuran pindah rumah. Sebenarnya kami tidak ikut diskusi, hanya mendengarkan dan mengikuti saja keinginan orang tua. Suamiku memang selalu "sendiko dawuh" atas apapun yang dikehendaki ibunya. Semoga dari sana lah Allah memberi keberkahan dalam rumah tangga kita.
Obrolan orang tua kami seolah tiada henti. Mulai dari membahas waktu pelaksanaan, bagaimana acaranya, siapa saja yang akan diundang, apa hidangan yang akan disajikan, sampai merembet pada hal-hal lain seperti kisah masa kecil kami saat masih ingusan. Hingga tak terasa waktu semakin larut saja. Hampir tengah malam kami baru masuk kamar. Begitu pun tak langsung terlelap. Asyiknya bercanda membuat mata ini tak kunjung terpejam.
Singkat cerita kami sudah bisa tertidur. Alarm dari smartphone berbunyi pukul tiga dini hari. Biasanya aku akan segera terbangun. Namun karena kami tidak terbiasa tidur larut, rasanya sangat berat bahkan hanya untuk bangkit mematikan alarm yang terus saja mengalunkan lagu India favoritku. Kubiarkan saja alarm itu berbunyi hingga sekitar lima menit baru berhenti. Akhirnya, kami baru terbangun setelah pintu diketuk oleh Ibu. Sudah subuh.
Pagi hari ini: usai sholat subuh, kami bersiap-siap untuk pulang. Jaket, masker, dan kaus kaki menjadi atribut wajib bagiku untuk menghadapi udara yang sangat dingin. Kalau tidak begitu, kulitku akan langsung memerah dan bentol-bentol. Setelah siap, aku dan suami pun berpamitan. Hanya pada Ayah mertua dan orang tuaku, karena Ibu mertua sudah berangkat ke panti saat kami sholat subuh tadi.
Motor segera dihidupkan. Dan aku, segera naik ke boncengan untuk lekas memasukkan kedua tapak tangan ke dalam saku jaket suamiku. Ini kebiasaanku saat diboncengnya. Dia pula yang menanamkan kebiasaan itu padaku. Terkadang, saat aku kesal, aku tidak melakukannya. Kalau hal itu terjadi, dia segera menarik tanganku untuk dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Kekesalanku pun reda.
Sekitar sepuluh menit perjalanan kami memasuki daerah Krembung, kedung boto, hingga sampai di Waung. Tiba-tiba motor yang kami naiki berbunyi "ctak....ctak....ctak..." cukup keras sampai akhirnya berhenti. Aku pun segera turun dari boncengan.
"Kenapa, Yang?" tanyaku.
"Nggak tahu." jawabnya sambil mencoba untuk menghidupkan motor kembali.
Sekali, hanya mendesing. Dua kali, masih sama. Tiga kali, akhirnya bisa. Aku kembali duduk di belakang suamiku yang segera melajukan motor sambil berdoa agar motor ini bisa bertahan lebih lama, paling tidak sampai rumah. Namun ternyata Allah menghendaki yang lainnya. Baru melaju sekitar 100 meter, motor kembali berhenti. Masih bisa dihidupkan kembali. Namun daya tahannya lebih pendek lagi. Mungkin sekitar 70 meter, motor kembali berhenti.
Hal itu terulang hingga 3 kali. Akhirnya saat kami sampai di daerah persawahan, si motor sudah mencapai batasnya. Tidak sanggup lagi dipaksa. Kami lah yang harus mengalah. Suamiku berjalan di depanku sambil menuntun motornya, aku mengikuti dari belakang. Beberapa petani bertanya, "Bensinnya habis, Mas?". Kami pun menjawab, "Mogok, Pak.", sambil terus melalui mereka.
Kami berjalan tidak lama, karena suamiku memutuskan untuk berhenti dulu di depan "Warkop Free Wifi" yang masih tutup. Dia menyuruhku duduk di atas bangku kayu samping warkop, sedangkan dia duduk di atas motor sambil berusaha menelpon seseorang untuk meminta bantuan. Pandanganku dihadapkan pada sawah luas dengan tanaman padi yang hijau. Matahari membulat di timur sana.
Aku mulai memikirkan tentang anggaran dalam rumah tangga. Jujur saja, uang kami sudah benar-benar menipis setelah digunakan untuk membayar DP rumah dan segala tetek bengek nya. Belum lagi untuk nanti membeli furniture rumah seperti tempat tidur dan lemari. Bagaimana aku harus mengatur keuangan ini? Di tengah pikiran yang cukup kacau itu, lamat-lamat kuperhatikan awan di ujung timur pandanganku. Bentuknya seperti orang yang sedang besujud. Entah memang begitu bentuknya atau hanya imajinasiku saja. Namun karena itu, aku jadi menyadari sesuatu.
Peristiwa kecil pagi ini, kuanggap karena Allah merindukanku. Rindu-Nya itu yang menarikku agar tidak pernah jauh. Semalam aku mengabaikan panggilan-Nya, dan Dia sudah rindu.
Terimakasih, Ya Allah. Kau telah merindukanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H